Urban sprawl, disebut juga sebagai sprawl atau suburban sprawl, perluasan cepat dari luas geografis kota dan kota, sering ditandai dengan perumahan dengan kepadatan rendah, zonasi sekali pakai, dan peningkatan ketergantungan pada kendaraan pribadi untuk transportasi. Urban sprawl sebagian disebabkan oleh kebutuhan untuk mengakomodasi populasi perkotaan yang meningkat. Namun, di banyak wilayah metropolitan, hal itu terjadi karena keinginan untuk menambah ruang hidup dan fasilitas hunian lainnya. Pemekaran kota telah berkorelasi dengan peningkatan penggunaan energi, polusi, dan kemacetan lalu lintas dan penurunan kekhasan dan kekompakan masyarakat. Selain itu, dengan meningkatnya "jejak" fisik dan lingkungan kawasan metropolitan, fenomena tersebut menyebabkan rusaknya habitat satwa liar dan terfragmentasinya kawasan alam yang tersisa.
Pada beberapa studi literatur fenomena urban sprawl ini dianggap sebagai masalah alamiah yang tak terhindarkan seiring pertumbuhan laju penduduk, dampak urbanisasi ibu kota dan industrialisasi. Dikarenakan populasi yang semakin bertambah seiring waktu dapat menyebabkan meningkatnya kebutuhan ruang di daerah perkotaan sehingga mendorong terjadinya perkembangan daerah ke pinggiran kota.Â
Pada tahun 2010, total area yang ditutupi oleh semua semen, aspal, tanah liat yang dipadatkan, area taman dan ruang terbuka yang terdiri dari jejak pemukiman perkotaan dunia adalah sekitar 1 juta km2. Jika fenomena urban sprawl ini tidak dilakukan pengendalian maka permukaan bumi akan tertutup dengan pemukiman perkotaan akan meningkat menjadi lebih dari 3 juta km2 pada tahun 2050. Dengan kata lain konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian akan semakin meningkat akibat Urbanisasi.
Negara Portlandia memiliki kebijakan yang disebut Urban Growth Boundaries (UGB) yang digunakan untuk mencegah terjadinya urban sprawl yang tidak terkendali. Kebijakan UGB ini disahkan semenjak tahun 1978 yang mencakup 24 kota dan bagian perkotaan dari tiga kabupaten. Kebijakan UGB ini dirancang untuk melindungi lahan pertanian, memperlambat penyebaran, dan mendorong kepadatan perkotaan, dengan mengelilingi Portland dan pinggiran kota utamanya dengan cincin pelestarian zona pertanian. Sederhananya, kebijakan UGB berfungsi untuk menandai pemisahan lahan perkotaan dan pedesaan.
Pada tahun awal diberlakukannya kebijakan UGB benar-benar hanya berfungsi untuk menampung pembangunan yang luas karena didalamnya masih terdapat lahan yang dapat dikembangkan untuk mengakomodasi permintaan pembangunan dengan kepadatan rendah.
Namun, dalam berjalannya waktu sejak Portland mengadopsi Urban Growth Boundaries (UGB), ada banyak kritik dan masukan yang ditujukan pada kebijakan ini. Karena kawasan terluar yang menjadi perbatasan antara wilayah perkotaan dan lahan persawahan terdapat kenaikan harga lahan dan harga permukiman yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan oleh urbanisasi yang terus berkembang menciptakan permintaan akan lahan terus meningkat dan mendorong pembangunan hingga ke titik-titik terjauh dari wilayah UGB.
Sehingga kebijakan ini akan dilakukan peninjauan ulang setiap 5-7 tahun sekali dan akan dilakukan perluasan batas perkotaan setiap 20 tahun sekali. Keputusan lahan mana yang akan dimasukkan dalam perluasan UGB ditentukan menurut prioritas yang ditetapkan oleh undang-undang negara bagian (Metro, 2002). Lahan dengan prioritas lebih tinggi termasuk lahan yang ditetapkan sebagai cagar kota, dan 'lahan pengecualian', yaitu lahan yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian atau hutan. Lahan dengan prioritas lebih rendah dapat berupa lahan non-sumber daya yang memungkinkan pengembangan perumahan.
Disinilah letak permasalahanya. Menurut data dari modernfarmer.com ketika batas perkotaan ditarik pada tahun 1979, harga rumah rata-rata di Portlandia berada di sekitar rata-rata nasional $63.000, namun antara pada tahun 1990 dan 2000, harga rumah rata-rata di Portlandia naik dua kali lipat, dan terus meningkat hingga $358.000, 90% di atas rata-rata nasional.
