Novelis James Redfield dalam Manuskrip Celestine --The Celestine Prophecy, mengurai prinsip-prinsip cinta dengan teori tentang energi. Ia mengemukakan, galaksi dengan segala isi dipandu oleh energi kasih sayang, sehingga masing-masing beredar pada energi yang maha. Dalam novel filsafat ini energi yang maha tersebut adalah adalah Tuhan.
Dalam perjalanan kehidupan manusia selanjutnya lambat laun energi kasih sayang dan cinta tersebut mulai memudar di hati manusia. Ia mengalami erosi, degradasi, reduksi dan segala bentuk penamaan istilah yang di pakai untuk memberikan gambaran tentang lenyapnya kasih sayang, cinta kasih, kemesraan dan rupa lainnya. Bahkan ia mengalami pembalikkan makna, tujuan dan orientasi.
Terjadinya hal-hal di atas di alamatkan kepada abad modern. Abad modern dimulai pada tahun 1800 M. Ini mengacu kepada hasil-hasil yang dicapai Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, industri dan lain sebagainya. Identitas yang dikenal pada masa ini adalah antroposentris. Sebuah paham atau pernyataan yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Ini berbeda dengan identitas pada Abad Pertengahan yang Teosentris (Tuhan sebagai ukuran kebenaran bagi segala sesuatu).
 Menurut Sayyed Hossein Nasr, karakteristik dunia modern adalah; Pertama, antroposentrisme dalam pengertian lokus semesta diderivasikan (dialamatkan) pada manusia yang dijadikan ukuran. Kedua, karena ukuran yang dipakai manusia modern adalah dunia yang tidak memiliki prinsip-prinsip yang langgeng dan abadi dan tetap serta yang lebih tinggi dari yang manusiawi maka muncullah relativisme dan reduksi terhadap apa yang dihasilkannya. Standar objektivitas hanya dapat dikenali bila menggunakan standar yang lebih tinggi. Ketiga kehilangan kepekaan terhadap sesuatu yang sentral. Keempat, hilangnya aspek metafisika. (A. Khudori Saleh, 2003: 390).
Ketiga karakteristik dunia modern yang disebutkan diatas oleh Seyyed Hossein Nasr menimbulkan persoalan bagi kehidupan manusia modern selanjutnya. Beberapa contoh yang bisa diberikan seumpama setiap hari didengarnya berita-berita tentang perang dan kekerasan. Terjadi pembantaian manusia atas manusia. Penindasan dan ketidakadilan setiap hari muncul di koran dan televisi. Perang di Irak, Palestina dan diberbagai belahan negara lainnya.
Gambaran-gambaran peristiwa di atas terkesan membenarkan apa yang dinyatakan oleh Thomas Hobbes-seorang filosof beraliran empiris-bahwa manusia adalah serigala atas manusia lain (homo homini lupus). Padahal manusia memiliki sisi lain seperti cinta, suka kedamaian dan kasih sayang, dan tenggelam dalam pemberitaan yang menyudutkan manusia identik dengan kekerasan. Timbul kepesimisan bahwa dunia yang damai bisa dibangun atas dasar cinta kepada Tuhan dan sesama manusia. Perubahan tata nilai di tengah-tengah masyarakat juga menjadi pemicu.
Bagi manusia modern, segala hal nyaris diukur dengan materi dan untung rugi. Selanjutnya, manusia direduksi menjadi sebentuk materi. Ia pun selalu dikejar target, karier, kekuasaan, popularitas dan lainnya. Seseorang diukur dari apakah ia menguntungkan atau tidak, apakah memberi kontribusi bagi kemapananya ataukah tidak. Bahkan yang lebih lagi, terutama di kalangan anak muda, seringkali cinta menjadi tereduksir maknanya ketika dikaitkan dengan keterkaitan antara dua lawan jenis yang kemudian dilembagakan menjadi hubungan pacaran. Maka makna cintapun menjadi miopik saat seseorang dengan mudah mengatakan: "Aku cinta padamu." Apalagi, cinta itu pun dengan mudah pula berubah menjadi benci dan dendam saat keinginan untuk menjadikan pacar tidak terpenuhi. Ironis bahwa ia terjadi ditengah-tengah kemajuan yang dialami manusia modern. Manusia modern tidak hanya orang yang berada di Eropa, Amerika beragama non-Islam tapi juga orang-orang yang beragama Islam.
