Dalam fase depresi ini, Lady kehilangan semua kepercayaan diri yang dia miliki saat manic. Keheningan terasa pekat, dan dia hanya berharap bisa menghilang sejenak, menunggu sampai badai gelap ini berlalu, meskipun dia tidak yakin kapan itu akan terjadi.
Stigma dari orang-orang di sekitarnya kerap membuat luka itu semakin dalam. Tidak semua orang memahami bipolar, apalagi menerima seseorang dengan kondisi seperti itu. Banyak yang menganggap Lady hanya berlebihan, terlalu dramatis, atau bahkan sekadar mencari perhatian. Beberapa teman menjauh, menghindari dirinya saat suasana hatinya berubah-ubah dengan cepat. Bahkan keluarganya sendiri terkadang tidak tahu harus berbuat apa. Ibunya yang penyayang pernah mengatakan, "Lady, kamu hanya butuh bersyukur lebih. Hidup ini tidak seburuk itu." Kata-kata itu, meski niatnya baik, membuat Lady merasa semakin terasing. Mereka tidak memahami betapa sulitnya hidup di dalam pikirannya sendiri.
Malam, ketika perasaan putus asa begitu kuat, Lady menemukan sebuah komunitas yang mendiskusikan kesehatan mental secara terbuka, "Bipolar Care Indonesia". Awalnya dia ragu untuk bergabung, takut akan penilaian orang-orang. Namun, dalam percakapan yang panjang di forum itu, dia menemukan seseorang yang mengerti kondisinya dengan begitu dalam. Nama pria itu adalah Otto Iskandar, seorang penulis yang juga berjuang melawan gangguan bipolar.
Percakapan mereka yang semula hanya tentang tulisan perlahan berubah menjadi obrolan panjang tentang kehidupan, mimpi, dan ketakutan. Lady menemukan kenyamanan dalam cara Otto berbicara tentang kesedihan yang dia alami, dan bagaimana dia mencoba menyeimbangkan kreativitasnya dengan stabilitas emosional yang begitu rapuh. Otto tidak hanya mendengar, dia mengerti, karena dia juga merasakan hal yang sama. Kini Lady tidak lagi merasa sendirian.
Setelah dua bulan berkomunikasi melalui email dan handphone, mereka memutuskan untuk bertemu. Di sebuah kafe kecil yang tenang, sambil meresapi alunan Bernadya dengan lagu "Untungnya Hidup Harus Tetap Berjalan", Lady dan Otto duduk di meja pojok, saling memandang. Mereka baru pertama kali bertemu setelah dua bulan bertukar cerita melalui pesan dan email. Ada kesunyian yang nyaman di antara mereka, bukan karena kekakuan, melainkan karena masing-masing merasakan ikatan yang mendalam.
Lady menyesap dark chocolate-nya perlahan, mencoba mencari kata-kata. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena gugup, tetapi karena perasaan campur aduk yang menyeruak di dalam hatinya. Dia menatap Otto, yang duduk di depannya, terlihat tenang tapi jelas ada banyak hal yang berputar di pikirannya.
Lady mulai membuka percakapan, "Kadang rasanya aneh, ya... Kita bisa merasa begitu dekat hanya dengan berbicara lewat tulisan." Dia tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. "Aku nggak pernah nyangka bisa ketemu orang yang benar-benar ngerti apa yang aku rasain."
Otto menatapnya dengan tatapan yang lembut, senyumnya muncul perlahan. Ada sesuatu di matanya yang membuat Lady merasa dimengerti, sesuatu yang jarang dia temukan di orang lain.
Otto menjawab "Aku juga nggak nyangka, Lady Octoria. Kita sama-sama berusaha untuk bertahan... di dunia yang kadang terasa nggak adil buat kita." Dia menatap jari-jarinya yang saling meremas, lalu menatap Lady lagi. "Tapi, kita ngerti. Aku ngerti apa yang kamu rasain."
Lady menunduk sejenak, menghela napas panjang, merasa lega mendengar kata-kata Otto. "Iya... Kadang aku capek banget, Otto. Kadang aku pengen lepas dari semua ini, dari bipolar, dari semua perasaan yang naik turun nggak karuan."
Otto mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku juga sering ngerasa kayak gitu. Pas manic, aku bisa ngerasa seolah dunia ada di tangan aku, semua berjalan cepat, semua ide datang sekaligus. Tapi setelah itu..." Dia berhenti sejenak, suaranya melembut, "setelah itu, datang masa-masa di mana aku nggak bisa ngapa-ngapain. Dunia jadi hampa, dan aku cuma bisa bertanya-tanya, 'Kenapa aku harus ngerasain ini semua?'"