Di tengah pesta demokrasi seperti Pilkada, para pasangan calon dan tim suksesnya umumnya memaparkan visi, misi, dan program unggulan untuk meyakinkan pemilih.Â
Namun, sering kali panggung politik ini diwarnai dengan aksi saling hujat antar tim pasangan calon. Masyarakat pun tak jarang dibuat bingung dan kecewa, karena apa yang seharusnya menjadi ajang kompetisi ide dan gagasan malah berubah menjadi arena konflik pribadi.Â
Fenomena ini tak sekadar masalah politik, tetapi juga berkaitan erat dengan etika, moralitas, dan psikologi massa yang telah dikaji oleh banyak filsuf.
Mengapa ini terjadi? Berikut beberapa pemikiran yang dapat menggambarkan fenomena ini, disertai pandangan para filsuf yang relevan:
1. Strategi Menciptakan Polarisasi
Filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel berpendapat bahwa konflik atau pertentangan adalah proses dialektis yang diperlukan untuk mencapai perkembangan ide atau perubahan sosial. Namun, dalam konteks politik, polarisasi yang berlebihan justru memecah belah dan memperkeruh demokrasi.Â
Hegel mengatakan dalam bukunya Phenomenology of Spirit, bahwa dialektika seharusnya mengarah pada sintesis atau penyatuan ide, bukan perpecahan atau permusuhan yang destruktif.
Sayangnya, di masa kini, banyak tim kampanye menggunakan konflik sebagai strategi, bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk memperkuat basis pendukung mereka dengan mengadu emosi massa.
2. Ketidakmampuan Memaparkan Program Secara Detail
Plato dalam The Republic menyatakan bahwa politik seharusnya dijalankan oleh mereka yang memiliki kebijaksanaan dan pemahaman mendalam mengenai keadilan dan kebenaran. Namun, ada juga, kandidat atau timnya kurang memiliki pemahaman yang cukup mendalam mengenai program yang mereka tawarkan, sehingga saling hujat menjadi "jalan pintas" untuk menarik perhatian masyarakat dan menyembunyikan kelemahan program.