Meski begitu, sekalipun ini merupakan bagian dari kebijakan etis, akses pendidikan kepada bumiputra tidak diberikan begitu saja. Dengan kata lain, akses warga bumiputra kebanyakan terhadap pendidikan modern ketika itu sangat terbatas. Pembatasan tersebut dapat dilihat ketika pemeritah kolonial menerapkan bebeberapa kebijakan terkait pendidikan pada masa itu.Â
Nasution dalam Sejarah Pendidikan Indonesia (1983), mengungkapkan enam ciri umum kebijakan pendidikan pada masa etis.
Pertama, pendidikan yang dengan sengaja mempertahankan perbedaan sosial dengan didirikannya sekolah untuk anak Belanda dan sekolah untuk anak bumiputra.Â
Kedua, pendidikan yang mengusahakan edukasi yang sesederhana mungkin bagi anak bumiputra. Salah satu alasannya adalah mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan pemerintah.Â
Baca juga : Humanisme Barat dan Politik Etis
Ketiga, pendidikan yang dikontrol ketat oleh pemerintah sehingga kecil kemungkinan terlambatnya proses perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Dampaknya perkembangan pendidikan bumiptera sangat lambat.Â
Keempat, adanya prinsip yang mengharuskan semua sekolah berorientasi barat.Â
Kelima, tidak adanya rancangan terlebih dahulu ketika melakukan proses pendidikan. Akibatnya, proses pembelajaran terganggu akibat adanya revisi terus menerus atas aturan pendidikan.Â
Keenam, keterbatasan tujuan karir setelah lulus sekolah.
Keenam ciri umum tersebut bisa dibilang merupakan halangan ketika bumiputra memperoleh pendidikan. Meski pendidikan gaya barat tersebut merupakan tanda resmi dari Politik Etis, program tersebut memiliki tujuan yang sangat utama yaitu untuk memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara. Â
Pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial memang tidak pernah sengaja dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk bumiputra di wilayah koloni. Alih-alih mereka membangun sekolah, lebih baik mereka membuka perkebunan, misalnya, yang bisa memberikan keuntungan bagi mereka.Â