Bicara mengenai kekuasaan pasti erat kaitannya dengan pengaruh. Secara logika sederhana, apabila kita memilki kuasa atas keseluruhan orang maka kita dengan sangat mudah menyebarkan pengaruh, walaupun dengan catatan orang yang kita pengaruhi tidak sejalan dengan kehendak kita dan orang lain memiliki kesempatan untuk menghiraukan pengaruh kita.Â
Memang pengaruh tidak bisa disandingkan dan memilik efek yang besar tidak seperti basis kekuasaan yang lain, tetapi di dalam pengaruh terkandung unsur psikologis yang mampu "meluluhkan" hati orang yang dipengaruhi.Â
Sebagai seorang pemimpin, pengaruh adalah salah satu kualitas yang paling penting yang wajib dimiliki seorang pemimpin. Dengan memiliki pengaruh yang kuat atas orang-orang yang dipimpin, maka pemimpin dapat mengembangkan kesadaran diri setiap orang, untuk mengabdikan diri masing-masing kepada kepemimpinan yang dia pimpin.Â
Ihwal hal tersebut, artinya seorang pemimpin yang hebat lahir dari kekuatan sikap yang mudah mempengaruhi orang lain guna memilki orang terbaik dan berkualitas untuk membantu dirinya dalam meraih tujuan dan impian. Bila sudah mampu mempengaruhi orang untuk mempercayai dirinya, maka dia dengan mudah untuk dapat menemukan orang berkualitas yang dapat dipercaya. Dengan pengaruh yang positif maka pemimpin akan dituruti dan diikuti orang lain, bukan karena kekuasaa atau jabatan yang dia miliki, tetapi karena pengaruh yang dia munculkan, untuk membuat orang-orang menjadi sangat bergantuk kepada kepemimpinanya.
Untuk membicarakan konteks saluran dan Teknik penyebaran pengaruh, Efriza membagi menjadi empat cara dan mengutip metode Influence Behavior Questionanaire (IBQ).Â
Joko Widodo, bagi saya, adalah orang yang paling hebat dalam mempengaruhi masyarakat. Bagaimana tidak, nama yang jarang dikenal publik---atau hanya dikenal di kalangan masyarakat Solo, popularitasnya melonjak saat pemilihan gubernur DKI tahun 2012, kita semua tidak tahu beliau tetapi nama beliau langsung "naik daun" dengan framing yang diciptakannya sebagai wong cilik yang maju sebagai pemimpin. Namanya langsung santer terdengar sampai penjuruh tanah air hingga akhirnya duduk di kursi RI 1.
Kewenangan tersebut nyatanya tidak serta merta datang begitu saja, melainkan terdapat suatu sumber kewenangan yang mendasari sang penguasa untuk melakukan berbagai hal. Efriza membagi menjadi 12 sumber wewenang yang berasal dari tradisi, tuhan, dewa, atau wahyu, kualitas pribadi sang pemimpin, masyarakat, sumber kekayaan dan keahlian, kepemilikan atas "barang-barang", relasi atasan dengan bawahan, situasi, jabatan, hokum, non-atributif, dan atributif. Â
Dalam sistem demokrasi dimana terdapat istilah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, maka secara tersirat kita dapat mengetahui bahwa kewenangan dalam system demokrasi ada di tangan rakyat. Namun, apakah semua rakyat memiliki kewenangan untuk mengatur jalanya hubungan kekuasaan? Tentu tidak semua rakyat memiliki wewenang itu, sebab itu dibuatlah parlemen sebagai representatif dari rakyat. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa letak kekuasaan dan kewenangan tidak bisa di satu tangan.Â
Ketika para pemegang kekuasaan telah mampu mengembangkan kekuasaan menjadi suatu kepatuhan, tinggalah kita mempunyai dasar yang mempengaruhi bentuk dari wewenang itu sendiri. Ragam variasi bentuk-bentuk wewenang dijelaskan Efriza secara detail dengan mengacu pada pendapat beberapa ahli, yang tidak mungkin dapat kita bahas satu per satu. Namun, pada intinya bentuk kewenangan itu menandai keabsahan politik kekuasaan dari penguasa.
Jabatan itu memang tetap, tetapi orang yang memegang dan menjalankan fungsi dan tugas wewenang tidak tetap, dalam artian selalu muncul wajah baru dalam kontestasi politik terkhusus di posisi jabatan tersebut. Secara umum peralihan kewenangan dapat berupa; turun temurun, pemilihan, Â kooptasi, pengundian, penggabungan antara pemilihan dan pengangkatan, dan paksaan. Akan tetapi, peralihan kekuasaan sebaiknya dilakukan berdasarkan konstitusi dan aturan yang berlaku.
Masyarakat memandang wewenang kekuasaan sebagai amanah yang harus dilaksanakan dan bukan hanya janji belaka. Ada insan yang lahir dengan kuas di sela jari yang dari setiap hela nafasnya berhembus seni.Â
Ada insan yang lahir dengan tahta yang tinggi yang dari kedudukannya itu dia bersenang diri. Ada insan yang bergerak dengan kondisi prihatin yang membuat dirinya sulit mengurus diri. Ada insan yang bangkit dari kondisi sulit yang berjuang untuk meraih hidup yang penuh arti. Ada  insan yang berdiam diri duduk di pinggir kali sembari merenung sulitnya akses penghidupan di era kini. Dan ada juga jiwa yang hilang, yang berdiri bimbang di sebuah persimpangan jalan besar di malam dan siang hari.Â
Di saat itulah mereka menggantungkan harapan kepada sang penguasa dunia dan negeri untuk penghidupan yang lebih berarti. Kita memang hidup dalam sebuah halaman penuh tanda tanya; yang setiap spasinya diisi oleh perdebatan politis tanpa henti. Tapi ingatlah, kekuasaaan dan kewenangan adalah kewajiban yang harus dipatuhi. Harapan dan impian jutaan rakyat dipegang oleh anda sang penguasa negeri. Itu semua demi eksistensi dan kemaslahatan rakyat bukan hanya demi kepuasan diri sendiri.
Tulisan ini berawal dari tugas menelaah buku Kekuasaan Politik karya Efriza pada mata kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional
Penulis adalah Muhammad Fakhriansyah. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di program studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta. Saat ini ia sedang mendalami bidang sejarah kesehatan di Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui fakhriansyah.sejarah@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H