Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyulut Api Perubahan dari Diskusi di Cafe

8 Juni 2020   19:35 Diperbarui: 8 Juni 2020   20:05 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

_Bukankah sesuatu ini dimulai dari yang kecil sehingga berakibat ia menjadi besar_anymous_

Diskusi; Pengertian dan Tujuan

Disamping membaca dan menulis, diskusi merupakan 'bahan bakar' seseorang untuk memupuk, menambah informasi dan pengetahuan serta membiasakan berargumentasi dengan baik dan benar.

Kata diskusi berasal dari bahasa Latin yaitu "discussus" yang berarti bertukar pendapat sedangkan di kbbi.kemdikbud.id diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah.

Ada beberapa tujuan diskusi yaitu, pertama, memperoleh kecocokan atau kesalingpahaman pengertian mengenai pendapat dan lain sebagainya. 

Kedua, sebagai alat untuk belajar dan mendapatkan informasi atau pengetahuan dari sudut pandang yang berbeda. 

Ketiga, menguji pendapat yang disampaikan oleh seseorang serta terbangunnya kepercayaan diri.

Menyulut Api Diskusi di Kafe 

Di buku berjudul "Rahasia Cara Belajar Einstein" yang ditulis oleh Andi Sretiadi ada subjudul "Menyulut Api Diskusi di Kafe." 

Dituliskan bahwa "Setelah memperoleh gelar diploma fisika dan matematika dari ETH dan sewaktu masih bekerja sebagai pengawas di Kantor Hak Paten Bern Swiss, Einstein bersama Conrad Habicht dan Maurice Solovine-kelak keduanya dikenal sebagai filsuf-mendirikan kelompok diskusi yang mereka beri nama "The Olympia Academy."

Pertemuan dilakukan secara rutin untuk membahas wacana sains dan filsafat serta perkembangan kontemporer fisika dan matematika. 

Dalam sejarah peradaban dunia, tampaknya tak ada satu pun ilmuwan/intelektual yang tidak pernah mengeksposisikan dirinya ke dalam forum-forum diskusi. 

Konon, dulu pada abad Renaissance (kebangkitan peradaban Eropa) di Prancis, ditengah hiruk-pikuk kota Paris, terdapat sebuah kafe yang bernama D'Alesandre. 

Di kafe inilah, berkumpul para pendukung Renaissace yang berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda. 

Mereka adalah para filsuf dan ilmuwan Prancis. Termasuk di dalamnya Rene Descartes dan sesekali ikut forum diskusi David Hume-filosof Inggris beraliran empirisme-.

Dari kafe kecil itu, kemudian terjadilah revolusi sosial dan ilmiah di Prancis yang sangat terkenal itu. 

Di negara tetangganya, seperti Jerman dan Ingris, para filsuf dan ilmuwan juga mengadakan perkumpulan-perkumpulan ilmiah seperti di kafe D'Alesandre itu.

Kelak, di Jerman muncul zaman Revolusi Aufklarung (pencerahan), sedangkan di Inggris muncul Revolusi industri. 

Perkumpulan-perkumpulan grup diskusi itu melahirkan dan menggerakkan perubahan besar di Eropa.

Jadilah Eropa secara radikal, menyeluruh, dan sistematis menjadi unggul di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang. Lalu apa pentingya forum diskusi. 

Di dalam forum diskusi, seseorang dapat secara bebas melemparkan argumentasi, memaparkan hasil pemikirannya, dan mengkritisi model pemikiran siapa pun saja.

Di dalam forum diskusi pula, seseorang dapat bertukar pikiran, saling berbagi ilmu dan pengalaman, serta saling mengakses informasi, perkembangan ilmu, wacana dan ideologi.

Bahkan Koran Republika pada edisi Senin- di halaman Khazanah memberitakan tentang "kelompok kajian ilmu" yang diadakan oleh pemikir/ilmuwan muslim. 

Kelompok kajian bisa dilakukan di sejumlah tempat, baik di rumah seorang cendekiawan, toko buku, atau tempat terbuka seperti masjid, perpustakaan dan lainnya.

Menariknya dari tulisan tentang kajian kelompok ilmu itu adalah dijadikannya tempat-tempat yang selama ini kita kenal namun diabaikan justru merupakan sebagai pusat pentransferan gagasan dan ilmu dengan tokoh-tokoh ternama seperti Ibnu Sina, Al Ma'ari --penyair Persia terkenal- dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. 

Artinya, tempat yang dianggap biasa ditangan orang luar biasa digunakan sebagai sarana untuk berbagi ilmu.

Maka, pertanyaanya adalah, telahkah kita melakukan hal seperti itu? Contoh yang lain, Al-Fadhail seorang ilmuwan yang berprofesi sebagai dokter dengan segala kesibukannya semisal mengunjungi pasien dan mengajar murid-muridnya ia masih ikut serta dalam kelompok kajian ilmu.

Ibnu Sina karena sibuk di siang hari sebagai dokter istana maka malam hari adalah waktu baginya untuk membaca, menulis dan berdiskusi. 

Keterikatan mereka pada ilmu pengetahuan menyebabkan munculnya keinginan untuk berbagi dengan siapa saja.

Terlebih lagi bagi mereka tujuan ilmu adalah veistegea dei " mencari jejak Tuhan di muka bumi."

Karena keilmuan yang dibangun bermakna mentransfer, menganalisa, dan mencari untuk menyelesaikan persoalan manusia dan kemanusiaan dibawah terang cahaya ilahi.

Diskusi sebagai Tradisi Ilmiah di Perguruan Tinggi

Diskusi sebagai tradisi ilmiah di beberapa perguruan tinggi mulai memudar karena disibukkan dengan kerja rutin, administrasi kampus dan hal-hal lainnya. 

Pun mahasiswa juga seperti itu dengan tugas yang menumpuk, gadget yang seolah menjadi nyawa kedua dan lain sebagainya.  

Tradisi bermakna sesuatu yang diciptakan/hasil karya oleh karsa akal manusia. 

Saya menyebutnya dengan akal pikiran dan tangan manusia maka adalah karya yang dihasilkan baik itu berupa gagasan yang bersifat abstrak maupun makalah, tulisan, kertas kerja, buku bentuk konkritnya dan tujuannya jika ia di perguruan tinggi akan melahirkan masyarakat ilmiah (orang-orang yang berilmu) tentu sesuai dengan spesialisasi ilmu masing-masing.

Jadi, tradisi ilmiah adalah karya akal dan tangan si manusia intelektual untuk menghasilkan ilmu-ilmu. Ia diperoleh dengan membaca, menulis, meneliti dan berdiskusi.

Keintelektualan dosen dalam tradisi ilmiah berharap lahirnya manusia intelektual yang berkarya. 

Lalu apa hubungan intelektual, dosen dan tradisi ilmiah. Yudi Latif-intelektual muslim Indonesia- menjelaskan dengan mengikuti pendapat Eyerman bahwa pengertian intelektual menjadi dua kategori.

Pertama, definisi yang menafsirkan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti "seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain", atau mereka "yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya".

Kedua, definisi yang mengaitkan istilah intelektual tersebut dengan struktur dan fungsi sosial tertentu. 

Dan dosen diidentikkan dengan golongan intelektual. Jika kategori arti pertama dikaitkan dengan dosen maka telahkan dosen menjadikan dirinya sebagai agent of change (pembawa perubahan) dalam artian menjadikan berpikir sebagai proses kerja dan selalu merasa tak puas dengan apa yang telah dikerjakan.

Karena ketika kita telah cepat merasa puas dengan apa yang telah dikerjakan disitulah proses kreatifitas berhenti dan menjadi dosen statis. 

Kategori kedua kembali dihubungkan dosen sebagai fungsi sosial maka pertanyaan yang muncul, telahkah tercipta fungsi sosial dosen yang bersinergi dengan lingkungannya. Sudahkan fungsi sosial itu dijalankan dan menyebar luas kepada masyarakat.

3 Bentuk Gerakan Keintelektualan

Ada tiga bentuk gerakan keintelektualan yang dapat dilakukan oleh dosen saat ini. Pertama, perluasan pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa. 

Karenanya dosen-dosen yang diakomodir oleh jurusan/program studi perlu membentuk klub-klub/grup diskusi yang membahas isu-isu aktual dan mengikutsertakan sebanyak mungkin mahasiswa. 

Tradisi diskusi itu telah mulai hilang secara perlahan-lahan, dosen saat sekarang sibuk dengan dunia rutinitasnya.

Kedua, perlu ditumbuhkan kembali idealisme yang mengabdi pada sektor kemasyarakatan, guna memperkuat civil society (masyarakat sipil) dan mengimbangi kekuasaan serta memperluas bentuk-bentuk pengabdian keintelektualan.

Ketiga, rancang bangun keilmuan (construction of knowledge) dosen tak selalu berangkat dari dugaan yang diterma sebagai dasar kebenaran tanpa diuji (asumsi-asumsi) tapi ia mesti melangkah pada tahap kedua yaitu ilmu pengetahuan yang memunculkan teori dan terakhir yaitu konsep yang dipraktekkan.

Konsep adalah pemaduan antara asusmsi dan ilmu pengetahuan agar persoalan yang dihadapi lebih dapat dianalisis, rasional, sistematis dan solutif (sebagai jalan keluar terhadap permasalahan yang dialami) sedangkan praktek adalah pelaksanaan secara nyata dari apa yang disebut dalam teori.

Taman Bacaan 

Andi Setiadi. Rahasia Cara Belajar Einstein. Diva Press. Jakarta. 2014.

www.kbbi.kemdikbud.go.id

Yudi Latif. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. Democracy Project. Jakarta. 2012.  

Idri. Epistemologi (Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis, dan Ilmu Hukum Islam). Kencana. Jakarta. 2015.

Jamalludin Rahmat

Curup

8.06.2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun