Pun mahasiswa juga seperti itu dengan tugas yang menumpuk, gadget yang seolah menjadi nyawa kedua dan lain sebagainya. Â
Tradisi bermakna sesuatu yang diciptakan/hasil karya oleh karsa akal manusia.Â
Saya menyebutnya dengan akal pikiran dan tangan manusia maka adalah karya yang dihasilkan baik itu berupa gagasan yang bersifat abstrak maupun makalah, tulisan, kertas kerja, buku bentuk konkritnya dan tujuannya jika ia di perguruan tinggi akan melahirkan masyarakat ilmiah (orang-orang yang berilmu) tentu sesuai dengan spesialisasi ilmu masing-masing.
Jadi, tradisi ilmiah adalah karya akal dan tangan si manusia intelektual untuk menghasilkan ilmu-ilmu. Ia diperoleh dengan membaca, menulis, meneliti dan berdiskusi.
Keintelektualan dosen dalam tradisi ilmiah berharap lahirnya manusia intelektual yang berkarya.Â
Lalu apa hubungan intelektual, dosen dan tradisi ilmiah. Yudi Latif-intelektual muslim Indonesia- menjelaskan dengan mengikuti pendapat Eyerman bahwa pengertian intelektual menjadi dua kategori.
Pertama, definisi yang menafsirkan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti "seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain", atau mereka "yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya".
Kedua, definisi yang mengaitkan istilah intelektual tersebut dengan struktur dan fungsi sosial tertentu.Â
Dan dosen diidentikkan dengan golongan intelektual. Jika kategori arti pertama dikaitkan dengan dosen maka telahkan dosen menjadikan dirinya sebagai agent of change (pembawa perubahan) dalam artian menjadikan berpikir sebagai proses kerja dan selalu merasa tak puas dengan apa yang telah dikerjakan.
Karena ketika kita telah cepat merasa puas dengan apa yang telah dikerjakan disitulah proses kreatifitas berhenti dan menjadi dosen statis.Â
Kategori kedua kembali dihubungkan dosen sebagai fungsi sosial maka pertanyaan yang muncul, telahkah tercipta fungsi sosial dosen yang bersinergi dengan lingkungannya. Sudahkan fungsi sosial itu dijalankan dan menyebar luas kepada masyarakat.