Mohon tunggu...
Fakhraen Fasya
Fakhraen Fasya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota - UNIVERSITAS JEMBER

Seorang mahaswa dengan antusiasme ilmu perencanaan. Mendalami ilmu analisa spasial berbasis GIS.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Tata Ruang Menjawab Kemiskinan

12 Oktober 2022   21:53 Diperbarui: 12 Oktober 2022   22:11 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indahnya kota tidak dapat selalu menutupi permasalahan didalamnya. Jika menyusuri kota lebih dalam, membaca berita dan artikel, kita akan mengetahui bahwa setiap kota memiliki permasalahan.

Kemiskinan adalah isu setiap kota. Mau kecil ataupun besar, kota akan memiliki angka kemiskinannya masing-masing. Namun, kemiskinan tidak selalu mudah untuk dilihat. Ketiadaan gelandangan atau pengemis dijalanan tidak membuktikan tidak adanya kemiskinan di kota tersebut. 

Ravallion (2010:299) kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk berobat. Orang miskin itu umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidak berdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas.

Kemiskinan akan selalu ada di setiap kota karena kemiskinan dapat bersifat relatif. Seseorang tetap akan dikatakan miskin apabila pendapatannya berada dibawah rata-rata masyarakat sekitarnya. Meskipun pendapatan tersebut bisa saja masuk dalam kategori cukup ataupun kaya apabila berada di kota lain.

Dalam kacamata ruang, apa saja permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin? 

Pertama, masyarakat tidak memiliki akses yang cukup terhadap lahan-lahan strategis. Lahan-lahan yang dimaksud adalah yang memiliki keuntungan secara spasial seperti, jarak ke fasilitas. Minimnya opsi yang didasari oleh daya beli masyarakat miskin mengakibatkan pergeseran lokasi hunian masyarakat. Akses ke fasilitas semakin jauh membuat biaya transportasi juga semakin meningkat. 

Kedua, daya beli untuk kepentingan infrastruktur. Ketidakmampuan masyarakat untuk mengakomodasi kebutuhan infrastruktur memaksa masyarakat mengambil alternatif yang lebih murah. Kebutuhan air bersih di perkotaan tidak bisa dipenuhi. 

Sistem infrastruktur perkotaan yang perlu dikendalikan mengakibatkan air menjadi barang yang dijual. Tidak heran masyarakat kurang mampu sering memanfaatkan alam yang malah melahirkan masalah baru yaitu kesehatan. 

Kesehatan bagi dirinya maupun untuk lingkungan itu sendiri. Air digunakan untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Zat kimia yang dihasilkan dari kegiatan tersebut sebenarnya bisa diurai oleh bakteri alam namun tetap saja lingkungan memiliki batasnya sendiri. 

Dampaknya, air tidak lagi bersih untuk dikonsumsi. Ketga, minimnya daya beli masyarakat untuk rumah layak huni. Rumah merupakan ruang privasi bagi manusia. Fungsi privasi itu sendiri dimana menurut Westin (1970) adalah :

1. Menyediakan otonomi personal

2. Memungkinkan seseorang untuk mengeluarkan emosinya

3. Membantu evaluasi diri

4. Membatasi komunikasi

Manusia membutuhkan privasi untuk berbagai hal. Daya beli yang kurang mengakibatkan kualitas rumah menjadi berkurang dan hilangnya privasi tersebut. Tidak menutup kemungkinan kenyamanan serta kesejahteraan sosial masyarakat menjadi terganggu.

Jika kemiskinan adalah isu di setiap kota. Tentunya para perencana tata ruang kota juga mengetahui hal ini. Lalu apakah perencana tata ruang kota mengkaji isu ini? Jika iya bagaimana kontribusi perencana dalam menghadapi isu tersebut?

Sebelum masuk ke bagian tersebut. kita perlu memahami terlebih dahulu tentang ruang lingkup, proses, dan output dari perencanaan tata ruang kota.

Tata ruang sendiri memiliki ruang lingkup tentang ruang. Bagaimana mengelola lahan yang terbatas untuk sejatinya kepentingan bersama. Lalu apakah ada relevansi antara perencanaan terhadap ruang dengan kemiskinan? Jawabannya ada. Dalam proses perencanaan, dibutuhkan input yang holistik. 

Pertimbangan multi-dimensional menjadi prinsip utama dalam merumuskan suatu perencanaan. Maka dari itu, kemiskinan pun seharusnya menjadi input dalam proses tersebut. Namun, apakah bisa tata ruang memberantas kemiskinan?. Mampukah output dari perencanaan di Indonesia yaitu RTRW dan RDTR menjadi tombak layaknya program-program pemerintahan lainnya? Jawabannya bisa.

