Puisi Sapardi tidak berlirik menggebu-gebu, pun coba merekam dan mengkritisi luka sosial, politik dan kebudayaan walau tak dominan tapi lebih banyak berpuisi tentang kondisi manusia dan alam yang universal.
Puisi Sapardi Djoko Damono berjudul "Dongeng Marsinah" menceritakan kondisi seorang manusia buruh pabrik yang dibunuh dan hingga kini kasusnya belum tuntas. Dibawah ini penggalan puisinya;
Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi, merakit jarum, sekrup, dan roda gigi/Waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan hati-hati.
Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak meminta kefanaan yang abadi/"Kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.
Marsinah, kita tahu, tidak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap kemana-mana/"Ia suka berpikir", kata Siapa, "itu sangat berbahaya."
Marsinah tidak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari/"Ia tahu hakikat waktu," kata Siapa, "dan harus dikembalikan ke asalnya, debu."
Puisi "Dongeng Marsinah" kaya dengan simbol (imaji) seperti arloji sejati, detak kefanaan, sebutir nasi, merebus kata, sampai mendidih, hidup layak, menyulut api, ke asalnya debu. Â
Simbol-silmbol itu menandakan bahwa kehidupan buruh pabrik yang dijalani Marsinah bergelimang kegetiran dan kesengsaraan. Pangeran (penguasa) yang kejam mengembalikan Marsinah ke asalnya debu (dibunuh).
Bacalah pula puisi karya Sapardi ini "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"