Padahal berbagai agama mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Tidak mudah memang untuk mengarahkan cinta kepada yang Maha Tunggal, beragam bentuk ekspresi lahir baik secara lisan maupun tulisan. Dan salah satunya adalah puisi. Dalam puisi kata-kata yang dirangkai mempunyai kekuatan makna yang selalu menarik untuk diselami kata perkata bahkan secara keseluruhannya.
Puisi pun berbicara tentang cinta tidak dalam bentuk yang tunggal (monolitik) tapi jamak bahkan multiinterpretatif (banyak tafsir). Tujuan objek cinta tak hanya ditujukan pada lawan jenis dalam puisi tapi juga cinta tanah air, cinta kehidupan, cinta pada kampung, ibu dan lain sebagainya yang tentunya cinta dalam artian universal. Tapi ada juga puisi-puisi yang tujuan cintanya adalah kepada Tuhan.
Pengertian Cinta
Cinta: berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu citta, yang berarti " yang selalu dipikirkan; senang; kasih." (Abdurrasyid Ridha, 2004: 13). Dalam kamus Poerdawodarminta, disebutkan bahwa: "Cinta adalah selalu teringat dan terpikir dalam hati, lantas berarti:rasa susah hati;rindu, sangat ingin bertemu; sangat suka, sangat sayang; sangat kasih dan sangat tertarik hati."(Ibid)
 Ada banyak kata yang disamakan dengan cinta yaitu asmara, kasih dan sayang. Tapi yang dimaksudkan di sini adalah cinta yang sejatinya berasal dari Tuhan semestinya tidak hanya ditujukan kepada hati yang tertarik pada materi kebendaan, bentuk dan fisik seseorang dan kehilangan makna cinta sejati yaitu kepada Tuhan.
Mencari Akar Cinta dalam Tasawuf
 Sejarah cinta dalam sufi tidak dapat dilepaskan dari permulaan munculnya tasawuf. Sebagai awal mulanya tasawuf muncul dalam aspek kezuhudan (keruhanian yang bersahaja). Ini terjadi pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah. Yang tinggi tingkatan pada masa ini adalah tawakul dan takwa. Cinta tampil menjadi peringkat keruhanian penting sesudah munculnya ahli tasawuf terkemuka.
Pada mulanya cinta ilahi dalam dunia tasawuf diperkenalkan oleh Ja'far al-Shadiq, kemudian sesudahnya muncul Syaqiq al-Balkhi. Yang tidak menyetujui anggapan bahwa tawakul merupakan peringkat keruhanian yang tinggi dalam ilmu tasawauf. Sumbangannya bagi ilmu tasawuf dalam cinta adalah 'cahaya cinta murni ilahi'. Cahaya cinta murni ilahi merupakan peringkat keruhanian yang dipandang lebih penting oleh Syaqiq jika dibandingkan tawakul.
Tokoh besar lain yang merumuskan gagasan cinta adalah Harits al-Muhasibi, seorang filosof dan teolog, dan guru dalam bermacam ilmu pengetahuan yang kemudian tertarik kepada tasawuf. Menurut al-Muhasibi apabila seseorang telah mencapai kedudukan pencinta, maka dia akan memperoleh penglihatan mengenai Dia, dan dia akan menjadi tawanan kuil cinta-Nya yang tersembunyi.
