o0o
Purnama berganti purnama tak terasa. Seperti rutinitas sorenya, Raja Kerub bersantai di teras. Namun, sore ini ada yang berbeda, sekerumun rakyatnya tiba-tiba menghampirinya dan mengatakan bahwa Naqpa beserta sebagian rakyatnya tengah membabati hutan sejak tiga hari lalu. Kabar tersebut lantas meremas jantung Raja Kerub. Kemudian Raja Kerub langsung memerintahkan seluruh rakyat untuk ikut bersamanya ke hutan. Mereka pun bergegas menuju hutan membawa segala perasaan murkanya kepada Naqpa.
Sesampainya di hutan, terlihat Naqpa tengah mengawasi para rakyatnya yang sedang menebangi pohon.
“Naqpa! Apa yang kamu lakukan?” pekik Raja Kerub.
“A-ayah. K-kenapa Ayah ke sini?” tanya Naqpa tergagap-gagap.
“Kamu telah melanggar perjanjian! Anak tidak tahu diri!” bentak Raja Kerub.
Mendadak Naqpa Terisak. “Maaf, maafkan aku. Aku mohon dengan sangat, Ayah. Sungguh aku tidak bermaksud demikian. Ampuni aku.”
“Sungguh, demi Tuhan, kamu telah melanggar perjanjian, juga merusak alam ciptaan-Nya. Demi Tuhan hidupmu akan sengsara hingga akhirnya hayat!” Raja Kerub berseru dengan suara yang amat menggelegar hingga membuat seisi hutan bergetar.
Naqpa terpaku atas ucapan terakhir sang ayah. Rasanya tak ada lagi kata yang mampu menjawabnya. Raganya seperti kehilangan jiwa yang lenyap terbawa semilir angin hutan. Pepohonan, seisi hewan penghuni hutan, pun semburat jingga di kaki cakrawala senja menjadi saksi bisu atas sebab kenestapaan hidup yang dialami Naqpa hingga akhir hayatnya.
Bekasi, 27 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H