Menurut Sartono Kartodirjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, hasil kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur bagi penyusunan sejarah.Â
Setelah tahapan yang super ketat ini, barulah peneliti boleh sedikit bersorak gembira karena sumbernya kredibel dan autentik dan mendapat fakta yang berguna untuk kedepannya.Â
Namun, peneliti janganlah bersorak-sorak terlalu lama karena penelitian sejarah belumlah selesai. Tahap keempat adalah interpretasi. Pada tahap ini peneliti menafsirkan fakta-fakta  yang ia dapat menjadi kesatuan logis dan masuk akal.Â
Menurut Kuntowijoyo, pada tahap ini subjektifitas sangatlah tinggi, sehingga  antar peneliti bisa menafsirkan fakta sejarah yang berbeda. Akhirnya tibalah pada tahap terakhir yaitu penulisan yang menyusun narasi sejarah secara kronologis sesuai fakta-fakta yang ada.Â
Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa penelitian sejarah adalah langkah yang ketat. Untuk mengungkapkan fakta sejarah harus didukung oleh bukti-bukti yang jelas sehingga apa yang kita hadirkan tidak gugur karena diserang argumentasi lawan.Â
Hal terpenting yang menjadi inti tulisan ini dan perlu saya sampaikan bahwa dalam pandangan saya, setelah menjalani berbagai perkuliahan sejarah, sejarah bukan terutama bicara benar vs salah, tapi bicara interpretasi kuat vs lemah.Â
Sejauh interpretasinya logis, konsisten dengan fakta-fakta sejarah yang bisa dihadirkan dan mampu bertahan dari argumentasi lawan (kontra), itu sah saja. Lagipula, terkait interpretasi, ada banyak faktor yang mempengaruhi alasan interpretasi seseorang bisa berbeda. Pendekatan, Teori, Konsep, Ideologi, bahkan kemampuan bahasa pun turut mempengaruhi interpretasi seseorang.
Perlu diingat juga, pertanyaan sejarah jarang sekali yang hanya menghadirkan narasi jawaban tunggal. Artinya, selalu terbuka untuk hadirnya narasi lain, interpretasi yang berbeda.Â
Kontestasi ada pada interpretasi yang saling berbeda itu. Interpretasi yang paling konsisten dengan fakta (apalagi konsisten dengan pendapat mayoritas ahli sejarah lainnya) yang akan menjadi narasi kuat.Â
Tapi interpretasi yang lemah juga tetap mengandung kebenaran tertentu. Itu sebabnya tidak tepat juga apabila kita mengatakan bahwa interpretasi yang lemah berarti salah.Â
Misalkan saja, apabila Ridwan Saidi menyebutkan Kerajaan Sriwijaya fiktif, maka sah-sah saja. Asalkan beliau mampu menghadirkan bukti-bukti sejarah yang mendukung argumennya. Semakin banyak bukti yang mendukung pandangannya itu semakin kuat fakta sejarah itu. Kalau buktinya sedikit maka fakta sejarahnya juga menjadi lemah. Pada dasarnya, menulis sejarah bukan hanya mengungkapkan fakta. Namun, fakta tersebut harus didukung bukti.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!