Apabila melihat pada artikel dan argumentasi Deventer atas tuntutan balas budinya, ia mengkritisi tindakan tanam paksa dan praktik ekonomi liberal yang menghasilkan kas selama bertahun-tahun. Atas tulisan tersebut, kaum liberal dan religius di Negeri Belanda memaksa pemerintah negeri induk melaksanakan politik balas budi atau Politik Etis. Lagipula, perlu diketahui, tidak semua orang etis di parlemen setuju dengan Multatuli, termasuk Rob Niewenhuis, dan semakin mematahkan frasa 'faktor besar dan membuahi'.
Sebagai penutup, sejak Max Havelaar terbit sampai saat ini, perdebatan masih dalam kontestasi: novel antikolonial atau prokolonial; Multatuli atau Anti-Multatuli. Terlepas dari hal tersebut, karya berharga dari Multatuli adalah perjuangannya menuntut keadilan atas ketimpangan yang disebabkan oleh tindakan penjajahan.Â
Rasa solidaritas yang ditunjukkannya menandai semangat perjuangannya membela keadilan tanpa melihat perbedaan di antara masyarakat yang terkadang cenderung rasialis. Ia memandang penjajah adalah siapapun mereka yang melakukan penindasan terhadap yang lemah baik dilakukan oleh pejabat kolonial ataupun pribumi feodal. "Justru inilah kehebatan bukuku: gagasan-gagasan utamanya mustahil runtuh dibantah. Dan, semakin besar ketidaksukaan orang terhadap bukuku, semakin aku merasa senang, karena kesempatan untuk didengarkan akan jauh lebih besar lagi" (Hlm 462)
Daftar Pustaka
1. Â Multatuli. (2019). Max Havelaar. Jakarta: Qanita [Edisi asli buku ini berjudul Max Havelaar (1860)]Â
2.  Niuewnhuys, Rob. (2019). Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli. Depok: Komunitas Bambu. [Edisi asli buku ini berjudul De Mythe Van Lebak (1989). Van Oorschot: Amsterdam]
Penulis
Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H