Namun, Rabi'ah al-Adawiyah adalah tokoh yang paling berhasil memperkenalkan cinta Ilahi-di samping Rumi-. Kemunculan Rabi'ah memberikan beberapa arti penting tentang cinta dalam dunia tasawuf diantaranya, pertama, Rabi'ah telah berhasil memberi corak mistisisme sejati pada tasawuf. Gagasan Cinta illahinya membuat medium tasawuf meluas yang tidak hanya gerakan zuhud yang bersahaja tapi juga tasawuf menjelma menjadi gerakan keruhanian yang memiliki perspektif lebih luas. Dengan dipentingkannya bahasa cinta dalam kehidupan tasawuf Rabi'ah membuka jalan yang lebar bagi perkembangan awal puisi sufistik.
Kedua, Rabi'ah berhasil menjadikan cinta sebagai media renungan terhadap Keindahan Abadi Tuhan. Dalam artian hubungan yang bersifat pribadi antara Tuhan dengan manusia bisa tercapai sebagaimana diajarkan oleh al-Qur'an.
Selain Rabi'ah ada juga tokoh sufi lain yang berbicara tentang cinta yaitu Jalaluddin Rumi. Menurut Rumi, segala sesuatu rindu akan manifestasi atau perwujudan diri mereka. Sarjana ingin dikenal karena kesarjanaanya, pecinta ingin dikenal cintanya, sedangkan Tuhan dan perbendaharaan dari cinta dan hikma-Nya yang tersembunyi ingin dijelmakan supaya Dia dapat menampakkan cinta dan hikma-Nya. Kepada mereka yang bersedia menerima petunjuknya.
Apa yang dinyatakan oleh Rumi diatas adalah Cinta Tuhan kepada manusia melebihi cinta manusia kepada Tuhan. Pertanyaan yang muncul: Adakah mungkin cinta antara manusia dengan Tuhan itu terwujud? Menurut Rumi cinta seperti itu mungkin saja terwujud, sebab jiwa manusia merupakan percikan sinar Ilahi.
Pendapat Rumi yang menyatakan bahwa cinta antara manusia dengan Tuhan itu mungkin terwujud didasarkan pada kenyataan mengenai adanya keselarasan antara kecenderungan jiwa manusia dengan sifat-sifat Tuhan. Ini terbukti dengan kecenderungan hati manusia kepada sifat Maha Pengasih (al-rahman) dan Maha Penyayang (al-rahim). Lebih jauh Rumi menjelaskan, cinta, apakah sasarannya manusia atau Tuhan, yang hakiki atau yang lahir, pada akhirnya akan membawa seseorang mengenal Tuhan, dengan syarat seorang pecinta sanggup mengangkat naik cinta dan pengetahuannya ke alam ketuhanan (lahut).( Abdul Hadi W.M, 2001:55). Bahkan Rumi menyatakan dengan puisinya, "Kubiarkan untuk sementara apa yang ada diantara kita. Jika dirimu ingin kembali aku pun akan kembali dan cinta tetap akan seperti semula. Engkau bermesraan dengan dia (manusia) yang tak pernah menepati janji. Dan Kau tinggalkan diriku (Tuhan) yang tak pernah ingkar janji"
Jika apresiasi cinta saat ini yang muncul dalam lagu-lagu musik Indonesia hanya ditujukan semata pada lawan jenis dan pemenuhan nafsu syahwat itu memang perlu dipertanyakan ulang. Pemahaman yang dangkal terhadap cinta, kasih sayang hanya akan membawa kerugian pada kemanusiaan yang dalam Islam dibangun atas cinta yang tertuju pada Tuhan. Maka, nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam bangunan kuil cinta manusia saat ini sejatinya tersatukan dengan tetap memposisikan Tuhan sebagai tujuan utama dari cinta dan kasih sayang serta kemanusiaan sesudahnya.
Curup
04.03.2019.
JR (Di Tulis untuk Kompasiana.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H