Zaman edan atau istilah lainnya kalatidha, zaman yang serba meragukan, atau kalabendu zaman yang dipenuhi bencana. Zaman sekarang ini adalah zaman edan, manusia yang membuatnya menjadi edan. Kalau sudah begini maka semuanya menjadi serba repot. Bagaimana tidak repot? Kalau mau ikut-ikutan edan hati tidak mau, tetapi kalau tidak ikut-ikutan tidak akan kebagian, hidup pun menjadi kekurangan. Orang-orang di sekeliling akan merendahkan, malu lah akhirnya.
Lihatlah isi acara televisi, mulai dari sinetron, hiburan musik, reality show, lawak, dan terutama iklan. Semua menawarkan hidup yang menyenangkan namun sejatinya menyesatkan. Para penonton dibuai oleh barang-barang pabrikan milik para konglomerat yang menggiurkan hasrat, mulai dari HP, sepeda motor, mobil, furniture, perlengkapan dapur, jasa travel liburan, baju, makanan, sampai pernak-pernik perhiasan. Pada akhirya itu menjadi simbol status sosial masyarakat kita.
Bagi anak-anak muda, barang-barang tersebut menjadi lambang gengsi dalam pergaulan. Walhasil, kalau tidak punya barang tersebut akan merasa kurang.Â
Padahal barang-barang simbol gengsi tersebut akan berganti mode dalam waktu cepat, dan demi memenuhi gengsi dan harga diri maka barang lama yang sejatinya masih baru pun dilego dengan harga murah, ditukar tambah dengan barang model baru.
Yang sudah berkeluarga memilih jalan utang atau nganjuk, anak-anak ABG memilih cara menodong orang tua dengan ancaman mogok sekolah kalau tidak dituruti.Â
Orang tua yang ujugnya juga ngutang demi menuruti kemauan anak-anaknya yang akan nekat jika tak terkabul apa yang dimintanya. Inilah gambaran hidup masyarakat, bisa jadi kita adalah salah satu pelakunya.
Repot. Anak muda maunya ikut-ikutan, ingin HP yang mahal, tapi sebenarnya hati menolak, untuk apa beli HP semahal itu? Hidup itu seadanya saja. Yang penting HP itu bisa buat SMS sama telepon.Â
Tapi ketika bergabung dengan teman-teman yang memiliki HP canggih dan mahal diri pun menjadi malu. Akhirnya murung dan memaki nasib karena tidak terlahir sebagai anak orang kaya.
Ibu-ibu pun inginnya memiliki barang-barang berharga yang bisa dilihat orang lain seperti gelang, kalung, cincin. Juga perabotan mahal yang bisa dilihat orang lain saat bertamu.Â
Dalam hati mengatakan, sudahlah, hidup itu jangan berlebihan, membeli barang itu sesuai kemampuan dan kebutuhan saja. Tapi ketika bergabung dengan ibu-ibu arisan dan melihat barang mewah di rumah tetangganya, belum lagi perhiasan yang dipakai orang lain, nafsu pun memberontak. Ujung-ujungnya suami yang kelabakan, mencari uang tambahan.
Bapak-bapak pun juga demikian, rentan terjerat oleh kesenangan duniawi yang sejatinya palsu. Di lingkungan kerja dia menjadi bawahan.Â
Sering diperintah dengan kata-kata tak menyenangkan. Belum lagi hubungan antara sesama teman kerja yang tak jarang saling pamer ini dan itu.Â
Dia merasa kurang, padahal itu hanya perasaan dirinya saja. Dalam lingkungan keluarga, juga merasa kurang jika dibandingkan saudara, ipar, atau kerabat lainnya. Ia pun murung, lalu ingin menunjukan keunggulan dirinya.
Cara tak wajar pun ditempuhnya, mulai dari mencuri muka di hadapan atasan, mencari cara agar teman-teman kerjanya yang menjadi pesaing terjatuh, serta sederet cara kotor lainnya.Â
Setelah bisa naik jabatan ia merasa senang, tapi hanya sebentar. Dia didera gelisah lagi karena jabantannya kurang tinggi, lalu cara yang sama pun dilakukannya lagi.
Inilah zaman edan. Yang membuatnya menjadi edan adalah manusia sendiri. Zaman yang dipenuhi bencana yang bukan sekedar bencana alam, tapi bencana yang diciptakan oleh manusia sendiri berupa hawa panas yang membuat semua orang ingin serba cepat, serba keturutan, mudah tersinggung dan marah, suka menyalahkan orang lain.
Tapi, kalau tidak mengikuti perkembangan zaman maka akan ketinggalan, akhirnya tersingkir dari persaingan kehidupan. Sebenarnya, bukan zaman yang mesti disalahkan karena memang sudah waktunya demikian. Bahwa zaman itu akan terus berputar, dan berputar semakin cepat.Â
Sudah menjadi adatnya pula bahwa semakin cepat perputaran zaman, semakin besar pula keinginan. Inilah yang menjadi masalah, yakni bagaimana manusia mampu mengendalikan keinginannya itu. Jika maunusia mampu mengendalikan keinginannya maka ia tidak akan gelap mata dan hati, tidak akan menuruti setiap keinginan nafsunya.
Akan tetapi, tak semua orang bisa mengatasi zaman yang serba semrawut seperti ini. Bahkan sudah menjadi rumus Tuhan bahwa hanya sedikit aja manusia yang bisa selamat dari zaman edan ini, dan hanya sedikit saja manusia yang mampu bersandar pada fitrahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H