Baru-baru ini masyarakat Indonesia digemparkan dengan adanya operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK pada Sabtu 5 Desember 2020 kepada pejabat dilingkungaan Kementrian Sosial, yang salah satunya menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek. Juliari terbukti Terbukti menerima suap sebanyak Rp 17 miliar atas dana bansos Covid-19, padahal jika dilihat total harta yang dimiliki oleh Juliari ini mencapai Rp 47,18 miliar. Namun harta sebesar itu bagi Juliari masih kurang sehingga dia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Hukum yaitu KORUPSI.
Korupsi kini merupakan sebuah istilah yang kini akrab di telinga warga negara Indonesia, dalam tinjauan Kriminologis kejahatan korupsi ini masuk kedalam jenis kejahatan kerah putih (White Collar Crime) karena dalam melakukan kejahatan diperlukan keahlian khusus dan jenis kejahatannya pun tidak tercantum dalam KUHP, selain itu korupsi juga termasuk sebagai kejahatan luar biasa karena mengakibatkan rusaknya seluruh sistem kehidupan baik dalam ekonomi, politik, sosial budaya dan bahkan sampai kerusakan moral serta mental masyarakatnya dan dalam pelaksanaan kejahatannya pun harus diperlukan perencanaan dan terorganisir.
Hal ini bisa kita lihat dalam kasus tindak pidana korupsi dana bansos ini tidak hanya melibatkan 1 orang saja melainkan melibatkan pihak lain, dalam kasus ini yang menjadi tersangka juga ialah Matheus Joko Santoso Dikutip dari Antara, orang ini ditunjuk Juliari menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk proyek ini.
Selain itu ada Adi Wahyono yang tugasnya sama seperti Matheus, Adi merupakan PPK dalam proyek ini. Keduanya, Adi dan Matheus, menetapkan fee Rp 10.000 untuk setiap paket bansos Covid-19 yang nilainya Rp 300.000. Keduanya mengerjakan kontrak pekerjaan ini dari Mei hingga November 2020. Selain itu ada Ardian dan Harry merupakan pihak swasta yang disebut KPK akan memberikan uang untuk Juliari, Matheus, dan Adi.
Faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yang dilakukan oleh Mensos ini dalam Kriminologi bisa dilihat dari Teori Differential Association yang dikemukakan oleh Sutherland, Sutherland beranggapan bahwa:
- Kejahatan itu dipelajari, bukan diwariskan;
- Kejahatan itu dipelajari dalam suatu lingkungan pergaulan yang intim;
- Kejahatan itu dipelajari melalui suatu proses komunikasi;
- Yang dipelajari itu adalah dorongan/motivasi, juga teknik dalm melakukan kejahatan.
Hal ini bisa kita lihat bahwa dalam kejadian korupsi di Indonesia sudah banyak terjadi setiap tahunnya, hal ini bisa menjadi suatu proses pembelajaran pejabat lain untuk melakukan suatu kejahatan korupsi, sehingga mencari celah agar tidak bisa diketahui oleh pejabat KPK.
Modus operandi yang dilakukan oleh Mensos agar suap ini tidak bisa diketahui adalah dengan memotong setiap bantuan sebesar RP. 10.000 dengan harapan hal ini tidak akan bisa diketahui oleh pejabat anti rasuah itu.
Selain itu faktor pendukung dari terwujudnya kejahatan ini ditinjau dari teori Differential Association diakibatkan karena adanya pergaulan yang akrab untuk mempelajari kejahatan, apabila lingkungan sosial itu buruk maka akan mempengaruhi seseorang berperilaku buruk pula, korupsi bansos ini terjadi akibat adanya pengaruh lingkungan tempat Mensos bekerja, karena korupsi ini tidak akan terjadi tanpa ada dukungan dari 2 pejabat kementrian sosial lainnya.
Selain itu adanya kejahatan ini bisa kita lihat dalam perspektif teori Anomie, Emile Durkheim berpendpat bahwa kejahatan itu terjadi karena adanya Anomie, Anomie menurut Emile Durkheim adalah mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral, pada akhirnya menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan kerapkali terjadi konflik norma dalam pergaulan.
Banyaknya kasus korupsi di Indonesia bisa jadi berdasarkan teori anomie ini membuat pejabat lain merasa bahwa korupsi itu adalah sesuatu yang wajar dilakukan dimana diakibatkan individu tersebut sulit menyesuaikan diri dalam pergaulan sehingga tidak adanya budaya malu yang dikembangkan di tataran pejabat Indonesia ketika ada pejabat yang korupsi.
Faktor utama dalam terjadinya tindak pidana korupsi ini diakibatkan pelaku tidak bisa mengontrol hawa nafsu untuk melakukan tindakan korupsi ini, lemahnya daya kontrol ini bisa terjadi karena kurangnya diterapkan norma-norma agama, kesusilaan dan sosial kepada pelaku, sehingga pelaku menjadi rakus dan tidak bisa mengontol hawa nafsunya ketika dihadapkan kepada jumlah nilai uang yang menggiurkan yang ditawarkan oleh pemberi suap kepadanya untuk memenuhi hasratnya menjadi orang yang semakin kaya dengan melakukan tindakan instan dan bertentangan dengan hukum melalui penetapan suatu kebijakan yang tentunya merugikan banyak pihak, khususnya rakyat yang memerlukan dana bantuan sosial.
Kriminologi tidak hanya mempelajari tentang sebab-sebab orang melakukan suatu kejahatan saja, ilmu kriminologi juga membahas tentang bagaimana cara untuk mencegah suatu kejahatan agar kejahatan tersebut tidak terjadi dan merugikan suatu masyarakat, khususnya kejahatan korupsi ini. Dalam ilmu kriminologi cara untuk mencegah terjadinya kejahatan ini berbeda-beda, ada yang melalui hukuman (Punishment of Crime) dan ada yang melalui pencegahan (Preventuin of crime).
Sejalan dengan pendapat Barda Nawawi bahwa penanggulangan korupsi bisa dengan pendekatan kausatif yaitu dengan menghilangkan kausa yang menyebabkan terjadinya korupsi, misalnya dengan upaya preemptive dan preventif. Upaya preemptive ini dimaksudkan untuk menghilangkan adanya niat dari pelaku, dan preventif dimaksudkan untuk menghilangkan adanya kesempatan dan penanggulangan.
Upaya preemptif dalam kasus Korupsi ini sebenarnya bisa dilakukan dengan menerapkan pandangan mazhab Spiritualitas yang melihat kejahatan dari kacamata agama dan menganggap bahwa suatu kejahatan itu dosa, maka sudah menjadi keharusan bagi setiap umat manusia beragama untuk mengatasi setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai hubungan agama dengan kejahatan, De Beats salah seorang pelopor mazhab spritualis dalam kriminologi mengatakan “Dalam berkurangnya daya beragama itu saya melihat salah satu sebab yang terpenting daripada penambahan jumlah kejahatan yang menakutkan itu”.
Upaya ini bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, karena jika seseorang menjalankan perintah agamanya secara kaffah maka seseorang itu tidak akan melakukan tindakan kejahatan yang bertentangan dengan agamanya dan hukum yang berlaku di negaranya. Upaya preemptif ini bisa dijadikan sebagai alat untuk menghalau terjadinya Anomie dalam sistem birokrasi di Indonesia.
Selain itu upaya preventif yang bisa dilakukan dalam pencegahan korupsi ini adalah bisa dilakukan dengan memilih pemimpin itu selain dilihat dari keckapannyaa di bidang tertentu, harus dilihat pula aspek kejujuran dan sfat yang dapat dipercaya (amanah), langkah awal dalam melakukan upaya ini dengan tidak ada mahar politik dalam suatu pemilihan umum ini dan ditiadakannya money politc sampai keakar-akarnya.
Jika upaya ini dilakukan maka ongkos untuk menjadi pemimpin itu murah sehingga pemimpin itu tidak akan mempunyai hutang baik hutang materi ataupun hutang budi, hutang ini lah yang menyebabkan suatu pejabat terjerat kasus korupsi ini, karena hutang ini hanya bisa dibayar melalui dua cara, jika tidak dibayar dengan uang maka harus dibayar dengan pembagian jabatan atau proyek pemerintahan, pembagian jabayan yang tidak berdasarkan kompetensi dan sifat yang baik itulah yang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya korupsi.
Kedua upaya tersebut harusnya dikedepankan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, karena upaya represif yang melalui penal itu dirasa kurang baik memberikan efek jera kepada koruptor karena mereka beranggapan bahwa melalui hukuman di Lembaga Pemasyarakatan itu tidak menyengsarakan karena koruptor biasanya mendapatkan sel khusus dan tidak disatukan dengan narapidana umum.
Kurangnya efektivitas tindakan represif ini juga dapat dilihat dari kasus korupsi dana bansos Covid-19 ini, padahal dalam pasal 2 ayat (2) UU Tipikor sudah jelas bahwa apabila suatu pejabat korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya, krisis ekonomi, bencana alam nasional dan pengulangan tindak pidana korupsi hukuman terberatnya akan dihukum mati, adanya ketentuan yang mengatur dalam pasal ini sama sekali tidak di indahkan oleh Menteri Sosial dan tersangka lainnya untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan memotong dana bantuan sosial sebesar Rp.10.000. dari setiap paket bantuan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H