Siti, ibu beranak tiga sudah sepuluh tahun menjanda. Usai beberapa hari Siti melahirkan anak ketiga, sang suami wafat karena ditabrak mobil.
Mobil pickup perusahaan teh melaju kencang dan tak sempat mengerem lalu menabrak tubuh suami Siti yang sedang melintasi jalan.
Mobil pickup punya perusahaan kebun teh itu merupakan tempat Siti bekerja memetik daun teh.
Anak ketiga yang lahir Siti beri nama sama dengan nama almarhum suami, Muhammad Adib.
Nama yang disengaja sama karena Siti ingin menutup rapat luka kehilangan dengan mengabadikan sebuah nama.
Selang dua tahun sang suami wafat, beberapa lelaki Desa Kabawetan, duda maupun perjaka ingin menjadikan Siti istri tapi hatinya terkunci rapat untuk sebuah nama.
Desa Kabawetan penghasil daun teh terbesar di Propinsi Bengkulu. Tepatnya berada di Kabupaten Kepahiang.
Di Desa Kabawetan itulah Siti membesarkan tiga orang anak dengan bekerja sebagai pemetik daun teh.
Pekerjaan memetik daun teh yang Siti lakukan dari pukul sepuluh pagi sampai tiga sore.
Gaji yang diterima cukup untuk makan empat beranak sehari-hari asalkan berhemat.
Pekerjaan lain Siti di hari libur memetik daun teh, Sabtu dan Minggu, mencuci dan menyetrika pakaian orang-orang kaya di Desa Kabawetan.
Pekerjaan mencuci dan menyetrika yang Siti lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan peralatan sekolah ketiga orang anaknya.
Mencuci dan menyetrika pakaian orang-orang kaya di desa ini bukan hanya Siti seorang yang melakukan.
Rerata perempuan pemetik daun teh bekerja seperti Siti, alasannya untuk menambah penghasilan suami yang pas-pasan.
Di Desa Kabawetan, perempuan pemetik daun teh kerja sampingan mencuci dan menyetrika pakaian orang-orang kaya sudah jamak. Siti tak malu dengan pekerjaan itu.
Sekarang anak pertama Siti duduk di kelas satu SMA, anak nomor dua berusia sepuluh tahun sedangkan Muhammad Adib berumur delapan tahun.
Anak pertama dan kedua perempuan dan Muhammad Adib satu-satunya lelaki di keluarga Siti.
Adib, Siti memanggil anak lelakinya itu. Wajah, senyum dan perawakan persis dengan almarhum sang ayah.
Kala malam setelah tiga orang anaknya tertidur. Siti memeluk luka berurai perih sampai tertidur.
Bertahun-tahun Siti melakukan itu usai sang suami wafat dan tanpa diketahui putri dan putranya.
Siti, perempuan pemetik luka yang perkasa di hadapan ketiga anaknya tapi luluh di malam sepi.
Butuh waktu bagi Siti untuk memeram luka tak berdarah di kalbu supaya sembuh.
Luka yang ada obatnya namun Siti ingin memeluk dan memelihara entah sampai kapan.
Luka ada batasannya, bukan? Tak selamanya luka berakibat buruk untuk kenangan, kan? Atau luka mendewasakan seseorang? Entahlah!
Siti memilih hidup dengan memeluk dan memeram luka itu, entahkah ia buruk atau baik untuk kenangan dan perjalanan hidup.
Sebab, ketiga anak yang sedang Siti besarkan memerlukan sesosok ibu yang mampu hidup di titian luka.
Luka yang tak bisa Siti elakkan apalagi dibuang sejauh-jauhnya sebab luka itu hadir kala Siti sangat mencintai sang suami.
Luka yang merapuhkan, luka yang meremukkan, luka yang menghantam dinding pengharapan masa depan.
Namun, secercah pengharapan setiap hari bersemai kala Siti memetik daun teh bersama-sama perempuan pemetik daun teh lain.S
Siti, ibu pemetik luka yang tumbuh setiap hari karena kenangan silam supaya batin menghijau segar.
[Ditulis untuk Kompasiana.com]
JR
Curup- Kepahiang
Kebun Teh Kabawetan
2 Juli 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI