Â
sepertinya  kutak bisa lari dari kejammu
Seusai membaca Mokolo, beta didera oleh kesadaran yang makin menggelisahkan tentang betapa Chalvin adalah salah satu penyair Maluku dengan kedalaman dan ketajaman pikiran nan subtil sekaligus daya hentak diksi yang mencengangkan, bukan recehan. Sayang sekali, beta belum banyak bergulat dengan karya-karya Chalvin semasa dia hidup.
Bagi beta, Mokolo adalah karya terpuji yang menunjukkan kedalaman eksplorasi tema, kemampuan untuk selalu gelisah, serta kegigihan berpikir untuk mencerna realitas secara mendalam. Mokolo adalah contoh yang hebat tentang menulis karya sastra yang berangkat dari ke-ada-an, bukan ke-tiada-an yang, tanpa ragu-ragu, dapat beta contohkan dengan bangga dan besar hati pada anak-anak didik nanti.
***
Sesungguhnya, sekali waktu beta sempat memikirkan bahwa Chalvin adalah sosok yang tepat untuk terjun ke dalam dunia "kepemukaagamaan" yang penuh dengan problematika. Sungguh menakjubkan membayangkan Chalvin menjadi seorang pengamat, pelaku, sekaligus pemikir di tengah-tengah realitas penuh penindasan simbolik itu. Chalvin tentu tidak akan ragu-ragu untuk menelanjangi dirinya dan panggilannya secara sungguh-sungguh, bukan untuk mengeksploitasi aib atau mencederai perasaan, tetapi menyajikan refleksi secara jujur dan dalam-dalam tentang hakikat kegilaan dan normalitas dalam semesta ajaran yang penuh kontradiksi. Chalvin mungkin bisa menjadi antitesis dari kecenderungan mendaku sebagai jalan kebenaran dan kehidupan secara terang-terangan; lalu, pada saat yang sama, tidak mudah tergoda untuk memperlakukan hasrat-hasrat kebenaran dan kehidupan itu sebagai prasyarat agar manusia tetap normal, tidak berbeda, tidak gila.
Demikianlah, oleh karena hidupnya yang tidak terlalu lama, Chalvin memang tidak diizinkan untuk lebih banyak menyaksikan sendiri kegilaan-kegilaan dunia dalam pemenuhan hasrat yang telah dikupas dalam-dalam pada monolog-monolog dirinya dalam Mokolo. Chalvin diberikan talenta besar dalam waktu yang terbatas untuk menyajikan imaji-imaji kegilaan yang kini dan nanti akan dinikmati oleh generasi baru manusia dunia di dalam karya-karyanya itu. Sedangkan kita semua, yang masih hidup dan mencoba mencari nilai diri yang paripurna adalah orang-orang yang mendapat kehormatan untuk mengunyah lalu mencerna imaji-imaji yang disajikan olehnya, kemudian akan berusaha menyibak kehampaan dalam menghadapi realitas semesta kegilaan yang hari-hari ini berkelindan tidak jauh dari mata dan pikiran kita. Selamat menemukan kesejatian, Chalvin.
Catatan penulis: Tulisan ini pernah dimuat di Teras Maluku pada 15 November 2023. Pemuatan ulang ini dilakukan dengan penyesuaian isi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H