Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia dalam Islam

4 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 4 Juni 2020   20:13 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by Pixabay.com

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna_Albert Einstein_

Manusia Berada dan Manusia Menjadi

Dalam bukunya 'Tugas Cendikiawan Muslim' Ali Shariati banyak mengulas tentang manusia. Ada dua istilah yang digunakan Shariati untuk menjelaskan manusia yaitu 'basyar' dan 'insan'. Manusia (basyar) dimaknai sebagai makhluk yang sekedar berada (being). Sedangkan manusia (insan) adalah makhluk yang menjadi (becoming).

Manusia berada (being) adalah manusia yang hanya sadar ia berada di dunia ini untuk memuaskan hasrat jasad semata seperti makan minum, mencari harta benda saja dan pemenuhan seks.

Sedangkan manusia menjadi (becoming) adalah manusia yang sadar sepenuhnya bahwa kehidupan bukan hanya pemenuhan jasad tapi juga rohani seperti melakukan ibadah dan lain sebagainya.

Dampak jauh dari manusia berada (being) ia menjadi manusia yang pola hidupnya adalah memiliki. Bagi manusia yang berpola hidup memiliki maka ketenangan, kebahagiaan akan terasa ketika ia sudah menemukan benda atau memiliki benda.

Karenanya pola hidup memiliki yang berorientasi keduniaan memiliki sisi gelap yang fatal bahwa sadar ataupun tidak manusia saat ini telah menumbuhkan kebergantungan kepada nilai material benda sebagai alat ukur kemanusiaan.

Disinilah lahan subur bagi tumbuhnya budaya materialisme yang mengajarkan cara berhitung berdasarkan kepemilikan manusia terhadap sejumlah benda. Ini berkebalikan dengan manusia yang berpola hidup menjadi (becoming) orientasi hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Sebuah permisalan untuk membandingkan antara manusia yang pola hidup memiliki (being) dan pola hidup menjadi (becoming). Kita marah sejadi-jadinya ketika mobil bagus tergores oleh tukang becak. Kita merasa manusia yang paling malang di atas dunia kalau sesuatu atau seseorang tidak dapat kita miliki.

Artinya, hati manusia yang pola hidupnya memiliki di letakkan pada benda-benda. Kebahagiaan dan ketenangan manusia yang pola hidupnya memiliki ditentukan oleh benda mati yang berada di luar dirinya.

Sebaliknya, manusia yang pola hidupnya menjadi, ketenangan dan kebahagiaan hidup bukan terletak pada benda mati --bukan berarti tak penting- tapi lebih kepada peningkatan kualitas hidup yang berada pada mental yang normal, berprilaku penuh kebajikan, dan yang berhubungan dengan kerohanian (spiritual).

Pola hidup memiliki menjadikan manusia seperti robot, ia bergerak karena ada rangsangan (stimulus) dari luar dirinya bukan karena kesadaran kemanusiaan dan keilahian yang ada dalam dirinya.

Pun juga bagi manusia memiliki, benda-benda mati lenyap wujudnya ia tak dipandang lagi sebagai mitra bagi pendukung kehidupan manusia tapi ia dimanfaatkan, dimanfaatkan demi keuntungan sendiri dan sejauh mana ia memberikan manfaat bagi manusia. Banjir yang melanda, penggundulan hutan dan lain sebagainya yang berdampak pada kesengsaraan manusia lainnya adalah contoh lain dari serakah dan rakusnya manusia memiliki.

Pola hidup menjadi mengajarkan bahwa benda-benda agar tidak lenyap wujudnya maka ia diberi nilai ketuhanan/keilahian. Alam boleh di ambil isinya tapi secukupnya saja kemudian ia dilestarikan kembali dan bukankah alam juga makhluk ciptaan Tuhan!

Islam Memandang Manusia

Lalu bagaimana Islam melihat manusia? Manusia seperti apa yang di cita-citakan Islam? Dan apa kaitan antara manusia dengan Islam?

Secara bahasa kata Islam terambil dari akar kata aslama, yuslimu, islam, yang memiiliki beberapa arti, yaitu, melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin, kedamaian dan keamanan, ketaatan dan kepatuhan.

Sedangkan secara istilah Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, yang ajaran-ajaranya terdapat dalam kitab suci al-Qur'an dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat. (Ensiklopedi Islam, 1994: 246).

Orang yang beragama Islam disebut dengan muslim (untuk laki-laki) dan muslimat (untuk perempuan) yang bermakna orang yang bersifat menyelamatkan dan memberikan kedamaian kepada orang lain, taat dan patuh serta berupaya menyehatkan diri dari penyakit lahir dan batin.

Dalam al-Qura'n kata Islam disebut sebanyak 8 kali, yaitu dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85, surah al-Maidah ayat 3, surah al-An'am ayat 125, surah az-Zumar ayat 22, surah as-Saff ayat 7, surah al-Hujurat ayat 17, dan surah at-Taubah ayat 74.

Di hadis di sebutkan "Orang muslim adalah orang yang selamat muslim lainnya dari lisan dan tangannya" juga disebutkan "Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain" dan banyak hadis-hadis lainnya yang berbicara tentang manusia yang memberikan manfaat --di samping al-Qur'an--.

Artinya menurut agama Islam, seseorang dipandang bukan dari banyaknya harta dunia yang dimilikinya, kegagahan, jabatan yang tinggi tapi ia dilihat dari beberapa aspek, diantaranya; Pertama, bertakwa kepada Tuhan, "Inna akramakum indallahi atkakum" yang artinya "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang bertakwa."

Kedua, Sejauh mana si manusia mampu memberi manfaat kepada diri dan lingkungannya. Kata 'manfaat' dalam KBBI V offline berarti guna dan faedah. Jadi dirinya dengan apa yang ada berguna dan berfaedah bagi orang lain. Ini seperti filosofi pohon kelapa. Batangnya bisa dijadikan kursi atau jembatan, daunnya bisa dijadikan pembungkus buat ketupat, buah dan air kelapa dapat dijadikan aneka minuman dan obat, pelepah kelapa bisa diajdikan sapu lidi dan tusuk sate.   

Ketiga, kelebihan yang diberikan Tuhan tak semestinya membuat si manusia sombong dan lupa diri, serta tak memperhatikan kaum tertindas, orang-orang pinggiran, orang-orang lemah (mustadh'afin). Kelebihan yang dimiliki seperti ilmu, harta, seharusnya membuat si manusia lebih dekat pada Tuhan dan peduli pada sesama.

Tulisan ini akan terasa penting ketika kita saat ini hidup di tengah-tengah kondisi Covid-19 dan masyarakat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai satu tujuan, keegoisan, dengki dan beragam sifat jelek lainnya yang tak semestinya di miliki oleh manusia yang dijadikan Tuhan sebagai khalifah di muka bumi.

Manusia memiliki potensi untuk menjadi fujur (pembangkang) pada Tuhan atau bertakwa. Maka, berdayakan kembali akal, hati dan segala potensi yang diberikan Tuhan demi terwujudnya manusia-manusia yang memberikan keselamatan, kedamaian (muslim/muslimah) bagi seluruh makhluk baik yang hidup ataupun yang mati agar tugas kekhalifaan yang diberikan Tuhan lebih terasa indah dan dikenang.

Dan bahwa kehidupan tak hanya di dunia ini saja tapi ada akhirat tempat untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan.

Jamalludin Rahmat

Curup

04.06.2020

[Ditulis untuk Kompasiana.com]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun