Sebaliknya, utamanya ditengah pandemi ini; hidup kotor itu irrasional, tidak mencuci tangan itu irrasional, tidak bermasker disaat keluar rumah itu irrasional, keluar rumah tanpa keperluan yang mendesak itu irrasional, dan lain-lainnya. Sikap-sikap irrasional itu adalah anak-anak yang dilahirkan dari rahim pikir irrasional pula.
Dalam filsafat tegas dikatakan, manusia sempurna bukan karena ia memiliki akal, tetapi karena ia dapat menggunakan akalnya. Beroleh manfaat dari akal tersebut. Artinya demi kebaikan manusia dalam hal apapun, tak kecuali dalam menghadapi pandemi ini, menggunakan akal (rasionalitas) mutlak dibutuhkan.
Setiap manusia pasti memiliki akal, sayangnya tak setiap manusia yang memiliki akal itu dapat berpikir rasional. Dari sini jelaslah posisinya, mana yang bersikap dengan rasional dan mana yang bersikap irrasional (dalam menghadapi pandemi ini). Solusi filsafat tentu dengan menyediakan cara pikir rasional untuk lahirnya sikap yang rasional pula.
Setelah hampir setahun kita hidup dalam kekhawatiran, sejak pertama kali diumumkan kasus covid-19 di Indonesia pada Februari lalu, persoalan merasionalkan sikap manusia dalam menghadapi corona terus dilakukan. Selain mencoba menyelesaikan akibat-akibat dari corona, kita juga perlu menyelesaikan apa yang menyebabkan corona, tentu dengan berpikir dan bersikap rasional. Corona sebagai sebuah entitas realitas perlu dipahami seperti entitas lainnya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H