Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik Balas Budi dan Praktik Pendidikan Setengah Hati

21 September 2020   17:19 Diperbarui: 28 Maret 2022   11:27 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa dibilang, penguasa kolonial tidak mungkin sepenuhnya menerapkan kebijakan yang mengeluarkan pengeluaran besar, seperti pendirian sekolah, jalan raya, jembatan, dan gedung publik.

Bahkan, sejarawan Furnilvall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939), menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, khususnya di bidang pendidikan didorong oleh kepentingan keuntungan ekonomi bagi mereka sendiri alih-alih oleh motif untuk meningkatkan keberadaban rakyat setempat.

Hal ini terbukti di Hindia Belanda, bahwa motif pendidikan Politik Etis adalah untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik dan murah untuk bekerja pada perkebunan Belanda dan pegawai kantoran. 

Pembukaan lowongan untuk pegawai kantoran tentu didasari karena pemerintah Hindia Belanda semakin meluaskan meluaskan pengaruhnya di daratan Nusantara. 

Baca juga : Sebuah Pelajaran Penyampaian Kebijakan dari Hindia Belanda

Akibatnya, kebutuhan Hindia Belanda untuk mengisi kebutuhan pegawai semakin besar. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah kolonial pun merekrut pegawai dari kalangan bumiputra dibanding mendatangkan pegawai dari Eropa atau kaum Eropa. 

Jika sebelumnya, perekrutan pegawai dididasarkan pada keturunan, era etis justu menghadirkan pentingnya latar pendidikan. Dengan demikian, apabila bumiputra memperoleh pendidikan dan menjadi pegawai, hal itu dapat menaikkan derajatnya dibanding bumiputra lainnya.

Namun, meski dapat naik derajatnya, identitas bumiputra tetaplah melekat sebagai identitas asli---meskipun telah mengalami modernitas. Walaupun seperti itu, melalui program Etis inilah golongan bumiputra menjadi lebih kritis. 

Artinya, pendidikan mengalami transformasi makna dan fungsi yang bukan saja menghasilkan pegawai, melainkan menghasilkan manusia nasionalis dan antikolonial yang bergerak meruntuhkan dominasi kolonial

Tulisan ini merupakan bentuk artikel populer dari penelitian saya "Akses Pendidikan Bagi Pribumi Pada Periode Etis, 1901-1930"

Sumber:

  • Furnivall, J.S (1939). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge Press.
  • Nagazumi, Akira. (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama
  • Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Poesponegoro, M.D & Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi
  • Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1921-1926. terj. Hilmar Farid. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
  • Suwignyo, Agus (2019). Pendidikan, Kekuasaan, dan Kolonialisme. Jogjakarta: Quantum Jogja.
  • Van Niel, R. (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun