Berkali pemilu dilakukan dan sebagai suara mayoritas tidak otomatis umat Islam menjadi penentu arah politik Indonesia. Pun pemimpin yang dipilih setelah pemilu dilaksanakan takluk pada partai politiknya dan pemilik modal kakap serta melupakan beberapa janji-janji politik ketika berkampanye. Penyakit amnesia menular ke politik. Â
Jelang Pemilu tanggal 17 April 2019, suara umat Islam sangat seksi untuk diperebutkan. Bagaikan hidangan yang lezat di meja makan maka menarik liur bagi orang-orang yang lapar bahkan yang tidak lapar pun ingin ikut serta memakannya.
Mengapa itu terjadi?
Pertama. Di pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden sedang memasuki fase akhir karena sudah memasuki minggu ketiga di bulan Maret maka etika politik diterabas untuk menaikkan popularitas sang calon. Kedua. Isu agama sangatlah memikat untuk digoreng kesana kemari. Ketiga. Mayoritas pemilih merupakan umat Islam maka politisasi emosional berbasis agama sedang dilakukan oleh badan pemenangan dan  pendukung dari masing-masing capres dan cawapres.
Ketiga fenomena politik Indonesia diatas terkait dengan umat Islam membuat saya berpaling kepada intelektual Islam bernama Kuntowijoyo. Apa yang pernah diuraikan oleh Kuntowijoyo di masa politik umat Islam masa kerajaan Demak sampai Orde Baru, kini pun terulang. Amnesia politik kembali melanda umat Islam.
Siapa Kuntowijoyo?
Kuntowijoyo merupakan guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Gadjah Mada Yogyakarta. Lahir pada 18 September 1943 di Bantul dan wafat pada 22 Februari 2005 di Yogyakarta.
Ilmu sejarah terkhusus sejarah sosial yang dikuasai Kuntowijoyo mengkaji realitas sejarah dan pengalaman umat Islam Indonesia dengan proses perubahan sosial dalam kurun waktu masa kerajaan Demak sampai Orde baru.
Kuntowijoyo bukanlah seorang politisi yang bergelut langsung dengan dunia perpolitikan Indonesia atau disebut dengan praksis. Ia justru lebih banyak bergelut dengan ilmu-ilmu kesejarahan dan ilmu-ilmu sosial (sejarawan sosial).
Dalam artian pandangannya terhadap politik umat Islam Indonesia terbangun dari pengamatan langsung sebagai seorang teoritisasi atas sejarah perjalanan politik umat Islam di Indonesia.
Ini bukanlah kelemahannya dikarenakan tak terjun langsung setidaknya pengamatan-pengamatan yang berujung pada beberapa buku yang ia hasilkan merupakan sebuah observasi yang intens ditambah lagi bacaannya terhadap buku-buku pakar politik Islam seperti al-Farabi dan al-Mawardi. Ditambah lagi ia dekat dengan beberapa orang politisi Islam di Indonesia baik yang aktif maupun yang tidak aktif.
![(Gambar diambil dari Pixabay.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/19/vote-2042580-340-5c9104ae3ba7f75f6d110ee2.png?t=o&v=770)
Kuntowijoyo menganalisa apa yang sedang terjadi dengan politik Islam Indonesia dan umatnya dan kemana sebaiknya perubahan politik umat Islam Indonesia diarahkan.
Kuntowijoyo membuat 3 (tiga) periode sejarah politik umat Islam Indonesia mengacu pada sistem pengetahuan masyarakat yaitu, periode mitos, periode ideologi dan periode ilmu. Alasan mengapa dibagi periodisasi supaya umat Islam dapat menjawab pertanyaan, apa yang harus dikerjakan oleh umat Islam Indonesia.
Periode mitos. Umat Islam memiliki kepercayaan mistis-religius, sehingga dasar pengetahuan pada waktu itu menjadi mitos. Kata mitos bermakna dongeng. Mitos adalah cara termudah menggaet perhatian khalayak ramai atau publik. Mitos Ratu adil, misalnya, merupakan cita-cita pemberontakan akibat penjajahan dan kemiskinan dalam masa tersebut.
Umat Islam ketika itu menginginkan lahirnya suatu kerajaan utopia. Tapi mereka tidak tahu bagaimana menuju kesana dan tidak tahu persis apa yang dilakukan. Ini berlangsung kira-kira sampai 1900. (Kuntowijoyo, 1994: 29)
Periode ideologi. Ideologi bersifat apa yang benar menurut aku (subyektif), normatif dan tertutup. Cara berpikir ideologis menyebabkan sikap umat Islam yang tidak dapat terbuka dan merangkul semua golongan. Umat Isam akan menjadi lupa dengan fakta bahwa dalam politik orang dapat berdiri di tengah-tengah (baca: dua kaki) atau berubah. Tergantung arah dan cuaca politik saat itu. Â
Periode ilmu. Politik perlu dimengerti dengan pendekatan ilmu sehingga kenyataan dalam politk dilihat sebagai kenyataan demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Di periode ilmu memunculkan sikap politik umat Islam Indonesia yang merupakan suatu rumusan dari al-Qur'an dan hadis yang dijadikan acuan ketika memilih pemimpin bukan emosional agama yang dimainkan sehingga antar umat Islam bentrok karena berbeda pilihan.
Ujung periode ilmu adalah dijadikannya al-Qur'an dan hadis sebagai pedoman berpolitik dan dapat dioperasionalkan oleh umat Islam kapan pun pemilu terjadi. Seperti prinsip kekuasaan sebagai amanah yang terdapat di al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 4. Tentang prinsip keadilan al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 135 dan prinsip-prinsip lainnya yang diajdikan sebagai landasan negara serta mampu diwujudkan ketika berkuasa.
Prinsip-prinsip itulah yang ditagih kepada siapa pun calonnya ketika ia terpilih. Jangan sampai calon terpilih dan si pemilih sama-sama menderita amnesia politik. Semoga tidak.
JR
Curup
19.03.209
Taman Bacaan
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung. Mizan. 1997.
Yudi Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung Mizan. 2005.
Jamalludin Rahmat. Epistemologi Politik Islam Kuntowijoyo. Tesis. 2011.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI