Seorang guru laki-laki yang tinggi, berkulit putih bersih dengan kumis tebal namun macho bernama Pak Supandi atau biasa dipanggil murid-muridnya dengan pak Supan lagi sibuk mengajar. Dia adalah pria berusia 32 tahun yang dikenal ramah, pandai, dan berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Pak Supan mengajar Informatika di SMK Samarinda sebuah sekolah menengah kejuruan dipinggir kota Samarinda, ia sangat disukai oleh murid-muridnya karena cara mengajarnya yang menyenangkan dan penuh humor.
Di sekolah yang sama, ada seorang guru wanita hampir setinggi pak Supan, berkulit putih bersih pula namun berbodi langsing dan berisi bernama ibu Titis nama lengkapnya Titis Wa. Bu Titis adalah guru Seni Budaya berusia 28 tahun yang lembut, anggun, dan memiliki senyum yang menawan. Kecintaannya pada Seni Budaya membuat setiap murid yang diajarinya merasa terinspirasi dan bersemangat. Bu Titis dan pak Supan sering bertemu di ruang guru, dan seiring waktu, keduanya menjadi akrab. Mereka sering berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari metode mengajar, mengerjakan PMM, hingga kehidupan sehari-hari.
Tanpa disadari, pak Supan mulai jatuh cinta pada bu Titis. Setiap kali dia melihat bu Titis, hatinya berdebar. Dia terpesona oleh kecantikan dan kelembutan bu Titis, juga oleh cara bu Titis menyampaikan pelajaran Seni Budaya dengan penuh cinta dan dedikasi. Namun, ada satu hal yang selalu menghantui pikiran pak Supan yaitu penyakit yang dideritanya sejak lama, yaitu penyakit kencing terus menerus atau sering disebut inkontinensia urin. Inkontinensia urine merupakan kondisi hilangnya kontrol kandung kemih. Kondisi ini umum terjadi dan sering kali membuat pengidapnya merasa malu. Tingkat keparahannya berkisar dari sering buang air kecil saat batuk atau bersin, hingga keinginan untuk buang air kecil yang begitu tiba-tiba dan kuat. Penyakit ini membuat pak Supan merasa rendah diri, takut bahwa penyakitnya akan menjadi penghalang untuk kebahagiaannya dimasa depan.
Setelah berminggu-minggu bergulat dengan perasaannya, akhirnya pak Supan memutuskan untuk mengungkapkan cintanya kepada bu Titis. Sore hari setelah jam pelajaran usai, dia mengajak bu Titis ke sebuah kafe kecil di dekat sekolah kafe Smakensa Burger namanya. Suasana disana tenang, dengan alunan musik lembut yang menyenangkan. Sambil pesan makanan dan minuman kesukaan masing-masing disertai basa basi dimulailah pembicaraan serius.
“Bu guru Titis,” pak Supan memulai dengan suara bergetar. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Aku sudah lama menyimpan perasaan ini, dan aku tidak bisa menyembunyikan lagi.”
Bu Titis menatap pak Supan dengan lembut, menunggu kelanjutan ucapannya.
“Aku mencintaimu, bu guru Titis. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak lama. Setiap hari, aku hanya memikirkanmu. Aku ingin kita bisa bersama, jika kamu juga merasakan hal yang sama.”
Bu Titis terkejut, namun senyumnya perlahan mengembang. “Pak guru Supan, aku juga menyukaimu. Kamu adalah orang yang baik, cerdas, dan sangat peduli pada orang lain. Tapi…”
Senyuman di wajah pak Supan mulai memudar ketika mendengar kata “tapi” dari bu Titis. “Tapi kenapa, bu guru? Apa ada sesuatu yang salah?”
“Aku perlu memberitahumu bahwa keluargaku sangat konservatif. Mereka memiliki harapan besar untuk masa depanku, termasuk dalam hal pernikahan. Dan… mereka mungkin tidak akan menerima jika aku bersama seseorang yang memiliki kondisi kesehatan yang serius,” jawab bu Titis dengan hati-hati.
Pak Supan terdiam. Bu Titis memang tidak menolaknya langsung, tetapi dia bisa merasakan kekhawatiran bu Titis. Dia tahu betapa pentingnya persetujuan orang tua bagi bu Titis. Meski hatinya hancur, pak Supan berusaha tersenyum.
“Aku mengerti, bu Titis. Aku benar-benar mengerti.”
Dalam kekecewaan, tiba-tiba muncul rasa kencing yang kuat, pak Supan kemudian minta ijin untuk kebelakang, inkotinensia urine memang merepotkan. Pak Supan tidak mau menggunakan popok dewasa karena merasa risih dan mengganjal, kecuali jika bepergian jauh seperti dari Samarinda ke Balikpapan.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka menjadi canggung. Bu Titis merasa bersalah karena dia juga memiliki perasaan yang dalam untuk pak Supan, tetapi dia takut menentang keinginan orang tuanya. Disisi lain, pak Supan semakin terpuruk dalam perasaan rendah dirinya. Dia mulai menghindari bu Titis, berpikir bahwa mungkin itu yang terbaik untuk mereka berdua.
Namun, cinta yang tulus tidak bisa disembunyikan selamanya. Orang tua bu Titis, yang tidak tahu tentang hubungan mereka, mulai mencarikan calon suami untuk putri mereka. Ketika bu Titis mendengar hal ini, dia menjadi gelisah. Setiap calon yang diperkenalkan padanya terasa tidak cocok, karena hatinya sudah terpaut pada pak Supan.
Suatu hari, orang tua bu Titis memanggilnya untuk berbicara. Mereka melihat kegelisahan putri mereka dan ingin tahu apa yang terjadi.
“Titis, ada apa? Kamu kelihatan tidak bahagia dengan calon-calon yang kami pilihkan. Apa ada seseorang yang lain dihatimu?” tanya ayahnya dengan suara tegas namun penuh kasih.
Bu Titis tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Iya, Ayah, Ibu. Aku sudah mencintai seseorang. Namanya kang Supandi, dia guru Informatika di sekolahku. Dia orang yang baik dan penuh tanggung jawab, tapi… dia memiliki kondisi kesehatan yang mungkin tidak bisa diterima oleh kalian.”
Ibu Bu Titis bertanya dengan lembut, “Kondisi kesehatan apa yang dimaksud, Nak?”
Bu Titis menjelaskan tentang penyakit yang diderita pak Supan. Orang tuanya terdiam mendengarkan. Mereka saling bertukar pandang, lalu ayah bu Titis berbicara, “Kami mengerti perasaanmu, Titis. Tapi kami khawatir, jika kondisi itu akan mempengaruhi kemampuan pak Supan untuk memberi keturunan. Kamu tahu betapa pentingnya hal itu dalam keluarga kita.”
Bu Titis merasa hatinya hancur. Dia mencintai pak Supan, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan kekhawatiran orang tuanya. Konflik batin ini membuatnya semakin tertekan.
Beberapa hari kemudian, Pak Supan mendengar kabar bahwa bu Titis dipaksa untuk menerima lamaran dari pria lain. Dia merasa dunianya runtuh. Namun, dia tidak ingin bu Titis menderita karena dirinya. Dengan hati yang berat, Pak Supan memutuskan untuk menemui bu Titis dan berbicara dari hati ke hati.
“Pak guru Supan, aku tidak tahu harus bagaimana,” kata bu Titis dengan air mata berlinang. “Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa menentang kehendak orang tuaku.”
Pak Supan menggenggam tangan bu Titis dengan lembut. “Bu Titis, jika memang kita tidak bisa bersama, aku ingin kamu bahagia. Jika menerima lamaran itu adalah yang terbaik untukmu, maka lakukanlah. Aku akan selalu mencintaimu, dan itu tidak akan berubah, tapi aku juga tidak ingin melihatmu menderita karena kita.”
Bu Titis menangis, dan pak Supan memeluknya untuk terakhir kalinya. Mereka tahu bahwa cinta mereka tulus, tetapi terkadang cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segala rintangan.
Malam itu, bu Titis berbicara lagi dengan orang tuanya. Dia menjelaskan betapa besar cintanya pada pak Supan dan betapa sulitnya bagi dia untuk menerima orang lain. Orang tuanya akhirnya mulai mengerti bahwa kebahagiaan putri mereka lebih penting daripada apa pun. Mereka pun memutuskan untuk bertemu dengan pak Supan dan berbicara dari hati ke hati.
Kali ini pak Supan telah menggunakan popok dewasa, dia tidak merasa nyaman jika nanti harus ijin berkali kali ke belakang. Dia harus bertemu dengan orang tua ibu Titis. Pertemuan itupun penuh dengan emosi. Orang tua bu Titis menanyakan lebih lanjut tentang kondisi pak Supan dan bagaimana dia menghadapinya. Pak Supan dengan jujur menjelaskan bahwa dia memang memiliki penyakit tersebut, tetapi dia telah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin. Dia juga mengungkapkan betapa besar cintanya pada bu Titis dan kesiapannya untuk berjuang bersama.
Setelah mendengarkan penjelasan pak Supan, orang tua bu Titis mulai melunak. Mereka melihat ketulusan dan kesungguhan hati pak Supan. Setelah berdiskusi panjang, mereka akhirnya memberikan restu mereka, meskipun dengan beberapa syarat, termasuk pemeriksaan medis lebih lanjut dan komitmen untuk menghadapi segala kemungkinan di masa depan.
Akhirnya, bu Titis dan pak Supan bisa bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka siap menghadapi segala tantangan bersama. Cinta mereka telah melalui ujian yang berat, dan mereka bertekad untuk menjaganya seumur hidup.
Meski dengan segala keterbatasan, pak guru Supan dan bu guru Titis menikah dalam sebuah upacara yang cukup meriah namun penuh kebahagiaan. Mereka belajar bahwa cinta sejati tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengertian, dan kesetiaan dalam menghadapi segala cobaan. Mereka telah menemukan bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H