Mohon tunggu...
Falantino Eryk Latupapua
Falantino Eryk Latupapua Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

...menempuh jalan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Semesta Kegilaan: Membaca (Sebagian) Hidup Chalvin Papilaya dalam "Mokolo"

17 Februari 2024   06:03 Diperbarui: 17 Februari 2024   06:53 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

seseorang yang senang sekali menyimak dan menikmati perihal orang-orang gila di pusat kota, di tempat-tempat lain mereka hidup. senang berlama-lama di rumah sakit jiwa -- rumah di mana orang-orang gila merayakan kesunyian demi bisa pulang kepada kesadaran orang-orang normal.

Dengan kata-kata dan frasa kunci 'orang-orang gila', 'merayakan kesunyian' dan 'kesadaran orang-orang normal' Chalvin sudah meletakkan batasan yang tegas tentang kepenyairannya, yakni mencari kesejatian sebagai manusia melampaui semua definisi tentangnya. Hal itu terbuka dengan jelas secara perlahan-lahan dalam puisi demi puisi yang dihimpunnya dalam Mokolo. Diksi mokolo adalah diksi lokal Negeri Itawaka, Pulau Saparua, tempat asal Chalvin. Mokolo berarti "orang gila".  Konon, saudara kandung Calvin adalah pengidap gangguan jiwa dan buku puisi ini adalah kumpulan pengalaman batin Chalvin tentang persentuhannya dengan "kegilaan" dalam banyak spektrum dan definisi.


Chalvin amat berhasil menggunakan seluruh diksi dan imaji puitik secara melimpah tetapi padat dan proporsional. Dia menulis dengan pengetahuan dan perenungan yang mendalam, menuangkan semesta yang tentu sudah diselaminya selama bertahun-tahun. Hal itu terbaca dalam banyak diksi yang digunakannya, semisal diakonos, hamba tuhan, pendeta, golgota, atau roti dan anggur perjamuan. 

 

Dalam puisi "di ruang observasi" dengan kematangan diksinya, dia memadukan imaji taktil dan visual dalam bait awal, misalnya pada larik kau sedang membersihkan kutil; aku menggigil nyilu dan keram-keram di badan ini. Eksplorasi diksi Chalvin hingga menemukan leksikon lokal seperti stegi, kapata, atau pombo dan goheba; sebaik meramu larik dengan menggunakan leksikon ilmiah, semisal skizofenia, miom, dan cogito kejiwaan adalah jejak-jejak kecerdasannya yang mungkin akan membikin pembaca tertentu harus membuka kamus atau ensklopedia untuk memahaminya secara utuh.

Lahirnya Mokolo dari ke-ada-an yang ingin disajikan oleh Chalvin, sekaligus menggunakannya untuk melawan stigma kegilaan dan kenormalan, serta pembingkaian dan penindasan simbolik terhadap itu, yang secara tidak sadar sering dilekatkan oleh manusia terhadap manusia lain atas nama ajaran agama, orientasi, serta kecenderungan perbedaan preferensi dan perilaku; juga kategori-kategori yang kadang tidak cukup bisa terjelaskan dengan aneka definisi.

Lebih lanjut, dengan pendalamannya terhadap stigma kegilaan yang dilekatkan oleh semesta terhadap subjek yang digaulinya, beta merasa bahwa Chalvin menemukan refleksi perihal kegilaan dan kenormalan manusia sebagai hasrat untuk mencari dan mengisi kekosongan dan kekurangan pada dirinya, serta menemukan harkat diri yang kemudian, secara eksplisit, ditampilkannya sebagai sesuatu yang liyan, semu, absurd.

Menjelang akhir pembacaan Mokolo, samar-samar beta teringat Jacques Lacan, teoretikus psikologi penerus Feud yang dalam beberapa hal justru menolak pandangan Freud tentang memahami kaitan mimpi dengan hasrat biologis; menekankan pentingnya memberi ruang terhadap irasionalitas dan budaya sebagai jalan untuk memahami kelindan pikiran manusia. Melalui pemerian terhadap vonis abnormalitas pada orang terdekatnya itu, tampaknya Chalvin hendak menunjukkan bahwa pencarian terhadap kenormalan.

Dalam Mokolo terasa jelas kegelisahan Chalvin justru menjadi titik awal perjalanan untuk menemukan dan memahami absurditas dan keterbelengguan manusia dalam ruang dan waktu, sebagaimana yang dituangkannya secara menakjubkan, selesai, orgasmus; antara lain dalam puisi "di ruang observasi", berikut ini:

ketika kusadar, tubuhku dini rimba

kutanyai negara, apabila ini sementara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun