21 Maret 2021, Puisi dan Korona
21 Maret 1999, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan sebagai Hari Puisi Sedunia.
Penetapan itu bertujuan mendorong kembali kepada tradisi lisan pembacaan puisi, memperkenalkan pembacaan puisi, memulihkan dialog antara puisi dan seni lainnya seperti teater, tari, musik, dan seni lukis. (Dikutip dari laman website www.inews.id).
Di Hari Puisi Sedunia bertanggal 21 Maret 2021 ini ada yang berbeda, pandemi korona memasuki usia satu tahun. Pertanyaannya adalah seberapa penting Hari Puisi Sedunia dirayakan?
Beberapa komunitas baik berskala nasional dan lokal mengadakan lomba ciptas puisi bertemakan korona. Ada sebab mengapa lomba itu diadakan seperti, puisi ingin mengabadikan setiap peristiwa yang terjadi, puisi menjadi pencerahan jiwa dan bertahan kala bencana datang dan puisi sebagai psikoterapi.
Ketiga hal itu menjadi penting mengapa puisi dirayakan di Hari Puisi Sedunia ini. Kata-kata menjadi penguat sekaligus pendorong jiwa seseorang untuk bertahan di ketidakpastian kapan korona berakhir.
Setiap pemuisi mempunyai makna dan tujuan membuat puisi yang berbeda-beda namun diikat dalam estetika. Di lain sisi, puisi hadir sebagai perekam atas kondisi yang sedang terjadi.
Meskipun pemuisi diikat oleh estetika namun tak luput dari etika. Estetika dan etika berkelindan dalam puisi.
Pada W.S. Rendra, puisi bersuara sumbing yang memekakan telinga penguasa otoriter dan ketimpangan sosial. Bacalah penggalan puisi W.S. Rendra berjudul "Maskumambang".
"...Bangsa kita seperti dadu/terperangkap di dalam kaleng utang/yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa/tanpa kita mampu melawannya/semuanya terjadi atas nama pembangunan//yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan..."