Mohon tunggu...
FAKHRA SHIBNIFADHILA
FAKHRA SHIBNIFADHILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

FAKHRA SHIBNI FADHILA NIM: 43119010208 FAKULTAS : MANAJEMEN JURUSAN :EKONOMI DAN BISNIS DOSEN : Apollo, Prof. Dr, M.Si. AK. Universitas Mercubuana jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Asuransi Jiwasraya Dilihat dari Aplikasi Pemikiran Panoptikon yang Dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan Konsep Kejahatan Struktural

31 Mei 2023   20:34 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:37 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Memahami kegagalan pengawasan: Dengan menerapkan konsep panoptikon, tujuan utama adalah untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengawasan dalam kasus Jiwasraya. Dengan memahami akar penyebab kegagalan 

pengawasan, dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki sistem pengawasan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Mengungkapkan implikasi terhadap stabilitas perusahaan: Analisis menggunakan konsep panoptikon juga bertujuan untuk mengungkapkan dampak kegagalan pengawasan terhadap stabilitas perusahaan. Dengan memahami implikasi dari praktik investasi yang merugikan dan kekurangan pengawasan, dapat diidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas perusahaan dan memulihkan kepercayaan publik.

Memberikan dasar untuk perbaikan sistem pengawasan: Melalui penerapan konsep panoptikon, analisis ini berusaha memberikan dasar bagi perbaikan sistem pengawasan dalam sektor asuransi. Dengan mengidentifikasi kelemahan dalam pengawasan dan menyoroti pentingnya transparansi dan pengaruh yang dijanjikan, dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat sistem pengawasan dan mencegah terjadinya penyelewengan di masa mendatang.

Relevansi analisis menggunakan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya adalah untuk mengaitkan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dengan kerangka pemikiran yang telah dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Dengan menerapkan konsep panoptikon, dapat diungkapkan aspek-aspek yang relevan dalam kasus ini, seperti kurangnya pengawasan aktif, kekurangan transparansi, dan pengaruh yang dijanjikan. Analisis ini dapat memberikan wawasan baru dan perspektif yang berbeda dalam memahami kompleksitas kasus Asuransi Jiwasraya dan memberikan dasar untuk perbaikan sistem pengawasan di sektor asuransi.

Penerapan konsep panoptikon dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengawasan dan dampaknya terhadap stabilitas perusahaan serta sektor asuransi secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa aspek penerapan konsep panoptikon dalam kasus ini:

  1. Kurangnya pengawasan aktif: Konsep panoptikon menekankan pentingnya pengawasan yang konstan dan terus-menerus. Dalam kasus Jiwasraya, terdapat kelemahan dalam sistem pengawasan yang aktif terhadap praktik investasi perusahaan. Kurangnya pemantauan yang efektif memungkinkan praktik investasi berisiko tinggi berlangsung tanpa terdeteksi. Pengawasan yang lebih ketat dan pemantauan yang lebih aktif dapat membantu mencegah praktik-praktik yang merugikan dan melindungi kepentingan pemegang polis.
  2. Kekurangan transparansi: Konsep panoptikon juga menekankan pentingnya transparansi dalam pengawasan. Dalam kasus Jiwasraya, kurangnya transparansi mengenai praktik investasi yang dilakukan oleh perusahaan menyulitkan pengawasan dan membuatnya rentan terhadap penyimpangan. Informasi yang tersembunyi atau sulit diakses memungkinkan praktik-praktik yang merugikan untuk berlangsung tanpa terdeteksi. Peningkatan transparansi dalam operasi perusahaan asuransi dapat memperkuat pengawasan dan membangun kepercayaan publik.
  3. Pengaruh yang dijanjikan: Konsep panoptikon menekankan bahwa keberadaan pengawasan itu sendiri dapat mempengaruhi perilaku individu. Dalam kasus Jiwasraya, keberadaan pengawasan yang tidak memadai mungkin telah memberikan persepsi kepada pihak internal perusahaan bahwa tindakan mereka tidak akan terdeteksi atau dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat mendorong munculnya praktik-praktik yang merugikan. Dengan menerapkan konsep panoptikon, yaitu menciptakan persepsi bahwa pengawasan selalu ada dan tindakan akan dipertanggungjawabkan, dapat membantu mencegah pelanggaran dan penyelewengan dalam perusahaan asuransi.

Dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya, penerapan konsep panoptikon dapat memberikan pandangan yang lebih luas tentang kegagalan pengawasan dan memberikan dasar untuk perbaikan sistem pengawasan. Melalui pengawasan yang lebih ketat, transparansi yang lebih besar, dan pengaruh yang dijanjikan, perusahaan asuransi dapat membangun lingkungan yang lebih akuntabel, menghindari praktik-praktik yang merugikan, dan menjaga stabilitas sektor asuransi secara keseluruhan.

Menerapkan konsep panoptikon dalam praktik pengawasan dan kontrol memiliki tantangan dan keterbatasan tertentu. Berikut adalah beberapa tantangan dan keterbatasan yang dapat muncul:

  1. Resistensi individu: Konsep panoptikon didasarkan pada kontrol yang berpusat dan pengawasan yang terus-menerus. Namun, individu atau kelompok yang menjadi objek pengawasan mungkin mengalami resistensi terhadap sistem ini. Mereka dapat mempertanyakan legitimasi kekuasaan dan otoritas yang melaksanakan pengawasan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan: Sistem panoptikon dapat memberikan kekuasaan yang besar kepada mereka yang mengendalikannya. Hal ini membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, pengintimidasi, atau pelanggaran privasi individu yang tidak sesuai dengan tujuan awal sistem pengawasan.
  3. Pengabaian kesalahan struktural: Fokus pada pengawasan individu dalam konsep panoptikon dapat mengaburkan pemahaman terhadap kesalahan struktural yang mungkin ada dalam suatu sistem. Kejahatan struktural dan kegagalan sistem yang mendasar tidak selalu terdeteksi oleh sistem pengawasan ini.
  4. Biaya dan kompleksitas: Menerapkan sistem panoptikon dalam skala besar dapat melibatkan biaya yang signifikan. Mengatur infrastruktur yang diperlukan untuk pengawasan terus-menerus, termasuk teknologi dan personel, dapat menjadi rumit dan membutuhkan sumber daya yang besar.
  5. Dampak psikologis: Konsep panoptikon dapat menciptakan lingkungan yang cenderung menghasilkan kecemasan dan rasa terancam pada individu yang berada dalam situasi pengawasan terus-menerus. Hal ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis individu.

Menerapkan konsep panoptikon dalam konteks perusahaan dan sistem peradilan dapat memiliki implikasi yang signifikan. Berikut adalah beberapa implikasi yang mungkin terjadi:

  1. Implikasi untuk perusahaan: a. Peningkatan pengawasan internal: Konsep panoptikon dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengawasan internal terhadap karyawan dan proses bisnis mereka. Hal ini dapat membantu dalam mendeteksi pelanggaran internal, penyalahgunaan kekuasaan, atau kecurangan yang dapat merugikan perusahaan. b. Peningkatan transparansi: Penerapan konsep panoptikon dapat mendorong perusahaan untuk lebih transparan dalam kebijakan, praktik, dan pelaporan. Ini dapat membantu mengurangi risiko terjadinya kejahatan struktural dan memperkuat kepercayaan pemegang saham dan pelanggan. c. Kesadaran dan kepatuhan: Sistem pengawasan yang berdasarkan konsep panoptikon dapat meningkatkan kesadaran karyawan terhadap aturan dan kebijakan perusahaan. Dengan adanya pemantauan yang terus-menerus, karyawan lebih cenderung mematuhi aturan dan menghindari perilaku yang melanggar.
  2. Implikasi untuk sistem peradilan:

a. Bukti elektronik: Konsep panoptikon mengandalkan pemantauan dan pengumpulan data yang intensif. Ini dapat menciptakan sumber bukti elektronik yang melimpah dalam kasus-kasus peradilan. Sistem peradilan harus siap untuk menangani dan menganalisis bukti elektronik yang kompleks dan melibatkan teknologi canggih.

b. Privasi dan hak asasi manusia: Penggunaan sistem panoptikon dalam pengawasan dan pengumpulan informasi dapat menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan hak asasi manusia. Sistem peradilan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan pengawasan dan perlindungan hak-hak individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun