Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia dalam Islam

5 Mei 2019   16:34 Diperbarui: 5 Mei 2019   16:45 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Illustrated by pixabay.com)


Dalam bukunya 'Tugas Cendikiawan Muslim,' Ali Shariati banyak mengulas sekitar manusia. Ada dua istilah yang dipakai Syari'ati untuk menjelaskan manusia, yaitu "basyar" dan "insan". Manusia (basyar) diartikannya sebagai makhluk yang sekedar berada (being). Sedang manusia (insan) adalah makhluk yang menjadi (becoming).

Manusia berada (being) adalah manusia yang hanya sadar ia berada di dunia ini untuk memenuhi dan memuaskan hasrat badaninya semata seperti makan, minum, mencari harta benda saja dan pemenuhan seks.

Berbeda dengan manusia menjadi (becoming) yaitu manunsia yang sadar bahwa kehidupan bukan hanya semata pemenuhan badani tapi juga ruhani seperti melakukan ibadah seperti bersedekah, menolong orang dan lain sebagainya.

Akibat jauh dari manusia berada ia menjadi manusia yang pola hidupnya adalah memiliki. Bagi manusia yang berpola hidup memiliki ketenangan, kebahagiaan akan terasa ketika ia sudah menemukan benda atau memiliki benda.

Karenanya, pola hidup memiliki terarahkan kepada keduniaan yang memiliki sisi gelap yang fatal bahwa sadar ataupun tidak, manusia saat ini telah menumbuhkan kebergantungan kepada nilai material (benda) sebagai alat ukur kemanusiaan seseorang.

Maka bermunculan lahan subur bagi tumbuh kembangnya budaya kebendaan (materialisme) yang mengajarkan cara berhitung berdasarkan kepemilikan manusia terhadap sejumlah benda. Sebaliknya manusia yang berpola hidup menjadi, orientasi hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. (Jalaluddin Rahmat, 1999: 39).

Ambillah sebuah contoh untuk membandingkan antara manusia yang pola hidupnya memiliki (being) dan pola hidup manusia menjadi (becoming). Kita marah ketika mobil bagus kita tergores oleh tukang becak. Kita merasa manusia yang paling malang di atas dunia kalau sesuatu atau seseorang tidak dapat kita miliki.

Dalam artian, hati manusia yang pola hidupnya memiliki di letakkan pada benda-benda. Kebahagiaan dan ketenangan manusia yang pola hidupnya memiliki ditentukan oleh benda mati yang berada di luar dirinya.

Sebaliknya, manusia yang pola hidupnya menjadi. Ketenangan dan kebahagiaan hidup tidak terletak pada benda mati (bukan berarti tak penting) tapi peningkatan kualitas hidup ada pada kepribadian tercerahkan dan spiritual yang kokoh.

Pola hidup manusia memiliki (being) menjadikan manusia seperti robot, ia bergerak karena ada rangsangan dari luar dirinya bukan karena kesadaran kemanusiaan dan keilahiyahannya.

Dan juga bagi manusia memiliki benda-benda mati lenyap wujudnya ia tak dipandang lagi sebagai mitra bagi pendukung keberadaan kehidupan manusia tapi ia dimanfaatkan, di perkosa demi sejauh mana ia memberikan manfaat bagi manusia.

Banjir yang melanda, penggundulan hutan dan lain sebagainya yang berdampak pada kesengsaraan manusia lainnya adalah contoh lain dari serakahnya manusia memiliki.

Pola hidup manusia menjadi (becoming) mengajarkan bahwa benda-benda agar tidak lenyap wujudnya maka ia diberi nilai transenden (illahiyah). Alam boleh di ambil isinya tapi sekedarnya saja kemudian ia dilestarikan kembali dan bukankah alam juga makhluk ciptaan Tuhan!

(Illustrated by pixabay.com)
(Illustrated by pixabay.com)

Manusia versi Islam

Lalu bagaimana Islam melihat manusia? Manusia seperti apa yang di cita-citakan Islam? Dan apa kaitan antara manusia dengan Islam?

Secara bahasa kata 'Islam' terambil dari akar kata aslama, yuslimu, islam. Yang memiiliki beberapa arti, yaitu,(a) melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin, (b) kedamaian dan keamanan, (c) ketaatan dan kepatuhan.

Sedangkan secara istilah Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW, yang ajaran-ajaranya terdapat dalam kitab suci al-Qur'an dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat. (Ensiklopedi Islam, 1994: 246).

Orang yang beragama Islam disebut dengan muslim (untuk laki-laki) dan muslimat (untuk perempuan) yang bermakna orang yang bersifat menyelamatkan dan memberikan kedamaian kepada orang lain.

Dalam al-Qura'n kata Islam disebut sebanyak 8 kali, yaitu dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85, surah al-Maidah ayat 3, surah al-An'am ayat 125, surah az-Zumar ayat 22, surah as-Saff ayat 7, surah al-Hujurat ayat 17, dan surah at-Taubah ayat 74.

Dalam hadis di sebutkan "orang muslim adalah orang yang selamat muslim lainnya dari lisan dan tangannya", juga disebutkan "sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain" dan banyak hadis-hadis lainnya yang berbicara tentang manusia yang menebar manfaat.

Artinya menurut agama Islam, seseorang (manusia) dipandang bukan dari banyaknya harta dunia yang dimilikinya, kegagahan, jabatan yang tinggi tapi ia dilihat dari beberapa aspek, diantaranya; Pertama, bertakwanya ia kepada Tuhan, "Inna akramakum indallahi atkakum" (sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang bertakwa). Kedua, sejauh mana si manusia mampu memberi manfaat kepada diri dan lingkungannya.

Ketiga, kelebihan yang diberikan Tuhan tak semestinya membuat si manusia sombong, angkuh dan lupa diri, serta tak memperhatikan orang yang lemah kehidupan ekonominya. Kelebihan yang dimiliki seperti ilmu, harta, seharusnya membuat si manusia lebih dekat pada Tuhan dan peduli pada sesama.

Tulisan ini akan terasa penting ketika kita saat ini hidup di tengah-tengah sebagian manusia yang menghalalkan segala cara untuk mencapai satu tujuan, keegoisan, indiviualistik, serakah, dengki dan beragam sifat jelek lainnya yang tak semestinya di miliki oleh manusia yang dijadikan Tuhan sebagai khalifah atau wakil di muka bumi.

Manusia memiliki potensi untuk menjadi pembangkang (fujur) pada Tuhan atau bertakwa. Maka, marilah memberdayakan kembali akal, hati dan segala potensi yang diberikan Tuhan demi terwujudnya manusia-manusia yang memberikan keselamaahtan, kedamaian bagi seluruh makhluk agar tugas kekhalifaan yang diberikan Tuhan lebih terasa indah dan dikenang. Dan bahwa kehidupan tak hanya di dunia ini saja tapi ada akhirat tempat untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan.

JR

Curup

05.05. 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun