Dalam perjalanan yang panjang, aku dan sahabatku tiba di tepi persimpangan jalan setapak yang membelah hutan kecil. Matahari perlahan-lahan mulai tenggelam di balik pepohonan, memberikan sinar keemasan yang melukis bayang-bayang panjang di tanah.Â
Kami berdua sudah berjalan jauh sejak pagi, menempuh berbagai rintangan dengan penuh semangat. Namun, kini di hadapan kami ada sebuah pilihan; dua jalan yang sama-sama berliku, namun menuju arah yang berbeda.
"Menurutmu, ke arah mana kita harus pergi?" tanya sahabatku sambil mengusap peluh di dahinya. Keringat di wajahnya mencerminkan rasa lelah sekaligus kebingungan. Jalan di sebelah kiri tampak teduh dengan deretan pohon rindang, sementara jalan di sebelah kanan menanjak curam dan penuh dengan batu-batu besar.
Aku memandangi kedua jalan itu sejenak sebelum menatapnya. "Kita harus berpikir dengan bijak. Kadang, jalan yang terlihat mudah justru membawa kita ke arah yang salah."
Saat kami sedang berdiskusi, datanglah seseorang dari kejauhan. Ia tampak santai, seolah-olah persimpangan ini bukan masalah baginya. "Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya dengan nada ringan. "Jalan ke kiri itu jelas pilihan yang paling masuk akal. Teduh, mudah, dan sepertinya akan membawa kalian cepat sampai."
Aku menatapnya dengan rasa curiga. "Kau yakin? Bukankah kita harus berhati-hati? Tidak selalu jalan yang tampak mudah adalah yang benar."
Dia tertawa kecil, "Kalian terlalu banyak berpikir. Kadang, jalan pintas adalah solusi terbaik. Kalau terlalu lambat, kalian akan tertinggal jauh di belakang."
Sahabatku mulai ragu. "Mungkin dia benar. Kita sudah terlalu lelah. Kenapa tidak mengambil jalan yang lebih mudah?"
Namun, aku tetap teguh pada pendirianku. Aku teringat pesan dari seorang kawan lama, yang selalu menasihati untuk tidak mudah terpengaruh oleh kesan pertama. "Kita harus berhati-hati di setiap persimpangan. Jalan yang tampak mudah bisa jadi jebakan," ujarku.
Dengan keraguan yang masih tersisa, sahabatku akhirnya setuju mengikuti saranku. Kami memutuskan untuk mengambil jalan yang lebih menantang di sebelah kanan. Orang yang tadi, dengan senyum sinis, memilih jalan kiri dan meninggalkan kami.
Perjalanan di jalur kanan memang berat. Setiap langkah terasa seperti ujian. Batu-batu besar dan tanjakan curam membuat kami harus berhenti berkali-kali. Namun, di balik setiap rintangan, aku dan sahabatku semakin menyadari bahwa jalur ini memberikan kami kekuatan dan ketahanan yang tak kami duga sebelumnya. Kami saling membantu saat salah satu tergelincir, dan di setiap hambatan, persahabatan kami semakin erat.
Sementara itu, orang yang memilih jalan kiri awalnya merasa sangat puas. Jalan yang ia pilih begitu teduh dan nyaman. Namun, seiring waktu, jalan itu semakin sempit dan gelap. Pepohonan di sekelilingnya mulai menutup rapat, hingga akhirnya ia tersesat di dalam hutan yang penuh dengan belukar. Tak ada jalan keluar, dan tak ada kawan yang menolong.
Di akhir perjalanan, aku dan sahabatku tiba di puncak bukit. Dari sana, kami bisa melihat matahari terbenam dengan begitu indah, memberikan perasaan lega dan bahagia. Kami tahu, keputusan untuk mengambil jalan yang sulit telah membawa kami ke tempat yang lebih baik.
"Kau benar," kata sahabatku sambil tersenyum. "Kadang, jalan yang sulit justru membawa kita ke tujuan yang sesungguhnya."
Aku mengangguk. "Dan di setiap persimpangan, kita juga belajar siapa kawan sejati dan siapa yang hanya menjadi lawan di balik senyum. Perjalanan ini membuktikannya."
Pilihan bukan hanya soal kemana kita pergi, tapi juga tentang siapa yang menemani kita dalam perjalanan.
Penulis: Fajrin BilontaloÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H