Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik Balas Budi dan Praktik Pendidikan Setengah Hati

21 September 2020   17:19 Diperbarui: 28 Maret 2022   11:27 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik Balas Budi dan Praktik Pendidikan Setengah Hati (Sumber: KITLV)

"Kebijakan Politik Etis atau politik balas budi akhirnya dimulai secara resmi pada tahun 1901 dan memiliki tiga program, yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi."

Pada tahun 1899, terbit sebuah tulisan berjudul "Een Ereschuld (Sebuah Utang Kehormatan)" dalam majalah De Gids. Tulisan tersebut berisi kritikan Conrad Theodor van Deventer (1857--1915) terhadap pemerintah Belanda atas perlakuan dari praktik kolonialisme yang membuat masyarakat bumiputra sengsara. 

Dalam tulisannya, ia berargumen bahwa pemerintah harus membalas budi atas perlakuan dari tanam paksa---oleh golongan kolonial diberi nama cultuurstelsel (1830--1870)---dan praktik ekonomi liberal yang menghasilkan keuntungan kas selama bertahun-tahun.

Atas tulisan tersebut, kaum liberal dan religius di Negeri Belanda memaksa pemerintah negeri induk melaksanakan politik balas budi atau Politik Etis. Kebijakan Politik Etis atau politik balas budi akhirnya dimulai secara resmi pada tahun 1901 dan memiliki tiga program, yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi.

Usai pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 yang menandai dimulainya rentetan kebijakan etis, praktik kewajiban moral kepada rakyat Hindia Belanda ini menjadi salah satu landasan yang mendasari lahirnya berbagai kebijakan di negeri koloni. 

Sejak berlakunya Politik Etis sampai dekade 1930, program yang paling menonjol dan memiliki pengaruh besar terhadap rakyat bumiputra adalah program edukasi. Di mata sejarawan Indonesia masa kini, program edukasi dinilai menjadi alat untuk meruntuhkan dominasi kolonial dan menjadi senjata untuk memberantas kolonialisme di Nusantara.

Baca juga : Manfaat Politik Etis bagi Bangsa Indonesia

Beberapa sekolah pun dibuka sebagai amanat dari program etis, mulai dari sekolah rendah hingga sekolah menengah. Pada sekolah rendah terdapat jenjang Euoropese Lagerse School (ELS) yang ditunjukan untuk anak keturunan Eropa, timur asing, atau bumiputera dai tokoh terkemuka; Hollands Chinese School (HCS) yang ditunjukan untuk anak-anak keturunan timur asing, golongan Cina; serta Hollands Inlandse School (HIS) yang diperuntukan untuk anak-anak khusus bumiputera. 

Ketiga sekolah tersebut memiliki waktu pendidikan 7 tahun. Setelah menempuh pendidikan sekolah rendah, mereka memiliki opsi lanjut sekolah lagi atau bekerja. Apabila memilih untuk lanjut sekolah kembali, terdapat tiga jenis sekolah, antara lain Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang kemudian dilanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) sebagai kelanjutan sekolah bagi mereka anak bumiputera dan timur asing dan Hogere Burgerschool (HBS) untuk anak Eropa dan bangsawan bumiputera. Ketiganya memiliki waktu pendidikan 3 tahun.

Singkatnya, anak bumiputera harus menempuh pendidikan di HIS-MULO-AMS dengan waktu 13 tahun. Sedangkan, anak Eropa menempuh pendidikan ELS-HBS dengan waktu 10 tahun. Dari segi waktu tempuh pendidikan, pemerintah kolonial dengan sengaja memberi waktu yang panjang untuk studi anak bumiputera. 

Meski begitu, sekalipun ini merupakan bagian dari kebijakan etis, akses pendidikan kepada bumiputra tidak diberikan begitu saja. Dengan kata lain, akses warga bumiputra kebanyakan terhadap pendidikan modern ketika itu sangat terbatas. Pembatasan tersebut dapat dilihat ketika pemeritah kolonial menerapkan bebeberapa kebijakan terkait pendidikan pada masa itu. 

Nasution dalam Sejarah Pendidikan Indonesia (1983), mengungkapkan enam ciri umum kebijakan pendidikan pada masa etis.

