Dalam sejarahnya profesi dokter tidak dapat lepas dari nilai-nilai luhur etika kedokteran, profesi ini menjadi dihormati dan mendapat tempat yang spesial di kalangan masyarakat karena nilai – nilai luhur etika kedokteran itu sendiri. Nilai-nilai luhur tersebut tentunya tidak terlepas dari keberadaan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang selama ini bertugas untuk menjunjung dan menegakkan prinsip-prinsip etik profesi, melalui berbagai sanksi yang bertujuan membina dan bukan menghukum, membangun profesi dari dalam untuk menjadi pribadi yang semakin baik. (Rozaliyani A 2018)
Berbicara mengenai profesi dokter yang didalamnya terdapat etika kedokteran, maka perlu diketahui definisi etika itu sendiri. Menurut Gene Bloker, etika adalah cabang ilmu filsafat moral yang mencoba mencari jawaban guna menentukan dan mempertahankan secara rasional teori yang berlaku secara umum tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk sebagai suatu perangkat prinsip moral yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi tindakan manusia. (dr. Sofwan Dahlan 2017) Apabila disesuaikan dengan bidang kesehatan, maka dapat diterapkan sebuah etik profesi kedokteran. Dengan adanya etika dalam menjalankan profesinya sebagai dokter, maka diharapkan ketika melakukan tindakan kedokteran dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya tersebut. Etika tersebut juga menentukan apakah tindakan yang dilakukan dokter dalam menjalankan tugasnya telah benar ataukah justru sebaliknya tindakan tersebut melanggar etika kedokteran.
Membahas mengenai etik profesi dalam profesi kedokteran, tentunya beberapa pertanyaan telah penulis temukan. Pertanyaan singkat pertama adalah apakah penegakan etika kedokteran yang selama ini terjadi dapat kita lihat dan akses. Lalu mengapa pada website resmi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) terdapat sub folder dengan nama putusan. (MKEK PB IDI 2016) Ternyata dalam sub folder tersebut juga tidak terdapat putusan MKEK Pusat tentang suatu perkara yang telah dilaksanakan. Sebelum lebih jauh membahas peran penegakan yang telah dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI), maka akan penulis sampaikan sebenarnya apa itu MKEK.Dalam Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (Ortala MKEK) Ikatan Dokter Indonesia pasal 1 disebutkan bahwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) adalah salah satu unsur Pimpinan dalam struktur kepengurusan IDI di setiap tingkatan, bersifat otonom dan berperan serta bertanggung jawab dalam pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etika kedokteran termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran. (MKEK PB IDI 2018) Jadi memang MKEK ini hadir untuk mengawasi perbuatan anggota IDI dalam melaksanakan kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.
Berdasarkan Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK (Ortala MKEK) Pasal 24 ayat 5 disebutkan bahwa Persidangan MKEK bersifat tertutup, kecuali jika dinyatakan terbuka sebagian atau terbuka penuh oleh Majelis Pemeriksa pada putusan sela. Dengan mekanisme tertutup tersebut, keputusan Majelis hanya dapat diketahui jajaran tingkatan MKEK yang melakukan penyidangan dan dokter teradu tersebut sendiri. Jika dilihat pada Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, dikatakan dalam abstrak jurnal tersebut yakni jika sanksi yang diputuskan membutuhkan kewenangan administratif pihak lain, keputusan tersebut baru dibuka (umumnya hanya simpulannya saja) kepada pemilik kewenangan administratif terkait saja. (Pukovisa Prawiroharjo 2018) Bahkan MKEK IDI tingkat di atasnya umumnya hanya mendapatkan laporan resumenya saja, contohnya hanya diberi isyarat pasal mana dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilanggar, tanpa uraian yang detail. Penulis menilai secara singkat di awal bahasan kali ini mengenai sifat keputusan MKEK IDI yakni merupakan suatu hal yang kurang transparan dan menimbulkan banyak pertanyaan yang akan berujung pada kecurigaan.
Pada umumnya, hasil sidang kemahkamahan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) bersifat tertutup. Akan tetapi, tidak sepenuhnya hasil siding bersifat tertutup dikarenakan ada beberapa kondisi yang dapat menjadi pertimbangan untuk terjadinya hasil sidang yang bersifat secara terbatas hingga terbuka penuh kepada khalayak umum dan juga dengan isi putusan yang lengkap maupun tidak lengkap oleh MKEK. Pertimbangan keterbukaan tersebut meliputi faktor dokter teradu, institusi yang memiliki kewenangan, faktor pengadu, lingkungan kerja dokter teradu, kepentingan pendidikan, kepentingan laporan pertanggungjawaban, pertimbangan masyarakat umum dan pers, dan sebagai konsekuensi dari perubahan Pedoman Organisasi dan Tatalaksana MKEK di kemudian hari. (Pukovisa Prawiroharjo 2018)
Selain mengenai keterbukaan hasil sidang kemahkamahan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Penulis juga menemukan pertanyaan mengenai bagaimana dalam memberikan laporan aduan ketika menemui adanya pelanggaran etik kedokteran. Hal tersebut juga dapat menjadikan ilmu dan cara maupun upaya dalam menangani sengketa medik yang memang sesuai berdasarkan Pasal 2 tentang Tujuan dalam Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK (Ortala MKEK) sebagai berikut, Pedoman ini merupakan aturan yang harus diikuti sebagai tata laksana pembinaan penerapan etik kedokteran dalam pengabdian profesi dan penyelesaian dugaan pelanggaran etik kedokteran oleh dokter di Indonesia oleh MKEK di Indonesia dalam rangka penyempurnaan berkelanjutan praktik kedokteran yang peduli terhadap pasien/publik, serta menjadi pedoman dalam menerbitkan fatwa etik kedokteran. (MKEK PB IDI 2018) Dengan demikian, maka Penulis akan mulai membahas sistematika pelaporan pelanggaran etik kedokteran sesuai dengan Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK (Ortala MKEK).
Dalam Ortala MKEK, mengenai pengaduan tercantum pada Pasal 22. Secara umum pengaduan bersumber dari laporan pengadu secara langsung, rujukan/banding, temuan, hasil verifikasi MKDKI atau lembaga pembinaan etika yang menemukan adanya dugaan pelanggaran etika, dan Hal-hal lain yang akan ditentukan kemudian oleh MKEK Pusat sesuai dengan asas keadilan dan pencapaian tujuan pembinaan etika profesi. Laporan pengadu secara langsung berdasarkan Pasal 22 ayat 1 (a), adalah yang mengalami/menyaksikan sendiri seperti pasien, teman sejawat, tenaga kesehatan lainnya, institusi kesehatan, dan organisasi profesi. (MKEK PB IDI 2018) Dalam hal ini masyarakat umum yang mengalami dan menyaksikan ketika adanya pelanggaran etika kedokteran maka tentunya sangat bisa untuk melaporkannya secara langsung sebagai pengadu.
Jaminan pengaduan telah ditentukan pada pembahasan sebelumnya, yang kemudian akan Penulis bahas pada pembahasan berikutnya yakni mengenai cara melaporkan aduan pelanggaran etika kedokteran itu sendiri. Berdasarkan Pasal 22 ayat 2 yang berbunyi “Pengaduan dapat disampaikan daring maupun luring melalui IDI Cabang/Wilayah atau langsung ke MKEK Cabang/Wilayah tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut.” (MKEK PB IDI 2018) Jadi ada dua cara dalam melakukan pengaduan kepada MKEK yakni yang pertama secara offline atau luring dan yang kedua secara online atau daring. Secara luring, berdasarkan Pasal 22 ayat 3 pengaduan dapat disampaikan ke IDI Cabang/Wilayah yang kemudian akan diteruskan ke MKEK. Adapun ketua IDI Cabang/Wilayah dapat meminta penelitian atau penelaahan bersama MKEK Cabang/Wilayah yang setingkat. (MKEK PB IDI 2018) Kemudian apabila berdasarkan Pasal 22 ayat 4, disampaikan melalui PB IDI yang kemudian akan diteruskan ke MKEK. (MKEK PB IDI 2018) Pengaduan juga dapat dilakukan secara online atau daring, sesuai Pasal 22 ayat 5 pengaduan disampaikan secara daring melalui website MKEK, penelaahan data pengadu dilakukan terpusat. (MKEK PB IDI 2018)
Setelah masa persidangan maka tentunya akan dihasilkan sebuah keputusan dari kemahkamahaan yang dilaksanakan oleh MKEK itu sendiri. Putusan adalah ketentuan akhir berupa ketetapan bersalah atau tidak bersalah dokter teradu, dengan dinyatakannya melanggar atau tidak melanggar butir sumpah dokter dan pasal-pasal kode etik kedokteran Indonesia, beserta pasal cakupannya, atau fatwa etik kedokteran. (MKEK PB IDI 2018) Putusan sidang tersebut diambil atas dasar musyawarah dan mufakat. Namun apabila musyawarah dan mufakat tersebut tidak tercapai, putusan atau putusan diambil atas dasar perhitungan suara terbanyak dari Majelis Pemeriksa, dengan tetap mencatat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang ada. (MKEK PB IDI 2018)
Sanksi dari putusan persidangan oleh MKEK terbagi menjadi 4 kategori. Secara umum, keempat kategori tersebut sebagai berikut Kategori 1 (Satu), bersifat murni Pembinaan. Kategori Dua, bersifat Penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan, kategori 3 bersifat Penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara, dan kategori 4 bersifat pemberhentian keanggotaan tetap. (MKEK PB IDI 2018) Adapun penjabaran mengenai kategori – kategori tersebut dapat dibaca pada Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK (Ortala MKEK) tepatnya pada Pasal 29 ayat 5-8. Dengan sanksi – sanksi yang telah diancamkan maka dengan begitu diharapkan profesi dokter dapat menjalankan tugas dan profesinya dengan tetap memperhatikan etika dalam ranah kedokteran.
Dengan beberapa hal yang sudah penulis bahas mengenai sifat keterbukaan sidang dan putusan penegakan etika oleh MKEK, kemudian cara dan upaya dalam melakukan pelaporan maupun pengaduan ketika menjumpai pelanggaran etika kedokteran, dan sampai sanksi yang diancamkan bagi para pelanggar etika kedokteran ini. Penegakan etika kedokteran menurut Penulis telah diatur dan tersusun dalam Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK (Ortala MKEK). Dalam pedoman tersebut, segala sesuatu mengenai penegakan etika melalui persidangan yang dijalankan oleh MKEK telah lengkap diatur. Pada sidang atau hasil sidang kemahkamahan yang umumnya bersifat tertutup, tentunya perlu adanya pengawasan lebih lanjut sampai kedalam ranah sanksi atas pelanggaran yang telah terjadi. Kemudahan dalam melakukan pelaporan atau pengaduan juga merupakan hal yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan melakukan pelaporannya melalui website MKEK IDI.
Apabila ditinjau kembali profesi kedokteran terbagi menjadi beberapa norma yang mengaturnya. Ada tiga norma yang mengatur profesi kedokteran, norma tersebut adalah norma etik, norma disiplin, dan norma hukum. Norma etik sendiri yang ditegakan oleh MKEK dalam profesi kedokteran memiliki prinsip moral dan etik. Berbeda dengan kedua norma yang lain, norma etik apabila dilanggar umumnya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Karena memang penegakan etika kedokteran melalui pelaporan merupakan cara untuk mencegah pelanggaran yang lebih jauh hingga ke ranah disiplin atau bahkan hukum. Melihat profesi dokter yang bisa dikatakan sebagai salah satu profesi yang mulia. Profesi dokter sangat memiliki resiko dan penuh tanggungjawab dalam melakukan pekerjaannya. Beberapa kesalahan ataupun kelalaian yang terjadi dalam melakukan tindakan medis tentunya tidak bisa dikatakan sebagai suatu kesengajaan. Adapun apabila memang kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi akibat kesengajaan yang telah direncanakan, maka hal tersebut sudah sangat keterlaluan.
Dengan demikian banyaknya kesalahan, kelalaian, ataupun pelanggaran yang terjadi dalam ranah profesi kedokteran maka diperlukan suatu penelaahan terlebih dahulu. Seberapa besarkah akibat yang terjadi karena kesalahan, kelalaian, ataupun pelanggaran itu. Kemudian sangat dikedepankan bagaimana upaya atau langkah pertama bagi para korban untuk menilai dari segi manakah pelanggaran itu terjadi. Apabila memang masih ternilai ringan maka seharusnya dapat dilaporkan sesuai dengan tindakan pelanggaran yang terjadi. Salah satunya ketika terjadinya pelanggaran etika, sudah seharusnya diselesaikan pula melalui MKEK yang pastinya sanksi yang akan diberikan pula pun lebih pas dan cocok.
Penulis mengharapkan dalam hal penegakan etika, semua pihak yang terkait baik yang mengadu atau pelapor maupun pihak teradu sama – sama bisa saling memahami kejadian dan saling terbuka untuk menyelesaikannya melalui MKEK. Dari pihak yang menyelesaikan permasalahan dalam hal ini MKEK, seharusnya juga dapat menjalankannya dengan baik dan tetap mengutamakan keadilan. Meskipun didalamnya berisi dari rekan sejawat ataupun sesama berprofesi sebagai dokter, hal tersebut bukanlah suatu alasan untuk tetap mengutamakan kebenaran atas fakta yang terjadi dilapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H