Mohon tunggu...
Julfakar
Julfakar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belum apa-apa dan bukan siapa-siapa

Sekedar menyalurkan isi kepala dengan menulis. Happy reading teman-teman 😊

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Di Mana Filsafat Saat Pandemi?

14 Desember 2020   13:37 Diperbarui: 14 Desember 2020   14:49 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkapan layar webinar philofest.id

Pertama kali saya mengenal nama Ibu Karlina Supelli itu sekitar 2014 lalu, ketika saya membaca buku "Ruang Publik". Buku itu saya pinjam dari tetangga kontrakan saat kuliah dulu. Berisi kumpulan tulisan dari beberapa penulis dengan beragam tema yang diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Ibu Karlina termasuk salah satu penulisnya.

Dalam buku tersebut, Ibu Karlina menulis tentang "ruang publik maya". Tulisan itu sangat bagus dan berhasil menggerakkan saya untuk mencari tahu siapa penulisnya. Karena tak semua penulis mampu membuat pembacanya penasaran, dan Ibu Karlina bisa membuat saya penasaran, sehingga saya pun ingin tahu sedikit lebih tentang Ibu Karlina ini.

Gak pake lama
, langsung saja saya mencari tahunya saat itu juga. Pertama; saya menuju mesin pencari google untuk membaca profil Ibu Karlina yang mungkin tersedia, dan kedua; terus  melanjutkan pencarian itu dengan menonton beberapa video kuliah umumnya yang tersebar di youtube. Lalu nama Ibu Karlina terus saya ingat sampai hari ini dan sedikit saya tahu latar belakangnya.

Setelah waktu berlalu beberapa tahun sejak selesai kuliah, kemarin kembali saya membaca nama Ibu Karlina dalam sebuah pamflet diskusi webinar yang diselenggarakan oleh philofest.id. Ibu Karlina menjadi narasumber utama dalam webinar itu, dan saya berkesempatan menjadi salah satu pesertanya. Tentu saya senang dan menikmati pencerahannya. Walaupun di sesi pertanyaan tak bisa saya lanjutkan, signal ditempat saya sedang kambuh penyakit hilang-munculnya.

Oleh panitia kegiatan, Ibu Karlina diberi kesempatan membicarakan tema menarik, yaitu tentang; pandemi, kesadaran kosmologis dan peran filsafat di masa depan." Bagi saya secara pribadi penjelasan-penjelasan Ibu Karlina dalam webinar itu merupakan sebuah ajakan reflektif, untuk kembali melihat kita manusia sebagai bagian dari alam dan hubungannya dengan pandemi covid-19.

Mendengar penyampaiannya yang apik itu, saya seperti diajak keliling alam semesta yang luas, dari masa yang berjuta tahun yang lalu, kemudian tiba dihari ini dengan kenyataan hadirnya pandemi covid-19 yang mematikan. Makhluk berkesadaran yang disebut manusia seisi bumi pun panik dan khawatir. Ternyata ada makhluk lain, yang tak kasat mata, dapat mengancam jiwa makhluk manusia.

Sebagai satu-satunya makhluk berkesadaran, tentu dengan kesadarannya pula, makhluk manusia ini mulai berpikir untuk cari jalan keluar. Beragam pandangan tentang Covid-19 ini pun mulai bermunculan, sudah banyak dibahas. Mulai dari sisi medis, psikologis, agamis/mistis, ekonomi, politis, filosofis, dan lain-lain lengkap dengan dinamikanya.

Yang paling menarik menurut saya, ketika kita mengajukan pertanyaan; dimana filsafat saat pandemi ini? Pertanyaan ini membawa ingatan saya kembali di 2016 lalu. Saat menjadi panitia philosophy day dengan mengangkat tema, filsafat; melangitkah atau membumi? Pembicara saat itu Direktur Lyceum Philosophia Institute, Alfit Sair.

Dimana filsafat saat terjadi korupsi, saat terjadi pembunuhan, dan kasus kriminal dan amoral lainnya? Itu beberapa pertanyaan yang coba dijawab oleh pembicara kala itu. Sama dengan yang diajukan Ibu Karlina malam tadi, dimana filsafat saat terjadi pandemi?

Filsafat digugat untuk membuktikan klaimnya bahwa ia bukan ilmu yang mengawang-ngawang dilangit, hanya bergelantungan di ide-ide, tetapi juga dapat ditarik ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia seperti ilmu-ilmu lainnya. Filsafat dapat bermanfaat dengan daya pikir radikalnya, dalam artian dapat membongkar sampai ke akar-akarnya suatu masalah. Tak kecuali pandemi covid-19 sebagai sebuah realitas yang perlu dipahami.

Filsafat sebagai ilmu tentang keberadaan (wujud) sesuatu memiliki cara kerja yang berbeda dengan ilmu lainnya, ilmu medis misalnya. Jika ilmu medis menyediakan vaksin untuk melawan covid-19, maka filsafat menyediakan seperangkat pandangan rasional yang dapat melahirkan sikap rasional manusia dalam menghadapi covid-19.


Bahwa bersih itu rasional, menggunakan masker itu rasional, work from home itu rasional, tidak membuat kerumunan itu rasional, saling berbagi makanan untuk bertahan hidup itu rasional dan lain-lain. Sikap-sikap rasional itu tak lain lahir dari cara pikir rasional. Cara pikir rasional itu tak lain disediakan oleh filsafat. Sementara ilmu medis menjawab akibat-akibat dari corona, filsafat mencoba menelusuri sebab-sebab corona.

Sebaliknya, utamanya ditengah pandemi ini; hidup kotor itu irrasional, tidak mencuci tangan itu irrasional, tidak bermasker disaat keluar rumah itu irrasional, keluar rumah tanpa keperluan yang mendesak itu irrasional, dan lain-lainnya. Sikap-sikap irrasional itu adalah anak-anak yang dilahirkan dari rahim pikir irrasional pula.

Dalam filsafat tegas dikatakan, manusia sempurna bukan karena ia memiliki akal, tetapi karena ia dapat menggunakan akalnya. Beroleh manfaat dari akal tersebut. Artinya demi kebaikan manusia dalam hal apapun, tak kecuali dalam menghadapi pandemi ini, menggunakan akal (rasionalitas) mutlak dibutuhkan.

Setiap manusia pasti memiliki akal, sayangnya tak setiap manusia yang memiliki akal itu dapat berpikir rasional. Dari sini jelaslah posisinya, mana yang bersikap dengan rasional dan mana yang bersikap irrasional (dalam menghadapi pandemi ini). Solusi filsafat tentu dengan menyediakan cara pikir rasional untuk lahirnya sikap yang rasional pula.

Setelah hampir setahun kita hidup dalam kekhawatiran, sejak pertama kali diumumkan kasus covid-19 di Indonesia pada Februari lalu, persoalan merasionalkan sikap manusia dalam menghadapi corona terus dilakukan. Selain mencoba menyelesaikan akibat-akibat dari corona, kita juga perlu menyelesaikan apa yang menyebabkan corona, tentu dengan berpikir dan bersikap rasional. Corona sebagai sebuah entitas realitas perlu dipahami seperti entitas lainnya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun