Kriminologi tidak hanya mempelajari tentang sebab-sebab orang melakukan suatu kejahatan saja, ilmu kriminologi juga membahas tentang bagaimana cara untuk mencegah suatu kejahatan agar kejahatan tersebut tidak terjadi dan merugikan suatu masyarakat, khususnya kejahatan korupsi ini. Dalam ilmu kriminologi cara untuk mencegah terjadinya kejahatan ini berbeda-beda, ada yang melalui hukuman (Punishment of Crime) dan ada yang melalui pencegahan (Preventuin of crime).
Sejalan dengan pendapat Barda Nawawi bahwa penanggulangan korupsi bisa dengan pendekatan kausatif yaitu dengan menghilangkan kausa yang menyebabkan terjadinya korupsi, misalnya dengan upaya preemptive dan preventif. Upaya preemptive ini dimaksudkan untuk menghilangkan adanya niat dari pelaku, dan preventif dimaksudkan untuk menghilangkan adanya kesempatan dan penanggulangan.
Upaya preemptif dalam kasus Korupsi ini sebenarnya bisa dilakukan dengan menerapkan pandangan mazhab Spiritualitas yang melihat kejahatan dari kacamata agama dan menganggap bahwa suatu kejahatan itu dosa, maka sudah menjadi keharusan bagi setiap umat manusia beragama untuk mengatasi setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai hubungan agama dengan kejahatan, De Beats salah seorang pelopor mazhab spritualis dalam kriminologi mengatakan “Dalam berkurangnya daya beragama itu saya melihat salah satu sebab yang terpenting daripada penambahan jumlah kejahatan yang menakutkan itu”.
Upaya ini bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, karena jika seseorang menjalankan perintah agamanya secara kaffah maka seseorang itu tidak akan melakukan tindakan kejahatan yang bertentangan dengan agamanya dan hukum yang berlaku di negaranya. Upaya preemptif ini bisa dijadikan sebagai alat untuk menghalau terjadinya Anomie dalam sistem birokrasi di Indonesia.
Selain itu upaya preventif yang bisa dilakukan dalam pencegahan korupsi ini adalah bisa dilakukan dengan memilih pemimpin itu selain dilihat dari keckapannyaa di bidang tertentu, harus dilihat pula aspek kejujuran dan sfat yang dapat dipercaya (amanah), langkah awal dalam melakukan upaya ini dengan tidak ada mahar politik dalam suatu pemilihan umum ini dan ditiadakannya money politc sampai keakar-akarnya.
Jika upaya ini dilakukan maka ongkos untuk menjadi pemimpin itu murah sehingga pemimpin itu tidak akan mempunyai hutang baik hutang materi ataupun hutang budi, hutang ini lah yang menyebabkan suatu pejabat terjerat kasus korupsi ini, karena hutang ini hanya bisa dibayar melalui dua cara, jika tidak dibayar dengan uang maka harus dibayar dengan pembagian jabatan atau proyek pemerintahan, pembagian jabayan yang tidak berdasarkan kompetensi dan sifat yang baik itulah yang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya korupsi.
Kedua upaya tersebut harusnya dikedepankan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, karena upaya represif yang melalui penal itu dirasa kurang baik memberikan efek jera kepada koruptor karena mereka beranggapan bahwa melalui hukuman di Lembaga Pemasyarakatan itu tidak menyengsarakan karena koruptor biasanya mendapatkan sel khusus dan tidak disatukan dengan narapidana umum.
Kurangnya efektivitas tindakan represif ini juga dapat dilihat dari kasus korupsi dana bansos Covid-19 ini, padahal dalam pasal 2 ayat (2) UU Tipikor sudah jelas bahwa apabila suatu pejabat korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya, krisis ekonomi, bencana alam nasional dan pengulangan tindak pidana korupsi hukuman terberatnya akan dihukum mati, adanya ketentuan yang mengatur dalam pasal ini sama sekali tidak di indahkan oleh Menteri Sosial dan tersangka lainnya untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan memotong dana bantuan sosial sebesar Rp.10.000. dari setiap paket bantuan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H