Pertama, pendidikan yang dengan sengaja mempertahankan perbedaan sosial dengan didirikannya sekolah untuk anak Belanda dan sekolah untuk anak bumiputra. 

Kedua, pendidikan yang mengusahakan edukasi yang sesederhana mungkin bagi anak bumiputra. Salah satu alasannya adalah mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan pemerintah. 

Baca juga : Humanisme Barat dan Politik Etis

Ketiga, pendidikan yang dikontrol ketat oleh pemerintah sehingga kecil kemungkinan terlambatnya proses perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Dampaknya perkembangan pendidikan bumiptera sangat lambat. 

Keempat, adanya prinsip yang mengharuskan semua sekolah berorientasi barat. 

Kelima, tidak adanya rancangan terlebih dahulu ketika melakukan proses pendidikan. Akibatnya, proses pembelajaran terganggu akibat adanya revisi terus menerus atas aturan pendidikan. 

Keenam, keterbatasan tujuan karir setelah lulus sekolah.

Keenam ciri umum tersebut bisa dibilang merupakan halangan ketika bumiputra memperoleh pendidikan. Meski pendidikan gaya barat tersebut merupakan tanda resmi dari Politik Etis, program tersebut memiliki tujuan yang sangat utama yaitu untuk memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara.  

Pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial memang tidak pernah sengaja dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk bumiputra di wilayah koloni. Alih-alih mereka membangun sekolah, lebih baik mereka membuka perkebunan, misalnya, yang bisa memberikan keuntungan bagi mereka. 

Bisa dibilang, penguasa kolonial tidak mungkin sepenuhnya menerapkan kebijakan yang mengeluarkan pengeluaran besar, seperti pendirian sekolah, jalan raya, jembatan, dan gedung publik.

Bahkan, sejarawan Furnilvall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939), menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, khususnya di bidang pendidikan didorong oleh kepentingan keuntungan ekonomi bagi mereka sendiri alih-alih oleh motif untuk meningkatkan keberadaban rakyat setempat.

Hal ini terbukti di Hindia Belanda, bahwa motif pendidikan Politik Etis adalah untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik dan murah untuk bekerja pada perkebunan Belanda dan pegawai kantoran. 

Pembukaan lowongan untuk pegawai kantoran tentu didasari karena pemerintah Hindia Belanda semakin meluaskan meluaskan pengaruhnya di daratan Nusantara. 

Baca juga : Sebuah Pelajaran Penyampaian Kebijakan dari Hindia Belanda

Akibatnya, kebutuhan Hindia Belanda untuk mengisi kebutuhan pegawai semakin besar. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah kolonial pun merekrut pegawai dari kalangan bumiputra dibanding mendatangkan pegawai dari Eropa atau kaum Eropa. 

Jika sebelumnya, perekrutan pegawai dididasarkan pada keturunan, era etis justu menghadirkan pentingnya latar pendidikan. Dengan demikian, apabila bumiputra memperoleh pendidikan dan menjadi pegawai, hal itu dapat menaikkan derajatnya dibanding bumiputra lainnya.

Namun, meski dapat naik derajatnya, identitas bumiputra tetaplah melekat sebagai identitas asli---meskipun telah mengalami modernitas. Walaupun seperti itu, melalui program Etis inilah golongan bumiputra menjadi lebih kritis. 

Artinya, pendidikan mengalami transformasi makna dan fungsi yang bukan saja menghasilkan pegawai, melainkan menghasilkan manusia nasionalis dan antikolonial yang bergerak meruntuhkan dominasi kolonial

Tulisan ini merupakan bentuk artikel populer dari penelitian saya "Akses Pendidikan Bagi Pribumi Pada Periode Etis, 1901-1930"

Sumber:

  • Furnivall, J.S (1939). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge Press.
  • Nagazumi, Akira. (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama
  • Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Poesponegoro, M.D & Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi
  • Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1921-1926. terj. Hilmar Farid. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
  • Suwignyo, Agus (2019). Pendidikan, Kekuasaan, dan Kolonialisme. Jogjakarta: Quantum Jogja.
  • Van Niel, R. (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Penulis

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan di Indonesia 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun