Pembuka Kata
Pertama. Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan peran Sapardi Djoko Damono yang hanya melihatnya sebatas pemuisi. Sapardi Djoko Damono tetaplah sastrawan dalam artian luas.
Sapardi Djoko Damono dikenal juga sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra dan pakar sastra.
Sastrawan dalam artian luas yaitu jika boleh menafsir tulisan Farid Gaban bahwa "Sastra (novel, cerpen, puisi) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan karena mengusung nilai-nilai kemanusiaan"
Nilai-nilai kemanusiaan itu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan. Kesastrawanan Sapard Djoko Damono-sependek tahu saya-merangkum lima nilai-nilai kemanusiaan itu.
Kedua. Tulisan ini merayakan hari puisi Indonesia sekaligus mengenang Sapardi Djoko Damono di pengujung bulan Juli. Mau buat puisi tentang Sapardi Djoko Damono, saya tidak memiliki kemahiran itu.
Kesastraan Indonesia akan tetap ada dan berjalan dengan Sapardi Djoko Damono tiada tapi ia meninggalkan lubang yang pun jika ada yang coba menggantikan tapi tak kan sama.
Patutlah kita mengenang jasa-jasa kesastraan Sapardi Djoko Damono yang berkontribusi bagi kemajuan sastra Indonesia di gelanggang sastra nasional dan internasional dengan berbagai penghargaan yang ia terima.
Raga bisa berpisah dari nyawa, tubuh dapat hancur dimakan tanah tapi karya-karya kebaikan yang dibuat semasa hidup oleh seseorang selalu abadi di hati orang-orang. Â Â Â
Hari puisi Indonesia yang diperingati pada tanggal 26 Juli 2000 kali ini kelabu mendung menggayuti bersamaan dengan wafat Sapardi Djoko Damono.
Sapardi Djoko Damono tutup usia di tanggal 19 Juli 2020 dalam usia 80 tahun. Usai beberapa kali stroke ringan dan cuci darah untuk berbagai penyakit yang mendera tubuh.
Sapardi Djoko Damono sastrawan legenda yang puisinya diterima luas publik dan mampu menembus sekat keyakinan, usia, suku, dan ras.
Berlatar sastrawan-akademisi dengan gelar Guru Besar (Profesor) Ilmu Sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Â
Pemuisi ketika membuat puisi biasanya akan dipengaruhi oleh apa yang dibaca, apa yang dirasa, apa yang dilihat, didengar dan terjadiah respon namun melalui kata-kata.
Intinya, realitas internal dan eksternal dari berbagai sisi mempengaruhi si pemuisi ketika melahirkan karya puisi.
Umpama pada Sutardji Calzoum puisinya merupakan "Pembebasan kata-kata dari kerangkeng pengertian yang membebani" dan kita mengenalnya dengan "kredo puisi." Â
Lain lagi dengan W.S. Rendra yang puisinya berisikan "Pemberontakan melalui kata" untuk melawan kesewenang-wenangan.
Puisi Taufik Ismail bagai "Kabar berita yang menggugat peristiwa" Sedangkan puisi Joko Pinurbo disebut "Puisi yang hadir."
Setiap pemuisi memiliki kecenderungan, gaya, pilihan diksi, imaji (simbol) dan nilai-nilai estetik yang berbeda-beda tak mesti disamakan semua.
Namun dalam puisi yang dibuat ada pemikiran, emosi, bentuk, kesan dan pesan yang ingin disampaikan pemuisi kepada masyarakat.
Puisi Sapardi tidak berlirik menggebu-gebu, pun coba merekam dan mengkritisi luka sosial, politik dan kebudayaan walau tak dominan tapi lebih banyak berpuisi tentang kondisi manusia dan alam yang universal.
Puisi Sapardi Djoko Damono berjudul "Dongeng Marsinah" menceritakan kondisi seorang manusia buruh pabrik yang dibunuh dan hingga kini kasusnya belum tuntas. Dibawah ini penggalan puisinya;
Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi, merakit jarum, sekrup, dan roda gigi/Waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan hati-hati.
Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak meminta kefanaan yang abadi/"Kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.
Marsinah, kita tahu, tidak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap kemana-mana/"Ia suka berpikir", kata Siapa, "itu sangat berbahaya."
Marsinah tidak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari/"Ia tahu hakikat waktu," kata Siapa, "dan harus dikembalikan ke asalnya, debu."
Puisi "Dongeng Marsinah" kaya dengan simbol (imaji) seperti arloji sejati, detak kefanaan, sebutir nasi, merebus kata, sampai mendidih, hidup layak, menyulut api, ke asalnya debu. Â
Simbol-silmbol itu menandakan bahwa kehidupan buruh pabrik yang dijalani Marsinah bergelimang kegetiran dan kesengsaraan. Pangeran (penguasa) yang kejam mengembalikan Marsinah ke asalnya debu (dibunuh).
Bacalah pula puisi karya Sapardi ini "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
Kata-kata, cinta, kayu, api, abu, isyarat, awan, hujan, dan tiada, kita mengetahui itu semua melalui panca indera.
Namun oleh Sapardi dijadikan imaji (simbol) yang kuat dalam bentuk puisi dan memori otak kita menerima dan mengingat itu.
Sebab itulah puisi berjudul "Aku Ingin" sampai kini dibaca para muda-mudi yang sedang mabuk cinta atau tertulis di surat undangan pernikahan.
Puisi Sapardi yang melihat kondisi manusia dan alam sekitar kemudian di-puisi-kan dengan bunyi sederhana, penuh simbol (imaji), halus menghujam rasa batin dan mudah dingat kenang.
Karakter puisi Sapardi seperti diatas tampaknya penghayatan kearifan Jawa untuk "sak madyo" (segalanya diraih dengan cara upaya yang sedang-sedang saja). Dan ketika kecil Sapardi Djoko Damono tumbuh dalam iklim desa yang dekat dengan alam
Di lain sisi bagi Sapardi "puisi adalah bunyi sederhana yang setiap orang bebas menafsirkan." Diantara "berhasilnya" puisi ditandai dengan orang lain bebas menafsirkan dari puisi yang dibuat si pemuisi.
Semakin orang bebas menafsirkan versi masing-masing dari puisi itu maka ia berperam lama di memori massa dan dikenang.
Puisi Sapardi kuat dengan imaji-imaji (simbol) namun dibungkus dalam kondisi keseharian manusia.
Ekspresi perasaan pribadi yang bercakap-cakap dengan diri sendiri yang bertumpu dari pengalaman keseharian sebagai manusia.
Kekuatan puisi Sapardi Djoko Damono ada pada kesederhanaan bunyi, penuh simbol (imaji), puisi sebagai percakapan lisan yang pribadi, dan menceritakan kondisi manusia.
Akhir tulisan ini, mari kita mengenang Sapardi Djoko Damono dengan puisi yang ia buat sebagai isyarat bahwa "Kita kekal bersama puisi yang dibuat Sapardi dan maut itu pasti."
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi, tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati, pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letihnya kucari.
JR
Curup
29.07.2020
[Ditulis untuk Kompasiana.com]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H