Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mata Kolam; Pria Eropa yang Terjebak dalam Tubuh Pribumi (8)

1 Agustus 2017   08:49 Diperbarui: 1 Agustus 2017   09:14 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul sepuluh malam restoran tutup. Sebelum pulang ke kamar kos masing-masing, aku dan Iwin menghabiskan waktu beberapa jenak nongkrong dulu di depan Plaza Indonesia. Angin malam yang bertiup semilir membantu melepaskan kepenatan pikiran kami dan menyegarkan kulit kami yang terasa lengket. Kami duduk tenang di atas pipa bercat biru sambil menghirup udara kota yang terasa lebih segar daripada siang hari. Seperti kami, malam ini cukup banyak orang yang hilir mudik baru pulang kerja.

Seperti biasa Iwin mengeluarkan ponsel pintarnya yang canggih, dengan layar sentuh dan tanpa tombol. Ia tak mungkin menyia-nyiakan sinyal wi-fi gratis yang berkeliaran di sini. Bahkan menurutnya, berselancar internet dengan menggunakan wi-fi gratis bukan sekadar untuk menghemat isi kantongnya, sekaligus juga menegakkan syariah Islam. Aku tak habis pikir Iwin bisa berpikiran sejauh itu. Aku tak mengerti bagaimana rumus menggunakan sinyal wi-fi gratis berarti juga ikut berpartisipasi dalam menegakkan syariah Islam. Lantas Iwin menerangkan, "Kau tahu saat kita membeli kuota internet pasti selalu ada masa berlakunya. Meskipun kita tak pernah menggunakan kuota internet itu, kalau masa berlakunya habis kuota kita juga ikut hangus. Dengan begitu perusahaan bisa mengambil keuntungan lebih besar, sementara para konsumen seperti dikejar-kejar waktu untuk menghabiskan kuota internet tersebut dan dituntut untuk lebih sering membeli kuota internet. Lagi pula, di era serba canggih ini, aku pikir perusahaan tak ada ruginya memberikan kuota internet tanpa masa berlakunya. Maka dari itu produk-produk komunikasi tidak menerima label syariah atau cap halal dari MUI. Bisa dibilang keuntungan yang mereka diperoleh hukumnya seperti bunga bank; riba."

Aku tak tahu Iwin berkata demikian apakah memiliki dasar tertentu atau sekadar bualannya seperti biasa. Tapi merasa kata-katanya itu terdengar lain dari biasanya, mungkin aku harus mempertanyakan kembali kepada para pakar ekonomi syariah.

Sementara Iwin sibuk memperbarui postingan statusnya di beberapa akun media sosial yang dimilikinya, pandanganku terpaku pada kolam besar yang berada di tengah-tengah persimpangan jalan tersebut. Aku merasakan keganjilan melihat kendaraan-kendaraan yang melewati Jalan Sudirman-Thamrin ini tampak seolah-olah mengelilingi kolam raksasa tersebut. Sebenarnya aku ingin mengajak Iwin duduk di tepi kolam tersebut sambil menikmati segelas kopi yang bisa dipesan kepada para pedagang asongan bersepeda di sekitar sini, tetapi aku merasakan sebuah ketakutan yang sulit aku deskripsikan. Melalui angin malam yang berhembus mengelus-elus kulitku yang kering, aku dapat merasakan kolam raksasa itu membisikkan sesuatu padaku. Persoalannya aku merasa sulit menterjemahkan apa yang dibisikkan kolam tersebut padaku, tapi aku pikir ini pasti diakibatkan trauma karena insiden malam tahun baru itu. Demi menenangkan jiwa, aku menyulut rokokku dan menghisapnya dalam-dalam, kemudian mengalihkan perhatianku pada sekumpulan pemuda yang tengah bersama-sama menyanyikan sebuah lagu dengan diiringi petikan senar gitar. Para pemuda ini sering terlihat di area sekitar ini dan suka iseng menarik uang dengan pengamen di sekitar sini.

Kemudian ketika aku merasakan kecemasan tanpa alasan yang jelas itu, tiba-tiba Iwin berteriak memanggil sepasang turis asing yang kebetulan lewat di hadapannya. Berkali-kali ia memanggil turis yang tampaknya sepasang kekasih tersebut, hingga akhirnya, pada panggilan yang entah ke berapa, turis asing berkulit putih itu menengok dan mencari-cari asal suara. Aku menengok ke arah Iwin dengan pandangan heran membuat kecemasan yang aku rasakan mulai terlupakan. Aku tak tahu maksud tujuan Iwin memanggil mereka. Mustahil ia kenal dengan kedua turis yang berpostur khas ras Kaukasus itu, karena pergaulannya tak memungkinkan ia bisa mengenal orang lain dari negara asing. Bahkan bahasa Inggris saja ia tidak becus. Tapi dengan terburu-buru ia mendekati mereka sambil melambaikan tangan.

"Mister, boleh minta foto bareng?" ucapnya gugup namun penuh percaya diri, berharap kedua turis asing itu mengerti apa yang barusan dikatakannya.

Sepasang bule itu saling melempar pandangan yang menyiratkan tanda tanya besar. Iwin mencoba menggunakan bahasa Inggris yang dikuasainya seadanya dengan terbata-bata, sambil mencoba menggerakkan tangannya sebagai isyarat. Karena kedua turis asing itu malah terlihat semakin bingung, Iwin menuduhkan ponsel pintar layar sentuhnya. Melihat benda itu kedua bule itu tertawa-tawa.

Agak malu sebenarnya memiliki teman dengan sikap kampungan semacam ini. Rasanya aku ingin berpura-pura tak mengenalnya sekaligus menganggap kejadian ini terasa lucu. Tapi kedua bule itu terlihat dengan senang hati berfoto bersamanya. Mungkin kedua bule itu menganggap Iwin adalah manusia yang terbilang aneh. Atau mungkin pula kedua bule itu menganggap ini sebagai bentuk salah satu keramahan khas Indonesia; meski bukan siapa-siapa di negaranya sendiri, di Indonesia ini ia malah bak diperlakukan sebagai selebritis.

Bisa jadi Iwin memang menganggap manusia berkulit putih dengan rambut pirang seumpama selebritis. Dengan ciri-ciri fisik yang sepenuhnya berbeda dengan para keturunan ras Autronesia, ia menganggap orang-orang Kaukasia terlihat unik bahkan mungkin aneh. Ia mengidolakan warna kulit, rambut, dan mata mereka. Ia menganggap tubuh bentuk tubuh mereka sebagai sesuatu hal yang proposional karena tinggi dan besar. Sementara ia seperti kebanyakan orang Indonesia bertubuh pendek dan kecil. Mungkin saja menurut mereka orang Indonesia adalah bangsa Hobbits seperti dalam film Lord Of The Ring. "Mereka seperti manekin," ujar Iwin berpendapat. Hal yang wajar apabila tiba-tiba Iwin ingin memiliki tubuh seperti mereka. Bahkan, untuk sekadar menghibur diri sendiri, ia selalu berandai-andai atau lebih tepatnya membohongi diri sendiri bahwa ia sebenarnya adalah manusia berkulit putih yang terjebak dalam tubuh lelaki berkulit kecoklatan.

Tentu saja aku selalu mengolok-olok dan menertawainya karena aku pikir Iwin menjadi gila gara-gara gagal meraih mimpinya sebagai penyanyi. Sekaligus dengan olokan dan tertawaan itu aku ingin membalas dendam terhadap segala olokan yang kerap dilemparkannya padaku. Meski begitu aku bersyukur, setidaknya Iwin tak menganggap dirinya sebagai wanita yang terjebak dalam tubuh pria.

Melalui pelajaran sejarah di sekolah, Iwin juga tahu kehebatan-kehebatan peradaban di Eropa sana dan berbagai kemajuan yang berhasil dicapai yang membuat bangsa-bangsa Timur kehilangan rasa percaya diri pada era masa kini. Bangsa Indonesia saja lebih setengah abad lalu merasakan pahitnya dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa selama ratusan tahun. Padahal pelayaran bangsa Eropa ke Timur penuh uji derita; berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun melayarari samudera luas, bersahabat dengan gelombang laut yang sesekali mengamuk, mengitari besarnya Afrika, kelaparan, terjangkit wabah penyakit, bahkan mungkin tersesat. Saat itu hubungan antara Barat dan Timur satu sama lain saling terpencil. Dalam keadaan tak karu-karuan, seharusnya sekali gertak saja bangsa Eropa mudah dilumat. Tapi ternyata mereka akhirnya mampu menindas bangsa-bangsa Timur. Ini merupakan suatu fenomena sekaligus membuktikan orang-orang kulit putih, ras Kaukasus itu, adalah bangsa unggul, punya superioritas. Mungkin juga bangsa terpilih di abad-abad lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun