INGKAR
Zaman dahulu, ketika sistem penanggalan belum ditemukan, ketika detik tak terlalu diperhitungkan, dan ketika seluruh penjuru dunia tahu Raja Paya Tu Kerub Mahajana sedang dalam masa kejayaan. Kerajaan Patani Darussalam tengah dalam masa keemasannya ketika dipimpin oleh Raja Kerub. Seluruh wilayah di kota Maligai yang menjadi kekuasannya sangat makmur dengan berlimpahnya sumber pangan dan terbasminya seluruh kemiskinan. Suatu pencapaian yang amat luar biasa bagi Raja Kerub dan di sinilah mula dari perubahan segalanya.
Suatu sore di teras kerajaan, Raja Kerub tengah bersantai duduk di risban ukiran elegan yang terbuat dari kayu jati sambil minum teh hijau seorang diri. Memimpin sebuah kerajaan dengan seluruh permasalahan yang pelik hingga tetek bengeknya setiap saat dilakukan oleh Raja Kerub. Namun, hal tersebut tidak pernah ia jadikan sebagai beban dalam hidupnya. Sore itu ia merenung cukup lama sembari menikmati embusan angin yang menerpa janggut putihnya dan berusaha menyegarkan pikirannya. Begitulah rutinitas Raja Kerub setiap sore.
Entah apa yang muncul dalam benaknya kala merenung, tanpa aba-aba Raja Kerub lantas bingkas begitu saja dari risban ukiran elegan yang semula ia duduki. Kemudian ia mengambil secarik kertas lalu menuliskan sesuatu yang begitu saja tebersit dalam benaknya. Usai mengutarakan isi benaknya dalam secarik kertas, Raja Kerub menjetikkan jari sebanyak tiga kali lalu muncullah seekor merpati putih kerajaan. Raja Kerub memberikan secarik kertas tersebut kepadanya dan meminta untuk mengirimkan ke kerajaan di seberang hutan, sebuah kerajaan kecil belum bernama yang baru saja didirikan oleh anaknya—Raja Paya Tu Naqpa.
“Wahai anakku, Paya Tu Naqpa. Ayahandamu ini sudahlah renta. Seperti yang seluruh penjuru dunia tahu, kerajaan Patani Darussalam kini tengah dalam masa kejayaannya. Aku berencana untuk memperluas wilayah kekuasaan hingga ke seberang hutan berikut juga kerajaan yang belum lama kamu bangun. Jika kamu setuju atas rencanaku ini, maka datanglah esok hari untuk menemuiku di kerajaan.”
o0o
Keesokan harinya dengan penuh semangat Raja Naqpa bergegas menuju kerajaan Patani Darussalam bahkan sebelum baskara menampakkan semburat jingganya di ufuk timur. Setibanya di gerbang kerajaan, Raja Naqpa langsung dipersilakan masuk oleh para penjaga dan disambut dengan pelukan hangat dari sang ayah.
“Selamat datang anakku, Naqpa. Sesuai yang aku utarakan dalam sebuah surat singkat kemarin, bagaimana kelanjutannya?” tanya Raja Kerub.
“Setelah aku pikirkan dengan penuh pertimbangan, rencana tersebut sepertinya akan lekas menjadi kenyataan,” jawab Raja Naqpa dengan tegas.
Dengan wajah semringah, Raja Kerub menimpali, “Baik, tetapi sebelum itu kita harus membuat suatu perjanjian hitam di atas putih agar rencana kita dapat terlaksana dengan baik.”
Mereka pun menuliskan suatu perjanjian yang salah satunya berisi tentang larangan merusak alam demi perluasan wilayah kerajaan Patani Darussalam. Seluruh isi perjanjian tersebut telah disetujui keduanya tanpa pembantahan. Sejak saat itu, pembangunan kerajaan Patani Darussalam hingga ke seberang hutan dimulai dan Paya Tu Naqpa sudah tidak lagi menjadi raja. Segala sumber daya alam dan kekayaan yang dimiliki kerajaan Patani Darussalam mulai disebarkan secara merata.
o0o
Purnama berganti purnama tak terasa. Seperti rutinitas sorenya, Raja Kerub bersantai di teras. Namun, sore ini ada yang berbeda, sekerumun rakyatnya tiba-tiba menghampirinya dan mengatakan bahwa Naqpa beserta sebagian rakyatnya tengah membabati hutan sejak tiga hari lalu. Kabar tersebut lantas meremas jantung Raja Kerub. Kemudian Raja Kerub langsung memerintahkan seluruh rakyat untuk ikut bersamanya ke hutan. Mereka pun bergegas menuju hutan membawa segala perasaan murkanya kepada Naqpa.
Sesampainya di hutan, terlihat Naqpa tengah mengawasi para rakyatnya yang sedang menebangi pohon.
“Naqpa! Apa yang kamu lakukan?” pekik Raja Kerub.
“A-ayah. K-kenapa Ayah ke sini?” tanya Naqpa tergagap-gagap.
“Kamu telah melanggar perjanjian! Anak tidak tahu diri!” bentak Raja Kerub.
Mendadak Naqpa Terisak. “Maaf, maafkan aku. Aku mohon dengan sangat, Ayah. Sungguh aku tidak bermaksud demikian. Ampuni aku.”
“Sungguh, demi Tuhan, kamu telah melanggar perjanjian, juga merusak alam ciptaan-Nya. Demi Tuhan hidupmu akan sengsara hingga akhirnya hayat!” Raja Kerub berseru dengan suara yang amat menggelegar hingga membuat seisi hutan bergetar.
Naqpa terpaku atas ucapan terakhir sang ayah. Rasanya tak ada lagi kata yang mampu menjawabnya. Raganya seperti kehilangan jiwa yang lenyap terbawa semilir angin hutan. Pepohonan, seisi hewan penghuni hutan, pun semburat jingga di kaki cakrawala senja menjadi saksi bisu atas sebab kenestapaan hidup yang dialami Naqpa hingga akhir hayatnya.
Bekasi, 27 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H