Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beda Pandangan dalam Sejarah adalah Wajar, Tapi...

8 Agustus 2020   17:03 Diperbarui: 5 November 2020   21:07 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prosesi perkawinan di Vorstelanden. Sumber: KITLV

Dalam beberapa tahun belakangan ini kita banyak mendengar pemberitaan terkait pernyataan seseorang terhadap sejarah dan menuai perdebatan baik di kalangan publik ataupun akademisi. Misalnya, ucapan Ridwan Saidi yang bersikukuh kerajaan Sriwijaya Fiktif dan lagi-lagi ucapan Ridwan Saidi yang menyebutkan kerajaan Galuh fiktif.

Pernyataan-pernyataan yang sekiranya cukup memantik perdebatan tersebut sudah banyak terjadi dalam ranah akademis ilmu sejarah. Melalui tulisan ini, saya akan berbagi informasi terkait interpretasi dan perbedaan dalam sejarah yang dapat berbeda satu sejarawan dengan yang lainnya dan dapat "dimaklumi" dengan syarat oleh teman-teman Kompasiana. 

Untuk memahami hal ini, kiranya kita perlu memahami kembali metodologi sejarah khususnya langkah-langkah penelitian sejarah. Terkait langkah-langkah penelitian sejarah terdapat beragam pendapat. 

Pada tulisan ini saya akan mengambil pendapat dari sejarawan terkemuka Indonesia, Kuntowijoyo, terkait langkah penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (1995), terdapat lima langkah penelitian sejarah: 1) pemilihan topik. 2) pengumpulan sumber. 3) verifikasi. 4) Interpretasi. 5) penulisan. 

Jika seseorang ingin melakukan penelitian sejarah, tahap pertama yang dilakukan adalah memilih topik berdasarkan kemauan dari peneliti tersebut. 

Setelah dirasa sesuai dan sudah menemukan topik penelitian, peneliti sejarah masuk ke tahap kedua yaitu pengumpulan sumber. Pengumpulan sumber memainkan peranan penting dalam proses penelitian sejarah karena hal ini menentukan gagal atau tidaknya penelitian. Bisa dibilang, pengumpulan sumber adalah koentji!. Sumber-sumber yang dikumpulkan bisa berupa sumber tertulis ataupun tidak tertulis. 

Setelah mengumpulkan sumber dan dirasa cukup, peneliti tidak boleh kepedean terlebih dahulu terhadap sumber yang ia kumpulan. Bisa saja sumber yang dikumpulkan palsu atau terdapat kesalahan. Untuk memastikan, peneliti memasuki tahap ketiga yaitu verifikasi atau kritik sumber.

Gampangnya, pada tahap ini peneliti harus memastikan ulang sumber yang didapat benar-benar dapat dipertanggung jawabkan sesuai keautentikan dan kredibilitasnya. 

Pada tahap ini terdapat dua tahapan lagi. Ketika peneliti menemukan dokumen X, dokumen tersebut diteliti lebih lanjut dari segi gaya bahasa, jenis tulisan, tintanya, kertasnya, kalimatnya, hurufnya, dan penampilan luarnya.

Secara singkat ini disebut sebagai kritik ekstern. Setelah melewati kritik ekstern yang cukup ketat, dokumen tersebut harus diteliti kembali siapa penulisnya? bagaimana sifat dan wataknya penulisnya? bagaimana situasi zaman pada saat terbitnya dokumen tersebut?.  

Jika dirasa sudah melewati dua tahapan ini, Selain itu juga, peneliti perlu menyeleksi mana yang relevan dengan penelitiannya dan kemudian menyediakanya lewat pengolahan sebagai fakta-fakta.

Menurut Sartono Kartodirjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, hasil kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur bagi penyusunan sejarah. 

Setelah tahapan yang super ketat ini, barulah peneliti boleh sedikit bersorak gembira karena sumbernya kredibel dan autentik dan mendapat fakta yang berguna untuk kedepannya. 

Namun, peneliti janganlah bersorak-sorak terlalu lama karena penelitian sejarah belumlah selesai. Tahap keempat adalah interpretasi. Pada tahap ini peneliti menafsirkan fakta-fakta  yang ia dapat menjadi kesatuan logis dan masuk akal. 

Menurut Kuntowijoyo, pada tahap ini subjektifitas sangatlah tinggi, sehingga  antar peneliti bisa menafsirkan fakta sejarah yang berbeda. Akhirnya tibalah pada tahap terakhir yaitu penulisan yang menyusun narasi sejarah secara kronologis sesuai fakta-fakta yang ada. 

Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa penelitian sejarah adalah langkah yang ketat. Untuk mengungkapkan fakta sejarah harus didukung oleh bukti-bukti yang jelas sehingga apa yang kita hadirkan tidak gugur karena diserang argumentasi lawan. 

Hal terpenting yang menjadi inti tulisan ini dan perlu saya sampaikan bahwa dalam pandangan saya, setelah menjalani berbagai perkuliahan sejarah, sejarah bukan terutama bicara benar vs salah, tapi bicara interpretasi kuat vs lemah. 

Sejauh interpretasinya logis, konsisten dengan fakta-fakta sejarah yang bisa dihadirkan dan mampu bertahan dari argumentasi lawan (kontra), itu sah saja. Lagipula, terkait interpretasi, ada banyak faktor yang mempengaruhi alasan interpretasi seseorang bisa berbeda. Pendekatan, Teori, Konsep, Ideologi, bahkan kemampuan bahasa pun turut mempengaruhi interpretasi seseorang.

Perlu diingat juga, pertanyaan sejarah jarang sekali yang hanya menghadirkan narasi jawaban tunggal. Artinya, selalu terbuka untuk hadirnya narasi lain, interpretasi yang berbeda. 

Kontestasi ada pada interpretasi yang saling berbeda itu. Interpretasi yang paling konsisten dengan fakta (apalagi konsisten dengan pendapat mayoritas ahli sejarah lainnya) yang akan menjadi narasi kuat. 

Tapi interpretasi yang lemah juga tetap mengandung kebenaran tertentu. Itu sebabnya tidak tepat juga apabila kita mengatakan bahwa interpretasi yang lemah berarti salah. 

Misalkan saja, apabila Ridwan Saidi menyebutkan Kerajaan Sriwijaya fiktif, maka sah-sah saja. Asalkan beliau mampu menghadirkan bukti-bukti sejarah yang mendukung argumennya. Semakin banyak bukti yang mendukung pandangannya itu semakin kuat fakta sejarah itu. Kalau buktinya sedikit maka fakta sejarahnya juga menjadi lemah. Pada dasarnya, menulis sejarah bukan hanya mengungkapkan fakta. Namun, fakta tersebut harus didukung bukti.

Salah satu dosen saya pernah berkata: "jangan sampai tesis tersebut hanya bagus di tingkat retorika, tapi runtuh di hadapan fakta". 

Peneliti sejarah harus memiliki dua kualitas berikut: tekun dan cermat terhadap sumber (terutama sumber primer) dan punya daya analisis yang mendalam (tingkat tingginya disebut 'imajinasi sejarah'). 

Kemampuan analisis tersebut akan dimiliki jika banyak baca buku sejarah maupun buku ilmu sosial atau humaniora lainnya sehingga memperkaya pengetahuan konsep dan teori dan akhirnya bisa melakukan proses dan berimajinasi sejarah 

Salah satu kawan sejarawan saya, Aslama Nanda Rizal, pernah memberikan pesan kepada saya. Menurutnya, rekonstruksi peristiwa masa lampau atau menyusun ulang cerita suatu sejarah, tidak bisa dilakukan sembarangan. 

Semua orang bisa menjelaskan suatu peristiwa. Semua orang bisa menceritakan dan menulis sejarah. Namun hasilnya akan terdapat perbedaan kualitas, jika dibanding dengan rekonstruksi sejarah yang dilakukan oleh sejarawan secara akademis.

Semua orang bisa mengaku, mengklaim, menyebut, menjuluki diri, hingga diakui, diklaim, dianggap, disebut, dan dijuluki sebagai sejarawan. Namun jejak rekam akademislah yang dapat benar-benar membuktikannya. Menjadi sejarawan harus didasari dengan dasar keilmuan yang kuat dan jelas.

Sejarawan bertanggung jawab terhadap seluruh ingatan kolektif yang ada di masyarakat. Sebagai langkah atau upaya mendekati kebenaran, terdapat proses dialog yang berlangsung antar sejarawan. 

Masing-masing sejarawan, memiliki cara atau pendekatan tersendiri, dalam menafsirkan kebenaran. Tentunya, hal ini bersandar pada argumentasi yang dapat dipertanggung-jawabkan. 

Tapi, tantangan menulis sejarah tidak hanya berakhir pada penelitian sejarah. Tantangan terbesar adalah ketika peneliti mempublikasikan hasil penelitiannya kepada publik. 

Kawan sejarawan saya, Christopher Reinhart, pernah membahas hal ini di laman Kompasiana pribadi miliknya dengan topik: "Para Sejarawan di Era Pascakebenaran" 

Penulis
Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta. Saat ini ia sedang mendalami kajian sejarah kesehatan di Indonesia dan menjadi pemimpin redaksi komunitas sejarah History Agent Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun