“Aku mengerti, bu Titis. Aku benar-benar mengerti.”
Dalam kekecewaan, tiba-tiba muncul rasa kencing yang kuat, pak Supan kemudian minta ijin untuk kebelakang, inkotinensia urine memang merepotkan. Pak Supan tidak mau menggunakan popok dewasa karena merasa risih dan mengganjal, kecuali jika bepergian jauh seperti dari Samarinda ke Balikpapan.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka menjadi canggung. Bu Titis merasa bersalah karena dia juga memiliki perasaan yang dalam untuk pak Supan, tetapi dia takut menentang keinginan orang tuanya. Disisi lain, pak Supan semakin terpuruk dalam perasaan rendah dirinya. Dia mulai menghindari bu Titis, berpikir bahwa mungkin itu yang terbaik untuk mereka berdua.
Namun, cinta yang tulus tidak bisa disembunyikan selamanya. Orang tua bu Titis, yang tidak tahu tentang hubungan mereka, mulai mencarikan calon suami untuk putri mereka. Ketika bu Titis mendengar hal ini, dia menjadi gelisah. Setiap calon yang diperkenalkan padanya terasa tidak cocok, karena hatinya sudah terpaut pada pak Supan.
Suatu hari, orang tua bu Titis memanggilnya untuk berbicara. Mereka melihat kegelisahan putri mereka dan ingin tahu apa yang terjadi.
“Titis, ada apa? Kamu kelihatan tidak bahagia dengan calon-calon yang kami pilihkan. Apa ada seseorang yang lain dihatimu?” tanya ayahnya dengan suara tegas namun penuh kasih.
Bu Titis tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Iya, Ayah, Ibu. Aku sudah mencintai seseorang. Namanya kang Supandi, dia guru Informatika di sekolahku. Dia orang yang baik dan penuh tanggung jawab, tapi… dia memiliki kondisi kesehatan yang mungkin tidak bisa diterima oleh kalian.”
Ibu Bu Titis bertanya dengan lembut, “Kondisi kesehatan apa yang dimaksud, Nak?”
Bu Titis menjelaskan tentang penyakit yang diderita pak Supan. Orang tuanya terdiam mendengarkan. Mereka saling bertukar pandang, lalu ayah bu Titis berbicara, “Kami mengerti perasaanmu, Titis. Tapi kami khawatir, jika kondisi itu akan mempengaruhi kemampuan pak Supan untuk memberi keturunan. Kamu tahu betapa pentingnya hal itu dalam keluarga kita.”
Bu Titis merasa hatinya hancur. Dia mencintai pak Supan, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan kekhawatiran orang tuanya. Konflik batin ini membuatnya semakin tertekan.