Tetapi perlu diketahui bahwa pemberantasan kemiskinan tidak hanya bisa diselesaikan melalui tata ruang saja. Sama halnya dengan program-program lainnya, kompleksitas dari kemiskinan membutuhkan program yang kompleks pula. Menurut Lincolin Arsyad (2004:237) kemiskinan itu bersifat multi dimensional. Artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. 

Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosisal, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. Maka dari itu, program pemberantasan kemiskinan seperti penyediaan lapangan pekerjaan, pelatihan SDM, subsidi kebutuhan, hingga bantuan langsung tunai melibatkan berbagai sektor dinas

Terbesit di kepala apakah dokumen tata ruang dapat memberikan rencana untuk meringankan beban masyarakat miskin dengan pengelolaan pajak di suatu permukiman. Menggunakan sistem insentif dalam bentuk penurunan pajak di suatu area mungkin bisa menjadi solusi. Namun, sistem tersebut tidak menyelesaikan permasalahan yang disana. 

Sistem insentif seharusnya digunakan apabila terdapat timbal balik antara pemerintah dan masyarakat. Penurunan pajak hanya akan merugikan negara. Di sisi lain, masyarakat juga tidak bisa diasumsikan akan selalu miskin. Apalagi dalam sudut pandang properti, alih fungsi serta kepemilikan rentan terjadi terhadap area dengan insentif.

Maka dari itu, pada artikel ini saya ingin memberikan beberapa opini tentang bagaimana bentuk kontribusi penataan ruang yang mungkin dapat menekan angka kemiskinan.

Pertama, pemberantasan kemiskinan melalui penataan ruang dapat dilakukan dengan permainan ekonomi spasial. Biaya transportasi dapat ditekan dengan mengurangi jarak antara bangkitan dan tarikan. Maka dari itu, persebaran fasilitas menjadi program penting yang harus dipertimbangkan. 

Bagaimana masyarakat bisa mengakses? Apa saja yang dibutuhkan masyarkaat? Berapa ongkos yang harus dibayar untuk mengakses? Pertanyaan tersebut menjadi prinsip yang dipegang dalam menentukan lokasi fasilitas. Pengaturan ini sebenarnya bisa juga ditanamkan dalam pengaturan zoning. ITBX harus dirancang dengan teliti agar perizinan pembangunan fasilitas dapat dipermudah.

Kedua, pengadaan transportasi umum. Transportasi umum sudah menjadi impian bagi para perencana kota. Transportasi umum harusnya bisa menjadi mobilitas utama dibandingkan kendaraan pribadi. 

Selain dapat menekan biaya mobilitas, transportasi umum juga dapat menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Pembentukan jaringan tranportasi umum dapat mempertimbangkan daerah-daerah yang rentan. Rentan berkembang menjadi kawasan kumuh ataupun Urban Sprawl.

Ketiga, kesinambungan dengan RDTR sekitarnya. RDTR yang tidak dikerjakan secara bersamaan sering kali membawa egonya masing masing. Perkembangan serta kebutuhan di suatu wilayah RDTR bisa ditangkap dan dilanjutkan oleh RDTR wilayah sebelahnya. Dengan terbatasnya ruang, perkembangan dan kebutuhan permukiman tidak bisa dipaksakan berada di di dalam wilayah itu sendiri. Maka dari itu, dibutuhkan integrasi antara RDTR dan mulai melihat kebutuhan ekonomi secara wilayah bukan dibatasi oleh batas administratif dan batas perencanaan.

Keempat, pengaturan zoning yang mendukung program penataan permukiman kumuh. Pengaturan zoning tidak bisa hanya bersifat "defensif" atau mempertahankan kondisi yang ada. Fungsi perencanaan juga memberikan gambaran bagaimana kawasan tersebut harus dibentuk kedepannya. Penataan permukiman kumuh juga tentunya mempertimbangkan kebijakan yang berlaku di wilayah tersebut. Maka dari itu, pengaturan zoning harus bersifat futuristik dan selaras dengan bagaimana gambaran penataan permukiman kumuh wilayah tersebut kedepannya.

Pengentasan kemiskinan tidak bisa melalui pendekatan karitatif atau bersifat memberi kasih sayang. Sederhananya, memberikan bantuan secara sepihak. Masyarakat akan terlena dengan bantuan dan hanya daya beli masyarakat yang meningkat namun tidak dengan produktifitas dan pendapatan aslinya. 

Di sisi lain, pemerintah tidak bisa selamanya memberikan bantuan. Apalagi pemberian bantuan secara tunai memiliki isu sendiri seperti ketidaktepatan serta perbedaan jumlah kebutuhan. Program pengentasan kemiskinan harus timbal balik antara pemerintah dan masyarakat. Program tersebut juga harus berperan sebagai stimulus. Stimulus yang menciptakan ruang bagi masyarakat untuk lebih mudah produktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun