Sering diperintah dengan kata-kata tak menyenangkan. Belum lagi hubungan antara sesama teman kerja yang tak jarang saling pamer ini dan itu.Â
Dia merasa kurang, padahal itu hanya perasaan dirinya saja. Dalam lingkungan keluarga, juga merasa kurang jika dibandingkan saudara, ipar, atau kerabat lainnya. Ia pun murung, lalu ingin menunjukan keunggulan dirinya.
Cara tak wajar pun ditempuhnya, mulai dari mencuri muka di hadapan atasan, mencari cara agar teman-teman kerjanya yang menjadi pesaing terjatuh, serta sederet cara kotor lainnya.Â
Setelah bisa naik jabatan ia merasa senang, tapi hanya sebentar. Dia didera gelisah lagi karena jabantannya kurang tinggi, lalu cara yang sama pun dilakukannya lagi.
Inilah zaman edan. Yang membuatnya menjadi edan adalah manusia sendiri. Zaman yang dipenuhi bencana yang bukan sekedar bencana alam, tapi bencana yang diciptakan oleh manusia sendiri berupa hawa panas yang membuat semua orang ingin serba cepat, serba keturutan, mudah tersinggung dan marah, suka menyalahkan orang lain.
Tapi, kalau tidak mengikuti perkembangan zaman maka akan ketinggalan, akhirnya tersingkir dari persaingan kehidupan. Sebenarnya, bukan zaman yang mesti disalahkan karena memang sudah waktunya demikian. Bahwa zaman itu akan terus berputar, dan berputar semakin cepat.Â
Sudah menjadi adatnya pula bahwa semakin cepat perputaran zaman, semakin besar pula keinginan. Inilah yang menjadi masalah, yakni bagaimana manusia mampu mengendalikan keinginannya itu. Jika maunusia mampu mengendalikan keinginannya maka ia tidak akan gelap mata dan hati, tidak akan menuruti setiap keinginan nafsunya.
Akan tetapi, tak semua orang bisa mengatasi zaman yang serba semrawut seperti ini. Bahkan sudah menjadi rumus Tuhan bahwa hanya sedikit aja manusia yang bisa selamat dari zaman edan ini, dan hanya sedikit saja manusia yang mampu bersandar pada fitrahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H