 Lalu apakah kebijakan UGB ini memang solusi yang tepat untuk mengurangi urban sprawl?
Kebijakan UGB tentunya efektif untuk menekan urban sprawl, namun ketersediaan lahan untuk non-pertanian yang terbatas mengakibatkan kenaikan lahan. Hal ini membuat masyarakat Portlandia yang tidak mampu membeli lahan ataupun permukiman didalam daerah perkotaan akan cenderung memilih untuk tidak tinggal di wilayah perkotaan apalagi pada wilayah perbatasan. Akibatnya, masyarakat akan memilih menjadi penglaju, yaitu orang yang tinggal dan bekerja di kota yang berbeda. Biaya transportasi akan membengkak. Urban sprawl juga tidak diberhentikan namun berpindah ke daerah sekitarnya.
Persebaran nilai lahan tidak akan berbuntuk sentralitas karena ada kemungkinan nilai lahan di sisi-sisi terluar meningkat. Hal ini dikarenakan lokasinya yang memiliki pemandangan serta suasana tentram perdesaan namun tinggal di permukiman dengan kualitas perkotaan. pemandangan dan suasana tersebut pun dapat dikatakan hampir permanen. Lokasi yang cocok untuk membangun rumah mewah.
Sebagai respon dari adanya kebutuhan lahan yang semakin meningkat dan harga lahan yang terus naik hingga pada perbatasan kota dan persawahan dilakukanlah konsep pembangunan berupa vertical building.
Perencanaan dan penataan ruang memegang peran penting dalam mengoptimalkan konsep UGB. Konsep UGB berpotensi menekan isu tata ruang namun menimbulkan isu perekonomian
Sebaik apapun kebijakan yang diterapkan berupa Urban Growth Boundaries (UGB) seperti yang diterapkan di Portlandia masih terdapat konsekuensi terhadap supply dan demand pada lahan. Ketika kita berpikir membatasi pertumbuhan perkotaan akan mencegah terjadinya sprawl pada wilayah disekitarnya ini adalah kesalahan besar. Karena yang mungkin terjadi adalah masyarakat akan memilih lokasi dengan harga lahan yang lebih murah dan terjangkau pada tempat yang lebih terpencil dan tidak terlalu jauh dari kota. Maka dari itu dibutuhkan regulasi-regulasi lainnya terutama yang dapat menekan kenaikan harga lahan serta meningkatkan inklusifitas ruang.
Regulasi tersebut antara lain seperti pengoptimalan kapasitas lahan menggunakan vertical building dan juga Mix-Landuse. Penguatan pengendalian terhadap kekuasaan swasta dalam real estate. Pemberian subsidi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat namun harus diiringi dengan pengendalian kelompok sasaran agar menjadi investasi tenaga kerja yang produktif. Jaringan transportasi komuter harus dibentuk agar masyarakat tidak "terisolasi".
Indonesia sendiri, urban sprawl menjadi isu krusial di dunia tata kota. Semakin banyak konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Hal ini salah satunya diakibatkan ketegasan serta sistem penerapa perencanaan dalam pengelolaan kota.
Pembatasan atau pengaturan tata ruang diatur dalam dokumen perencanaan. Dokumen yang menampung batasan sedetail itu adalah RDTR.
Namun penyusunan RDTR biasanya didahulukan terhadap daerah perkotaan. Hal ini benar dikarenakan urgensi perkotaan yang memiliki dinamika perubahan serta mengandung komponen komponen vital kota. Tetapi hal tersebut menyebabkan tidak adanya pengaturan tegas di kawasan di luar kawasan perencanaan.Â
Penetapan RDTR dapat menjadi stimulus untuk urban sprawl. Pengaturan tata ruang tersebut meningkatkan nilai lahan serta mengurangi pengaruh swasta didalamnya. Swasta (developer) yang tentunya tetap ingin menanggapi kebutuhan perumahan dan bangunan lainnya kemungkinan akan berpindah di luar kawasan perencanaan tersebut.
Lalu bagaimana jika indonesia menerapkan UGB? Apakah efektif? Apakah mampu? Melihat karakteristik dari kecenderungan masyarakat yang lebih suka memiliki lahan pribadi dibandingkan tinggal di vertical building, isu penyelewengan wewenang yang didasari kepentingan pribadi, serta daya beli masyarakat yang masih kurang. Masih belum terlihat kalau UGB adalah solusi yang tepat saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H