Mohon tunggu...
Fajrin Bilontalo
Fajrin Bilontalo Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Gorontalo

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Warkop Ke Wawasan, Kekuatan Seni dalam Menghadapi Politik yang Terpecah

29 September 2024   07:07 Diperbarui: 29 September 2024   07:12 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Fajrin Bilontalo

Suara riuh rendah pengunjung warkop di Kabupaten Gorontalo menjadi latar suasana malam itu. Di sudut sebuah meja kayu sederhana, kami duduk mengelilingi secangkir kopi hitam panas. 

Diskusi malam itu bergulir ke topik seni dan politik---dua hal yang tampaknya berseberangan, namun seringkali saling bersinggungan. Salah satu senior saya, Jefri Polinggapo membuka pembicaraan dengan mengutip esai David Brooks, "The Power of Art in a Political Age."

"Menurut Brooks," ujarnya sambil menyeruput kopinya, "Seni bisa jadi jembatan di tengah perpecahan politik yang makin parah. Di saat kita sering kali dipaksa memilih kubu dalam politik, seni menawarkan ruang untuk berefleksi dan membangun empati."

Mendengar hal itu, kami merenung sejenak, mengangguk setuju. Di Kabupaten Gorontalo, sama seperti di banyak tempat lain, kita tidak terhindarkan dari efek polarisasi politik. Di warkop yang sering jadi tempat diskusi seperti ini, perbedaan pandangan kerap muncul. Tetapi, malam itu, kami mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih dalam: bagaimana seni mampu menyatukan, bahkan dalam perpecahan.

Seni Sebagai Cerminan dan Pelarian

Selang beberapa menit, seorang teman saya, Man'uth Mustamir Ishak menimpali, "Seni juga kan refleksi dari politik itu sendiri, tapi dengan cara yang lebih fleksibel. Misalnya, lihat saja karya seni rupa atau musik yang ada di sini, banyak yang tanpa sadar mengkritik kondisi sosial. Tapi mereka melakukannya dengan cara yang lembut dan simbolis."

Di antara hiruk-pikuk politik yang sering kali terlihat kaku dan penuh kepentingan, kami menyadari bahwa seni memiliki cara unik untuk menyuarakan realitas. Politik, dengan batasan ideologinya, tak jarang membuat orang terpecah-belah. Tetapi seni---baik itu dalam lukisan, puisi, atau musik lokal---selalu memiliki cara untuk menyatukan kita dalam rasa dan pemahaman yang lebih luas.

Menghubungkan Manusia Melalui Empati

Brooks berbicara tentang kekuatan seni dalam membentuk empati. Seni, katanya, punya cara untuk menyentuh kita secara pribadi, di tempat-tempat yang tak bisa dijangkau oleh pidato atau perdebatan politik. Di sini, di Kabupaten Gorontalo, kami pun merasakan hal yang sama. Dalam karya-karya seni lokal, seringkali tersirat cerita tentang kehidupan sehari-hari, perjuangan, cinta, dan kehilangan. Karya-karya ini menghubungkan kami sebagai manusia, terlepas dari perbedaan pandangan politik.

Lebih lanjut, seorang teman sebaya juga, yang merupakan penggemar seni, berbagi pandangannya dengan kami, "Seniman di Gorontalo pun sering kali menghadirkan karya yang mengajak kita merasakan apa yang orang lain rasakan. Entah itu lewat musik atau lukisan, kita jadi lebih terbuka terhadap pengalaman orang lain, yang mungkin jauh dari pengalaman kita sendiri. Di situlah letak kekuatan seni---membangkitkan empati."

Seni sebagai Tempat Perlindungan

"Kopi memang bikin rileks," celetuk salah satu dari kami yang dari tadi hanya diam mengamati diskusi. Dia lalu melanjutkan, "Mungkin seperti seni, ya? Ketika politik bikin pusing, seni bisa jadi tempat kita berlindung sejenak."

Seketika, kami semua tertawa kecil, tetapi ada kebenaran dalam pernyataannya itu. Di tengah kebisingan politik yang sering memecah-belah, seni menawarkan ruang untuk merenung. Di warkop ini, kami bukan hanya berbicara tentang politik, tapi juga tentang bagaimana seni bisa menjadi cara kita menenangkan pikiran dan mengingat kembali apa yang sebenarnya penting dalam hidup---keindahan, hubungan antar-manusia, dan makna yang lebih dalam.

Kesimpulan dari Warkop

Malam itu, di tengah suasana warkop yang akrab dan hangat, diskusi kami berakhir dengan kesimpulan yang sederhana: seni memiliki kekuatan besar dalam membentuk cara kita melihat dunia, termasuk dalam konteks politik. Seperti yang dikatakan David Brooks, seni bukan hanya refleksi dari keadaan sosial-politik, tetapi juga kekuatan yang mampu menjembatani perbedaan, membangkitkan empati, dan menawarkan ruang perlindungan di tengah kebisingan.

"Jadi, meskipun politik di Gorontalo kadang memanas," ujar salah satu dari kami saat diskusi hampir selesai, "seni bisa jadi tempat kita semua berkumpul lagi, sama-sama menikmati makna di baliknya."

Kami mengangkat cangkir kopi terakhir, sebagai tanda bahwa diskusi di warkop ini tak hanya tentang politik, tapi juga tentang menemukan harmoni di tengah segala perbedaan---sebuah seni tersendiri yang patut kita hargai.

Penulis: Fajrin Bilontalo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun