"Itulah yang disebut manusia hanya bisa berencana sementara Tuhan yang menentukan," timpal Iwin berlagak bijak.
      "Iwin, apa hidup kita akan begini terus. Tak ada perubahan dan tak ada perkembangan."
      "Ikhlas saja. Jangan banyak bertanya seperti orang tak beriman."
Mendengar perkataan Iwin barusan, aku ingin tertawa; tanpa bertanya berarti ia beranggapan menjadi beriman adalah menjadi bodoh. "Seharusnya kita kuliah," ucapku. "Dengan gelar sarjana kita bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih manusiawi."
"Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya masih mencari kerja," ucap Iwin terdengar retoris. "Mending duitnya kita pakai buat kredit motor."
"Kau tahu kenapa aku menulis?"
"Melihat penampilanmu yang selalu acak-acakan, kau tentunya ingin menjadi binatang jalang seperti Chairil Anwar."
Terkesan mencoba meledekku, Iwin memonyongkan mulutnya; mencontohkan bagaimana seharusnya binatang jalang itu melolong, dan tentu saja sambil tergelak jenaka. Aku melemparkan piring ke atas bak cuci sehingga air di dalamnya menciprat wajah Iwin. "Iwin, mencuci piring bukanlah karir yang menjanjikan masa depan."
Akhir jam makan siang adalah waktu istirahat kami. Merasa tekanan berkurang, kami mengambil nafas lega. Kami bersiap-siap untuk menghabiskan waktu istirahat; melepas sepatu bot dan membuka selembar efron yang terikat didepan dada dan perut kami. Meski ikut terciprat air, kami masih mengenakan seragam kami dan menutupnya dengan mengenakan jaket. Biasanya angin menjelang sore di luar sana cukup mampu mengeringkan kembali seragam ini. Sejenak kami duduk di bangku depan restoran sambil memperhatikan para pengunjung mall. Seakan-akan mimpiku telah berada di depan mata dan terwujud melalui para pengunjung mall, memperhatikan mereka mampu menghapus rasa bosan. Melihat mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan, tak ada satupun bertampang pas-pasan membuatku yakin bahwa sukses tidaknya seseorang ditentukan oleh garis wajah. Keyakinan itu juga pada akhirnya membuatku maklum terhadap orang-orang yang berlangganan klinik kecantikan, rajin merawat diri di salon-salon, bahkan kecanduan operasi plastik.
      "Di sini tak ada perempuan jelek," pujiku terhadap para perempuan yang melintas di depan mata. Sebagaimana lelaki yang selalu tergoda dengan kemulusan kulit dan wajah mereka, aku tak bisa berhenti mengagumi kecantikan wanita-wanita metropolis.
"Tapi semua itu cuma polesan saja," timpal Iwin. "Menurutku mereka lebih mirip manekin daripada manusia. Kelihatannya semakin banyak uang, seseorang akan semakin lupa bahwa dirinya manusia. Bahkan bagaimana caranya menjadi manusia saja mungkin mereka tak tahu."