“Joni, jangan main jauh-jauh!!”
Itulah teriak ibuku saat aku ingin bermain bersama temanku. Saat itu aku akan bermain perang-perangan di taman yang bersebelahan dengan hutan. Saat tiba di taman, aku melihat Abdul, Reza, dan Andre sedang merakit pistol dari kayu yang disambung-sambung dengan karet membentuk pistol. Peluru pistol itu terbuat dari buah ceri.
Senjata telah disiapkan. Kami pun mengambil ceri untuk dijadikan peluru. Setelah mendapatkan banyak peluru, kami membagi kelompok perang menjadi dua. Aku bersama Abdul, sedangkan Reza bersama Andre. Kami bersiap-siap di posisi masing-masing. Permainan pun dimulai. Aku dan Abdul menembak peluru ke Reza dan Andre. Mereka juga menembakkan peluru ke kami. Posisi Reza dan andre terdesak. Mereka kami tembak terus menerus.
Mereka berdua lari ke dalam hutan. Kami mengejar mereka ke dalam hutan. Sampai di tengah hutan, kami lewat jalan setapak yang berumput dan menemukan mereka berdua di balik pepohonan.
“Reza! Andre! Sudahlah kalian sudah kalah!” teriakku.
“Kami belum kalah. Kami cuma istirahat sebentar” teriak Reza sambil berjalan ke arah kami.
“Kita sudah masuk ke dalam hutan terlalu jauh. Kayaknya kita tersesat” ucapku dengan nada cemas.
“Sudah, jangan cemas. Kita ikutin aja jalan yang kita lewati tadi” ucap Reza dengan santai.
“Memangnya kamu tahu ke mana jalan pulangnya?” tanyaku.
“Kita ikuti saja jalan setapak itu” sambil menunjuk ke arah jalan setapak.
Reza, Abdul, dan Andre pun berkumpul untuk berbisik, “Bagaimana jika kita tinggalkan saja Joni?” bisik Reza.
“Oke kita tinggalin dia” bisik Andre.
“Oke!” ucap Abdul.
“Apa sih yang kalian bicarain?”
“Nggak ada” ucap Reza.
“Yuk jalan. Joni kamu jalan di depan ya!” ucap Andre.
“Baiklah.” ucapku.
Kami pun berjalan mengikuti arah jalan setapak tersebut. Ternyata mereka berjalan ke arah yang berbeda. Mereka meninggalkanku sendirian. Aku pun kaget karena mereka meninggalkan aku sendirian. “Sungguh jahat mereka” ucapku di dalam hati. Aku pun berjalan ke arah jalan setapak ini dengan rasa cemas dan takut. Rasa cemas dan takut ini makin menjadi-jadi ketika hari mulai gelap. Aku takut karena burung hantu melotot ke arahku.
Setelah berjalan cukup lama, akupun masuk ke kebun Bang Rozi dan melihat Bang Rozi yang sedang istirahat di pondok kecil yang berada di tengah-tengah kebun itu.
“Bang Rozi!” teriakku.
“Iya! Ada apa?” tanya bang Rozi.
“Bang, bolehkah abang antar aku untuk pulang?” ucapku
“Emang kamu dari mana?” tanya bang Rozi.
“Aku tadi main perang-perangan sampai masuk ke dalam hutan. Jadi aku ndak tahu jalan pulang bang” ucapku.
“Emang kamu main perang-perangan sama siapa?” tanya bang Rozi.
“Aku main sama Reza, Abdul, dan Andre” jawabku.
“Oh gitu. Sini abang antar pulang” ucap Bang Rozi.
Bang Rozi berdiri. Dia pun memegang tanganku dan mulai berjalan untuk keluar dari hutan, kemudian berjalan menuju ke rumahku. Di perjalanan, Bang Rozi memberikan nasihat kepadaku.
“Joni, lain kali kamu main jangan sampai masuk ke dalam hutan. Nanti kamu tersesat, gimana? Untung aja ada abang di kebun. Kalau nggak, pasti kamu udah nggak bisa pulang lagi.” ucap Rozi.
Saat akan sampai di rumah, aku melihat ayah dan ibu di dekat pagar rumah. Aku melihat ibuku cemas karena aku tak kunjung pulang. Sedangkan ayahku berusaha menenangkan ibuku. Saat sampai di depan pagar rumah, ayah mendekati bang Rozi dan menjabat tangannya mengucapkan terima kasih. Aku langsung berlari dan memeluk ibuku.
“Dari mana saja kamu Nak?” tanya ibuku.
“Aku tadi tersesat di hutan bu” jawabku.
“Kamu nggak apa-apa kan?” cemas Ibuku.
“Nggak apa-apa kok bu” jawabku.
“Lain kali kamu jangan ke hutan lagi ya” ucapnya.
“Iya bu” jawabku. “Maafin aku ya bu” ucapku sambil mencium tangan ibuku.
“Iya, ibu maafin kamu” jawab Ibuku.
Sejak hari itu, aku tidak pernah ke hutan lagi. Kecuali dengan pengawasan orang tuaku. Karena di hutan kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H