Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Kesarjanaan

23 Februari 2019   19:40 Diperbarui: 23 Februari 2019   20:18 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai co-editor dari jurnal Pembela Islam. (Yudi Latif, 2009: 13). Artinya, orang-orang yang sedang bekrkuliah untuk mencapai sarjana dan para sarjana menggambarkan dunia melalui kata, bermula dari manusia dilanjutkan dengan kata ditengahi oleh pikiran dan diakhiri dengan tindakan baik itu perbuatan atau tulisan.

Bahkan Koran Republika pada edisi Senin-saya lupa tanggalnya- di halaman Khazanah menuliskan tentang "Kelompok Kajian Ilmu" yang dibuat oleh pemikir Islam. Kelompok kajian bisa dilakukan di sejumlah tempat, baik di rumah seorang cendekiawan, toko buku, atau tempat terbuka. 

Menariknya dari tulisan tentang kajian kelompok ilmu itu adalah dijadikannya tempat-tempat yang selama ini kita kenal tapi diacuhkan justru merupakan sebagai pusat pentransferan ide dengan tokoh-tokoh ternama seperti Ibnu Sina, Al Ma'ari -penyair ternama Persia- dan tokoh terkenal lainnya.

Artinya, tempat yang dianggap biasa ditangan orang luar biasa digunakan sebagai sarana untuk berbagi ilmu dengan membaca, menulis dan berdiskusi. Maka, pertanyaanya adalah, telahkah kita melakukan hal seperti itu? Contoh yang lain, Al-Fadhail seorang ilmuwan yang berprofesi sebagai dokter dengan segala kesibukannya semisal mengunjungi pasien dan mengajar murid-muridnya ia masih ikut serta dalam kelompok kajian ilmu.

Ibnu Sina karena sibuk di siang hari sebagai dokter istana maka malam hari adalah waktu baginya untuk membaca dan menulis. Keterikatan mereka pada ilmu pengetahuan menyebabkan munculnya keinginan untuk berbagi dengan siapa saja. Terlebih lagi bagi mereka tujuan ilmu adalah veistegea dei -mencari jejak Tuhan di muka bumi-. Karena keilmuan yang dibangun bermakna mentransfer, menganalisa, dan mencari.

Haruskah kesarjanaan seperti katak dalam gelas kaca. Dunia luar tampak luas dan penuh keindahan hasrat hati ingin merasakan apa daya kekuatan, keinginan diri tak pernah dimunculkan. 

Sehingga merasa cukup hanya dengan berada di dalam gelas kaca. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan tanda. Tanda itu adalah karya. Tanda itu adalah eksistensi diri. Tanda itu adalah memberi. Tanda itu adalah berpayah diri dalam membaca dan menulis.

Dalam kaitan diatas, alangkah baiknya simak dan renungi pernyataan Yudi Latif, "Menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan." 

Kesejatian sarjana adalah kepeloporan yang memberi asa untuk bangkitnya keilmuan. Ia adalah sebuah tanggung jawab untuk mendedikasikan ilmunya bagi orang banyak. Bukankah ilmu di hadirkan oleh para sarjana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat dengan pendekatan ilmiah.  

Taman Bacaan

Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2007.

Yudi Latif. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesatraan. Kompas. Jakarta. 2009.

Curup

23.02.2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun