Maikel tidak bisa membuat nasi liwet. Namun kakeknya, beliau tersohor dengan liwetnya yang asoy, lengkap dengan sambel goangnya yang menggoyang lidah. Maklum, Maikel adalah manusia hasil perpaduan dua genus manusia. Ibunya yang tulen sunda, sedangkan bapaknya merupakan suporter Manchester United. Ya, dia orang Inggris yang jatuh dalam pelukan sang mojang sunda.
Sudah menjadi sebuah rutinitas. Keluarga besar Maikel setiap hari minggu selalu botram. Lengkap dengan sanak saudara. Masih menjadi tempat utama yakni rumah kakeknya. Dengan halaman yang luas membuat arena makan besar itu pun menjadi leluasa.
Pada satu minggu, terlihat semua saudara Maikel turut hadir. Saudara-saudara sebayanya kini berkumpul dengan tujuan yang sama, makan liwet buatan kakek.
Tradisi ngaliwet merupakan ajang silaturahmi dan wujud kebersamaan, tidak seru kalau dilakukan sendirian. Tradisi ini sebenarnya tak hanya sebatas makan bersama, ada beberapa ritual didalamnya. Ritual tersebut diantaranya adalah membeli bahan masakan dengan biaya bersama, bisa juga menyumbang beberapa jenis bahan mentah untuk dimasak bersama-sama.
Lalu dimasak dalam kastrol diatas tungku dengan nasi dibumbui sereh serta daun salam. kemudian untuk lauknya, haruslah sesuai rukun liwet itu sendiri, ikan asin, pete, jengkol, lalapan, tahu, tempe, serta kerupuk. Hingga disajikan diatas daun pisang.
Namun haruskah seperti itu? Dimasak dalam kastrol, harus diatas tungku dan disajikan diatas daun pisang? Tidak bisakah memakai kompor lalu memakannya dipiring? Dan itu pun akan mempercepat proses memasaknya.
Bukan tidak bisa, justru itulah nilai ritualisasinya. Hal demikian akan menghilangkan esensi dari ngaliwet itu sendiri. Selain dari hasilnya yang dinikmati, namun prosesnya lah yang berbalut nilai spiritual. Proses saat mengumpulkan bahan masakan, saat mencari kayu bakar, menanak nasi dan menunggu sampai matang sambil ditemani asap dari tengku dan guyonan bersama.
Ngaliwet sudah menjadi simbol kekeluargaan, gotong royong, dan saling berbagi. Kekeluargaan, karena nagliwet tidak bisa dilakukan hanya seorang, namun dibutuhkan orang lain untuk membuatnya menjadi berkesan.
Begitupun kakek Maikel, walaupun ia dikenal ahli dalam membuat liwet. Namun, dalam pengerjaanya pun ia lebih senang bersama-sama.
Dan saat yang ditunngu pun tiba. Aroma khas liewet kakek mulai menggoda hidung-hidung mereka. Seolah aroma itu adalah roh spiritual yang memiliki kekuatan. Mereka semua terthipnotis olehnya. Semua segera menyiapkan arena untuk menyantap liwet.
Hamparan daun pisang yang disediakan inilah yang akan menjadi bukti empiris bahwa liwet telah membuatnya menampung panas darinya. Serta menampung pedihnya sambel goang yang menggoyang. Tahu, tempe, dan asin merupakan objek yang tak bisa dilupakan begitu saja dalam menemani ritual ngaliwet. Begitupun dengan kerupuk dan lalapan, ia akan menjadi pendamping dan membuat gurih sehingga membuat ngaliwet menjadi khusyu.
Tak luput jua, trilogi anasir yang menjadi simbol dari liwet yakni siapa lagi kalau bukan jengkol dan peuteuy serta pangeran ikan asin. Hingga kini, lengkap sudah instrumen-instrumen liwet sehingga menjadi sebuah ritus spiritual yang memuaskan jiwa mereka.
Maikel makan dengan sangat khusyu, satu suap liwet yang dicocol sambel goang ditemani ikan asin, tahu serta tempe ditangan kanan. Lalu dihantam mentimun dan kerupuk ditangan kiri. Seolah ia adalah Roronoa Zoro dalam serial One Piece yang menggunakan tekhnik Nintoryunya.
Ditengah sedapnya menyantap liwet. Kakek sedikit menghela dan bernada "dasar kamu, apa lupa yang diajarkan dulu waktu ngaji di mushola?". "emangnya apa kek?" jawab Maikel sambil terus menghantamkan liwetnya kedalam mulutnya yang mulai merah pedas. "kalau makan itu dengan tangan kanan, tangan kiri itu buat yang selain makan atau minum!" tandas kakek.
Memang. Diantara keluarga dan sanak saudaranya, hanya Maikel yang orang blasteran. Jadi wajar kalau budaya luar itu ada pada dirinya. Khususnya barat. "Kalau makan dengan tangan kiri itu perbuatan syetan!" ujar kakek. "Jadi sekarang ini yang makan siapa kek, Maikel atau syetan?" tanya Maikel. "emang kamu mau disebut syetan?" tanya kakek.
Maikel lalu berhenti makan dan hanya diam. Meskipun terlihat dari raut wajah yang kepedasan akibat ledakan sambel goang. Kakek bertanya "kenapa kamu berhenti makan?". Maikel berkata "Cuma ingin ngetes kemampuan syetan aja kek, gimana rasa pedasnya sambel goang kakek, biar syetan kepedesan. Kan Maikel tadi pake tangan kiri makannya, berarti yang makan syetan dong, biari tau rasa dia kepedesan!". "boa edan!" pungkas kakek.
Refleksi atas sabda Rasulullah SAW
"Apabila seseorang diantara kamu makan atau minum, hendaklah menggunakan tangan kanannya. Karena, syetan makan dan minum dengan tangan kiri."(HR. Muslim)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H