Mohon tunggu...
Faldo Mogu
Faldo Mogu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Manggarai, Flores. Karya-karyanya tersiar di media lokal dan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia Rahmat

7 Juli 2024   06:14 Diperbarui: 8 Juli 2024   20:01 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketika mendengar kabar itu, sang ibu menangis penuh histeris. Ia masih ingin memeluk tubuh Rahmat yang mungil itu. Namun dunia tampak lebih kejam!"

Sang ibu berdiri lama di dekat pintu itu. Tak seperti suaminya, yang duduk tenang di luar ruangan. Ia tampak tak sabar menanti kabar ihwal perkembangan kondisi putranya, Rahmat. Beberapa kali ia menghadang sejumlah perawat yang keluar dari pintu. Berharap ada kabar tentang putranya yang mereka bawa dari ruangan itu. 

Namun, perawat tersebut tak ada yang memberhentikan langkahnya. Mereka justru terus berjalan, tanpa memberikan informasi apa-apa, kecuali memberi kode melalui tangan supaya tetap tenang. 

Setelah lelah menanti, akhirnya sang ibu mengambil tempat duduk juga. Ketika duduk, ia tampak begitu tenang. Akan tetapi, hatinya tak setenang itu. Ia terus dicumbu oleh rasa kekhawatiran. Perasaan itu bergemuruh keras di dalam tubuhnya, sebab ia tak mau kehilangan putra satu-satunya itu.

Sementara suaminya, tampak biasa-biasa saja. Dari sikapnya semacam tak ada kekhawatiran, seperti yang dimiliki oleh kekasihnya. Entahlah. Barangkali ia optimis, semuanya akan baik-baik saja. Rahmat tak akan kenapa-napa.

Selang beberapa menit, setelah sang ibu mengambil posisi duduk, seorang dokter akhirnya keluar juga. Kabarnya mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk menolong Rahmat, tetapi ia tak berhasil diselamatkan. Menurut sang dokter sesak napas yang menyerang Rahmat amat berbeda dengan sesak napas yang dialami oleh anak-anak sebayanya. 

Dokter yang menangani Rahmat mengakui bahwa tidak tepat jika mengatakan bahwa Rahmat meninggal karena sesak napas. Menurutnya Rahmat meninggal karena sakit yang mirip sesak nafas, bukan sesak nafas. Entahlah, sakit apa itu! Yang jelas tim medis sulit mendeteksinya. Sebab seluruh bagian tubuh Rahmat masih sehat. Tak ada penyakit atau gejala apapun yang menempel.

Setelah mendapati kabar itu, sang ibu langsung lari ke dalam ruangan. Di dalam ruangan tersebut, ia menyaksikan putranya sudah tertidur kaku. Lantas Ia menangis penuh histeris. Tangisannya meledak dalam ruangan itu, tak peduli dengan pasien-pasien lain yang membutuhkan ketenangan dalam ruangan rawatnya masing-masing. Sedangkan sang ayah hanya menatap dari kejauhan, lalu bergegas cepat mencari ambulance untuk membawa pulang si Rahmat.

*** 

Berita mengenai kematian Rahmat cukup ramai diperbincangkan di kampung. Sambil datang berbelasungkawa, para warga juga membawa banyak cerita aneh mengenai kematian Rahmat. 

Ada yang menuturkan mimpi buruknya. Ada yang menceritakan penglihatan. Ada pula yang menyampaikan firasat buruknya terhadap Rahmat sewaktu ia dilarikan ke rumah sakit bersama kedua orang tuanya. Dari semua cerita itu mereka mau menegaskan bahwa Rahmat sebetulnya meninggal bukan karena penyakit, melainkan karena disantet oleh dukun di kampung.

Desas-desus tersebut beredar begitu cepat di kalangan warga. Bahkan segenap orang sungguh meyakini hal itu sebagai suatu kebenaran. Seolah-olah kematian Rahmat karena ulah si dukun merupakan suatu kebenaran mutlak.

Ketika desas-desus itu sampai pada telinga sang ayah, ia cukup emosi. Ia dengan tegas mewartakan kepada seluruh warga yang hadir bahwa Rahmat meninggal karena sesak napas. Bukan karena hal-hal lain. 

Di hadapan mereka, ia mengingatkan agar tidak perlu mencurigai banyak hal. Apalagi menuduh satu dua orang sebagai pelakunya. Sang ayah tak mau kematian Rahmat menimbulkan ketidaknyamanan sosial. Bahkan ia menjelaskan bahwa dirinya menerima kenyataan hidup; bahwa Rahmat satu-satunya yang mereka miliki itu, telah dipanggil Tuhan di usianya yang masih begitu kecil.

Meskipun demikian, warga yang mendengar hal itu justru melempari sang ayah dengan tatapan sinis. Bahkan tak sedikit dari antara mereka yang menilai sang ayah sok skeptik dengan kepercayaan yang kental dihidupi di tengah masyarakat. 

Mereka amat yakin bahwa kematian Rahmat tak lain karena ulah si dukun. Mimpi-mimpi buruk, penglihatan, dan firasat buruk itu, telah cukup bagi mereka untuk membuktikan bahwa si Rahmat adalah target yang harus dikorbankan untuk menembusi nafsu duniawi sang dukun. Rahmat mengalami kesulitan untuk bernafas karena ada semacam kekuatan tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya. 

Hal tersebut semakin kuat karena didukung oleh penglihatan sejumlah warga bahwa sebelum Rahmat lahir telah ada roh halus yang menantinya. Roh-roh tersebut dimandat oleh sang dukun untuk menghabisi nyawa Rahmat, dan roh  tersebut berada dekat dengannya. Karena hal itulah, sejumlah warga menyarankan agar kematian Rahmat ditelusuri lebih lanjut oleh pihak keluarga.

Mendengar hal itu, tanpa menunggu waktu lama lagi, sang ibu langsung menuju rumah seorang pendoa andal di ujung kampung itu. Ia menginginkan agar semuanya jelas. Sementara itu sang ayah mulai cemas. Ia takut berita mengenai kematian Rahmat akan terungkap bahwa; Rahmat sebetulnya meninggal karena telah dijadikannya sebagai tumbal.

 

pulpen.kompasina
pulpen.kompasina

pulpen.kompasiana
pulpen.kompasiana

https://bit.ly/KONGSIVolume1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun