Desas-desus tersebut beredar begitu cepat di kalangan warga. Bahkan segenap orang sungguh meyakini hal itu sebagai suatu kebenaran. Seolah-olah kematian Rahmat karena ulah si dukun merupakan suatu kebenaran mutlak.
Ketika desas-desus itu sampai pada telinga sang ayah, ia cukup emosi. Ia dengan tegas mewartakan kepada seluruh warga yang hadir bahwa Rahmat meninggal karena sesak napas. Bukan karena hal-hal lain.Â
Di hadapan mereka, ia mengingatkan agar tidak perlu mencurigai banyak hal. Apalagi menuduh satu dua orang sebagai pelakunya. Sang ayah tak mau kematian Rahmat menimbulkan ketidaknyamanan sosial. Bahkan ia menjelaskan bahwa dirinya menerima kenyataan hidup; bahwa Rahmat satu-satunya yang mereka miliki itu, telah dipanggil Tuhan di usianya yang masih begitu kecil.
Meskipun demikian, warga yang mendengar hal itu justru melempari sang ayah dengan tatapan sinis. Bahkan tak sedikit dari antara mereka yang menilai sang ayah sok skeptik dengan kepercayaan yang kental dihidupi di tengah masyarakat.Â
Mereka amat yakin bahwa kematian Rahmat tak lain karena ulah si dukun. Mimpi-mimpi buruk, penglihatan, dan firasat buruk itu, telah cukup bagi mereka untuk membuktikan bahwa si Rahmat adalah target yang harus dikorbankan untuk menembusi nafsu duniawi sang dukun. Rahmat mengalami kesulitan untuk bernafas karena ada semacam kekuatan tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya.Â
Hal tersebut semakin kuat karena didukung oleh penglihatan sejumlah warga bahwa sebelum Rahmat lahir telah ada roh halus yang menantinya. Roh-roh tersebut dimandat oleh sang dukun untuk menghabisi nyawa Rahmat, dan roh  tersebut berada dekat dengannya. Karena hal itulah, sejumlah warga menyarankan agar kematian Rahmat ditelusuri lebih lanjut oleh pihak keluarga.
Mendengar hal itu, tanpa menunggu waktu lama lagi, sang ibu langsung menuju rumah seorang pendoa andal di ujung kampung itu. Ia menginginkan agar semuanya jelas. Sementara itu sang ayah mulai cemas. Ia takut berita mengenai kematian Rahmat akan terungkap bahwa; Rahmat sebetulnya meninggal karena telah dijadikannya sebagai tumbal.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H