Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Teror Masa Dewasa (6)

17 Juli 2017   11:10 Diperbarui: 17 Juli 2017   11:13 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ketika kami menyusuri koridor-koridor mall menuju lantai basement menggunakan tangga jalan, Iwin seperti tak bisa mempertanggung-jawabkan perkataan yang baru beberapa menit lalu ia ucapkan; melihat paha mulus serta belahan dada membuatnya tampak berusaha menahan air liurnya kemudian menelannya dalam-dalam. Membayangkan biaya perawatan tubuh dan wajah mereka, adalah hal mustahil kami dapat menyentuh dan mengelus kulit selicin dan sehalus itu. Namun melihat mereka berjalan meliuk-liuk bak peragawati dan meyakini kaki jenjang mereka pasti terasa pegal karena menggunakan sepatu hak tinggi, kami rasanya tergoda menawarkan bantuan untuk memapah mereka atau setidaknya membantu menjinjing kantong-kantong belanja mereka.

Juga tak kalah berkelasnya, pakaian dan segala aksesoris pendukung yang mereka kenakan tentulah teramat mahal. Tas-tas merek dunia----Louis Vuitton, Gucci, Hermes----mereka tenteng penuh gaya pamer. Tas itu tak lagi berfungsi sebagaimana tas seharusnya digunakan, melainkan tas itu layaknya perhiasan yang menambah keanggunan mereka. Ketika berjalan tas itu tergantung dalam kepitan siku pergelangan tangan sekaligus secara sengaja memperlihatkan kepada dunia nama merek yang terpampang di atas permukaan tas tersebut. Ketika duduk mereka meletakkan tas itu di atas meja dengan hati-hati seakan-akan takut pecah. Karena tas itu mampu menaikkan gengsi mereka dan menentukan strata sosial mereka, cara mereka memperlakukan tas tersebut seperti nyawa sendiri. Seandainya aku taksirkan harga barang-barang yang menempel disekujur tubuh mereka pastilah mencapai jutaan rupiah.

Sementara ketika kami melihat label-label harga di sini selalu lekas membuat kami mati rasa dan sesak nafas. Gaji kami sebulan saja takkan cukup untuk membeli selembar celana dalam.

            "Para pengunjung mall di sini semuanya bergaya kebarat-baratan," kataku dengan tatapan iri. "Kecuali kita, bergaya kemiskinan-miskinan."

            "Kita memang miskin," tukas Iwin dengan nada memperingatkan.

"Aku tidak merasa begitu," jawabku. "Kemiskinan yang kita rasakan adalah buatan tangan manusia, bukan sebab takdir Tuhan. Seandainya tak ada manusia miskin, mereka takkan pernah bisa membanggakan kemewahan yang mereka miliki. Karena itu, agar mereka tetap memiliki gengsi dan ruang pamer, mereka harus selalu memastikan bahwa kemiskinan itu tetap ada."

Berkaca melalui barisan etalase, kami ternyata termasuk orang-orang yang memberikan warna kontras di sini. Wajah nelangsa di balik kaca etalase menatap balik kepada kami. Berdasarkan nama mall ini yang menggunakan nama Indonesia, aku telah membuktikan perkataan guru-guru di sekolah bahwa Indonesia itu negara kaya. Namun, melihat diri sendiri muram dan kacau begini, benarkah aku ini orang Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun