Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Teror Masa Dewasa (6)

17 Juli 2017   11:10 Diperbarui: 17 Juli 2017   11:13 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Karena hari ini merupakan tanggal merah dan menjadi bagian dari libur panjang, aku yakin hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap intensitas keramaian mall. Starbuck, kedai kopi asli Amerika yang terkenal itu, yang menjadi tempat nongkrong favorit anak muda metropolitan atau tempat santai-santai para pekerja kantoran, tak seramai hari biasanya. Padahal saking ramainya, kedai kopi Amerika ini selalu buka lebih awal dan tutup lebih lambat dari jam-jam operasi mall. Mungkin akibat perayaan tahun baru semalam warga ibukota memilih bangun tidur lebih siang atau mereka berada diluar kota dalam rangka perayaan tahun baru tersebut.

Menuju restoran tempat kami bekerja berarti kami melewati sejumlah koridor. Karena malas naik tangga jalan mati, pagi ini kebanyakan orang yang merupakan tenan mall, memilih menggunakan lift. Sementara kami, tak tahu apa alasannya atau mungkin telah terbiasa, lebih memilih menggunakan tangga jalan mati. Yang bahkan saat-saat merasa iseng kami menghitung tiap anak tangga yang kami naiki tersebut. Meskipun hal ini terasa amat sederhana dan kekanak-kanakkan, sedikit banyak itu menambah energi kami. Dan, rasanya begitu menyenangkan merasakan kembali kegairahan masa-masa kecil dulu.

Masuk ke dalam restoran, suasana menjemukan dan tanpa harapan kecuali menanti-nanti gaji bulan depan segera ditransfer, kembali menerpaku. Segera kami mengenakan seragam dan beres-beres; mengepel lantai, mengelap meja-meja, mencuci sayuran, panci masak, serta setumpuk piring kotor yang kemarin belum sempat dibersihkan. Kemudian kami memeriksa jebakan-jebakan tikus yang terpasang di setiap sudut dapur. Hampir saja aku menjerit melihat seekor tikus masuk perangkap. Tikus tersebut mencicit-cicit putus asa karena badannya menempel di atas karton yang telah diolesi lem anti tikus. Dengan perasaan jijik dan ngeri, aku angkat karton tersebut, menyiramnya dengan air panas, kemudian melemparnya ke dalam tong sampah.

Seperti tanpa irama dan begitu mudah ditebak kelanjutannya, inilah caraku bertahan hidup; bergerak ke sana kemari dan melakukan apapun sesuai perintah dan peraturan yang telah ditetapkan. Sikap patuh yang telah menjadi bagian dari diriku seperti sebuah kutukan yang tak bisa lagi diselamatkan. Berpikir dapat membuat aturan sendiri dan bebas melakukan apapun sesuai kehendak hati terkadang menjadi pelipur saat-saat seperti ini.

Setengah jam sebelum restoran buka, kru dapur telah menghidangkan sepiring besar ayam goreng dan sepanci sayuran berdasarkan kreasi mereka sendiri dari dedaunan yang mereka comot sembarangan di dalam lemari chiller. Mereka mengawali sarapan pagi ini sebelum kru restoran lainnya mengambil jatah sarapannya. Kami makan bersama-sama dengan mengelilingi meja restoran sebagaimana para tamu restoran berkunjung. Alih-alih berdoa, kami mengeluarkan telepon genggam kami masing-masing dan memotret makanan yang hendak kami santap. Padahal makanan yang kami santap tidaklah istimewa. Mungkin tak disadari secara langsung di luar sana masih banyak orang berkekurangan, kami beranggapan masih perlu memamerkan apa yang kami makan kepada orang-orang melalui akun media sosial kami. Namun aku selalu merasa jengkel apabila dalam postingan foto tersebut menyertakan diriku yang tengah berseragam. Meskipun kami berlagak bak para tamu dan masakan kami pun dimasak oleh kru dapur restoran ini sendiri dengan kualitas dan higinitas yang sama, seragam itu memperlihatkan bahwa kami hanyalah pegawai restoran yang berpura-pura menjadi tamu restoran.

Sebagaimana Plaza Indonesia mulai beroperasi, pukul sepuluh pagi restoran dibuka. Begitu pintu dibuka tak ada yang sesiap para pramusaji di depan dalam menyambut tamu restoran; berdiri tegap, wajah kaku dengan mata terpaku ke arah pintu, mengingatkanku pada ketegangan sepasukan prajurit perang yang berdiri di garda paling depan atau seperti barisan bidak-bidak catur yang baru bergerak apabila ada yang menggerakkan. Sementara, para kru dapur bersikap lebih santai; sambil mengiris-iris daun bawang, mereka bersama-sama nonton film bokep dalam layar telepon genggam atau mengemil apapun makanan yang bisa dimakan di dapur. Mereka baru benar-benar bergerak sigap ketika tamu restoran berdatangan dan lembaran-lembaran kertas pesanan tertumpuk di atas meja.

Berpikir banyak warga ibukota menghabiskan malam tahun baru di luar kota bahkan di luar negeri, tak disangka-sangka meja-meja restoran terisi penuh; seluruh kru restoran seperti mendapat serbuan dadakan. Bahkan perang sesungguhnya tidaklah terjadi antara tamu dengan kru restoran, sebaliknya segala adu mulut dan adu argumen terjadi antar sesama kru restoran. Kelihatannya warga Jakarta lebih memilih mengisi liburan tahun baru nongkrong dan belanja di mall-mall.

"Kemacetan di Puncak dan Bandung didominasi mobil-mobil berpelat B," kata manager restoran kami, entah bermaksud memberitahu atau sekadar iseng mengatakan hal demikian saat restoran ramai pengunjung. "Jakarta memang sudah kelebihan penduduk."

Menurutku ini juga membuktikan banyaknya orang kaya di Jakarta ini. Meskipun di televisi kondisi perekonomian negara dikatakan morat-marit, warga Jakarta tak pernah berhenti untuk mencari kemewahan. Bahkan aku sempat kaget ketika iseng-iseng melihat tumpukan struk pembayaran di meja kasir; sekali makan di sini saja, mereka bisa menghabiskan uang sejumlah gajiku sebulan.

Karena dituntut efisiensi kerja, kami sebagai pencuci piring seperti kru restoran lainnya, mesti bergerak secepat mungkin. Yang penting tergosok sabun saja, kami menganggap piring-piring yang kami cuci sudah bersih. Satu per satu aku lemparkan piring-piring yang aku cuci, kemudian Iwin bertugas membilasnya dan menumpuknya di dalam bak bersih. Menatap tumpukan piring kotor itu, meski aku bergerak cepat seperti halnya orang bergerilya, aku sadar, karena pekerjaanku ini, aku takkan pernah tercatat dalam sejarah.

            "Rencananya aku takkan lama-lama kerja di sini," ucapku penuh nada keluhan, "tapi kenyataannya aku bekerja di sini sudah berbilang tahun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun