Telah dibuktikan secara ilmiah oleh para epidemiologist bahwa, SARS-COV-2, virus penyebab Covid-19, bukanlah hasil rekayasa laboratorium, melainkan muncul secara alamiah. Virus yang ditemukan pada kelelawar ini, menginfeksi manusia melalui perantara hewan trenggiling.
Menumpangi Angiotensin Converting Enzyme II (ACE 2) yang berada pada jaringan paru-paru, lendir di mulut dan hidung, ginjal, testis, serta saluran pernapasan pada manusia, mengantarkannya memasuki sel inang (Kristian G. Andersen et.al., Jurnal Nature Meidicine, Maret 2020).
Cara penyebaran yang begitu cepat, didukung oleh konektifitas antara negara, semakin memperluas daerah terjangkit. Hanya butuh waktu kurang dari 3 (tiga) bulan sejak kasus pertama di Wuhan, Covid-19 menjadi pandemi.
Fakta penting namun kerap diabaikan adalah, semakin mendekatnya hewan liar bersama zoonosis dengan manusia. Padahal sejak tahun 1989, telah diperingatkan oleh World Health Organization (WHO) dalam laporannya yang berjudul Potential Health Effects of Climate Change, bahwa perubahan iklim telah menggusur ruang hidup hewan liar, mengharuskannya mencari habitat baru yang lebih dekat dengan manusia. Celakanya, manusia hanya memiliki sedikit kekebalan terhadap virus dari hewan liar itu.
Adanya pembatasan sosial sebagai upaya mencegah penyebaran, tentu saja langsung berdampak pada perekonomian. Industri padat karya menjadi “korban pertama”, sebab mustahil bagi tenaga kerja di sana untuk bekerja dari rumah. Produksi menurun, juga daya beli masyarakat. Selanjutnya sektor usaha non-daring yang lebih kecil, seperti cafe dan restoran kini ketar-ketir dibuatnya.
Bila berlangsung lebih lama, maka kemiskinan akan semakin bertambah, karena pemutusan hubungan kerja. Sementara perusahaan terancam berhenti beroperasi, karena investasi yang semakin melemah. Pendapatan negara dari sektor perpajakan dan deviden juga menurun.
Runyam bagi Negara, sebab pilihan yang ada tidak ada yang menyenangkan dan menenangkan. Pandemi dan ekonomi sama-sama mengintai seluruh tumpah darah Bangsa Indonesia, yang sejatinya dilindungi. Sementara untuk jangka panjang, tidak mungkin mewariskan sebuah “Planet Rumah Sakit” bagi anak dan cucu kita.
Alarm dari alam dan kritik dari pandemi ini harus disikapi dengan baik.
Alarm dari Alam
Kita semua tahu, meskipun pemerintah tidak akan pernah mengakui, bahwa ada sikap abai dan sepeleh terhadap peringatan dari WHO mengenai Covid-19 ini pada bulan januari 2020 lalu.
Hasilnya bisa kita nilai sendiri saat ini, penderita tidak lantas berkurang, ekonomi melemah. Peringatan tidak kalah penting kembali dikeluarkan oleh lembaga Internasional baru-baru ini.
Bukan hanya dari WHO, namun juga oleh United Nations (UN), dan World Wide Fund (WWF). Lebih spesifik dari laporan WHO tahun 1989 lalu, peringatan ini langsung menyebut virus corona sebagai manifestasi dari hubungan manusia dengan alam yang tidak seimbang (The Guardian, 17 Juni 2020).
Berdalih untuk mencegah kepanikan dan mencegah resesi ekonomi tidak lagi relevan tentang ini, sebab kerusakan lingkungan hidup di Indonesia begitu nyata terpampang di depan mata.
Forest Watch Indonesia mencatat (FWI, Lembar Fakta, 2018; 2-5), selama dua dekade sejak tahun 2000 hingga saat ini, luas hutan tutupan (hutan budi daya dan hutan lindung) di Indonesia semakin berkurang.
Pada tahun 2000, hutan tutupan di Indonesia seluas 106, 4 juta hektar, pada tahun 2009 menjadi 93 juta hektar, semakin menyusut pada tahun 2017 menjadi 82,8 juta hektar. Persentase keberadaan hutan di setiap pulau besar di Nusantara tidak kalah mengkhawatirkan. Hanya Papua dan Maluku yang memiliki hutan tutupan di atas 50 % dari luas seluruh daratan.
Seluas 71,2 juta hektar dari total luas 82,8 juta hektar hutan tutupan yang tersisa, telah diberikan izin, baik izin pemanfaatan hasil hutan alami, hasil hutan kayu, sawit maupun pertambangan. Hanya 32 juta hektar saja hutan yang masih dalam kondisi baik, dari total luas 71,2 juta hektar yang telah diberikan izin lokasi.
Di sisi lain, terjadi ketimpangan luas tambang dan sawit dengan lahan pertanian. Untuk yang berada dalam hutan tutupan saja, perkebunan sawit mencapai angka 2 juta hektar dan tambang mencapai angka 9 juta hektar, melampui luas tanah pertanian di seluruh Indonesia yang hanya seluas 7,1 juta hektar saja (BPS, Sutas, 2018). Sementara sisanya, 23 % dari 18 juta hektar lahan layak tanam terancam konsesi batu bara (JATAM & Water Kepper Alliance, 2017).
Sungguh Miris. Jika tidak segera diatasi, bangsa ini akan sampai pada titik yang mengkhawatirkan, bahkan tidak menutup kemungkinan jika mutasi terbaru virus dari zoonosis terjadi di Indonesia, mengingat luas hutan tutupan yang berada di bawah 30 % justru terdapat di pulau-pulau yang padat penduduk, khususnya pulau Jawa.
Tatanan hidup baru (New Normal Life) untuk menghadapi pandemi Covid-19 dikeluarkan, sayangnya tidak sedikitpun menyinggung tentang hubungan kita (manusia) dengan lingkungan yang abnormal.
Padahal sejak dahulu leluhur Minangkabau telah berpetuah, Alam menjadi guru (alam takambang jadi guru), dari alam kita lahir dan hidup, maka sudah sepantasnya kita hidup harmoni dengan alam. Jika tidak, seperti petuah leluhur suku Bugis-Makassar, “apabila bumi marah kepadamu tak ada yang dapat mencegahnya” (....larroi linoa rikau talarie’ nalpangngu’ rangia). Oleh karena itu, di Papua hubungan dwitunggal manusia dengan alam sangat memengaruhi sosial kemasyarakatan.
Pada Suku Marind Enzam misalnya, mengidentifikasi totem-nya dengan kasuari. Apabila kasuari punah, maka marga Kaize-pun bisa dianggap hilang. Sementara pada hukum adat orang Rongi di Pulau Buton, mengategorikan perusakan alam sebagai tindak pidana berat, dengan sanksi berupa pengasingan (tumaikaliku). Pesakitan, dianggap tidak ada, walaupun secara kasatmata tampak. Hidup dan mati dalam sunyi.
Menilik rumit teori-teori ekonomi, baik kapitalisme mutakhir atau Marxisme yang usang, dalam menyikapi hal ini sama sekali tidak perlu. Apalagi berhalusinasi bahwa pembatasan sosial adalah karpet merah untuk revolusi Industri 4.0, yang patut disambut gegap gempita.
Selama eksploitasi sumber daya alam terus dilakukan secara membabi buta, maka selama itu juga kita telah mengubah bumi menjadi “Planet Rumah Sakit” yang penuh dengan pembatasan.
Kembali pada titah dan pesan nenek moyang bangsa, tentang keseimbangan hidup antara manusia dengan alam semesta, menjadi keharusan. Hewan liar, berikut zoonosis-lah yang harus Stay at Home, bukan manusia. Namun apa hendak dikata, jika manusia telah merusak habitat mereka. Masih cukup waktu untuk berbenah.
Kritik dari Pandemi
Efek kejut dari pembatasan sosial terhadap ekonomi global, telah membuat pandemi ini muncul sebagai suatu kritik terhadap orientasi dan sistem ekonomi kapitalis, yang sama efektifnya dengan aksi mogok kerja dan boikot. Perusahaan dipaksa untuk memberi perhatian.
Ekonomi kapitalis yang selama ini berpegang pada prinsip keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin, tidak lagi dapat mengabaikan aspek lingkungan hidup, dengan anggapan bahwa alam memproduksi dan memperbaiki dirinya sendiri, sehingga tidak perlu anggaran lebih untuk menanggulanginya. Reorientasi pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup mutlak adanya.
Bukan berarti anti tambang. Sebab tidak bisa dimungkiri bahwa, lebih dari 50% Pendapatan Negara Bukan Pajak bersumber dari sektor ini. Penegakan hukumlah yang diperlukan.
Secara yuridis Negara ini telah memiliki konsep Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Hidup (TJSL) bagi perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi Sumber Daya Alam.
Berbeda dengan Corporate Social Responsibility (CSR) di negara-negara Eropa yang hanya bersifat kewajiban moral saja, TJSL bersifat wajib, terdapat sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak patuh (Pasal 74 ayat (3) UU No. 40 tahun 2007 dan Putusan MK No. 53/PUU-VI/2008).
Sayangnya, alih-alih penegakan hukum, TJSL ini seringkali dimanfaatkan “oknum” tertentu untuk korupsi dan gratifikasi. Sementara negara seringkali “tidak hadir” saat masyarakat berhadapan dengan swasta.
Hasilnya, TJSL hanya mewujud pada bantuan penanggulangan bencana dan bakti sosial. Program yang lebih cocok untuk Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa ini kemudian menjadi landasan dikeluarkannya status “clear and clean”, tinggal menunggu Izin Usaha dikeluarkan.
Saat ini, seharusnya menjadi momentum untuk tidak lagi menambah luas tambang di dalam hutan. Untuk menambal berkurangnya pendapatan negara akibat pembatasan luas pemberian izin lokasi tambang, sektor pariwisata menjadi pilihan utama. Keanekaragaman flora dan fauna serta keragaman budaya Bangsa Indonesia menjadi modal utama.
Melihat data-data yang ada, sektor ini cukup menjanjikan. Pada tahun 2016, saat kondisi perekonomian Indonesia stabil, kontribusi pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 5,82% atau ada peningkatan kontribusi sebesar 0,35 dari tahun 2015.
Demikian juga pada kontribusi pariwisata terhadap penerimaan negara dalam bentuk pajak mencapai 6.42 dari yang sebelumnya 6.03% juga terhadap penciptaan lapangan kerja, meningkat sebanyak 0,47%, dari sebelumnya 3,72 %, menjadi 4,19 % pada tahun 2016 (LPEM UI, Laporan Akhir, 2018; 82).
Keunggulan sektor pariwisata terletak pada keramahannya terhadap lingkungan hidup serta kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengembangan sektor pariwisata tidak membutuhkan eksploitasi sumber daya alam, bahkan sebaliknya kelestarian sumber daya alam merupakan daya tariknya.
Sarana transportasi dan infrastruktur di Indonesia sudah cukup memadai, yang perlu diantisipasi adalah konflik sosial yang mungkin terjadi saat penyempurnaannya, khususnya jalan penghubung antara daerah.
Namun, pendekatan persuasif dan keterlibatan masyarakat sejak dalam perencanaan, pembangunan, hingga pemanfaatan dapat meminimalisirnya. Sembari menunggu meredanya pandemi Covid-19, menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan pembinaan masyarakat agar siap menjadi daerah wisata, baik melalui pendidikan, pelatihan, pendampingan, dan pembiayaan.
Sejak semula, “ing ngarso sung tulodo- ing madyo mangun karso- tut wuri handayani” adalah the way of life bangsa ini, bukan cara kerja Ouroboros, ular yang memakan ekornya sendiri. Mematikan tanah pertanian untuk tambang, membuka hutan untuk perkebunan, kemudian kelabakan mencari lahan pertanian saat krisis pangan di depan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H