"Namaku Namira," ucap perempuan itu. Melalui matanya terlihat jelas perempuan itu berusaha meyakinkan diri bahwa memperkenalkan diri padaku adalah sesuatu hal yang tepat. Kemudian seolah-olah meralatnya, ia bilang, "Aku tak bermaksud...."
Sebelum perempuan itu merasa sungkan, aku langsung memotong pembicaraannya. Tentu saja sebagai perjaka lapuk, aku menerima baik perkenalan tersebut. Sebagaimana rezeki yang tak boleh ditolak, aku takkan menyia-nyiakan kehadiran perempuan ini. Bagiku, malam tahun baru kali ini benar-benar seistimewa ketika aku dan teman-temanku secara sembunyi-sembunyi untuk pertama kalinya merayakan malam pergantian tahun karena takut kepergok guru mengaji kami. Persoalannya, seperti halnya lelaki yang berniat menebar pesona, aku tak tahu apakah aku harus memuji keindahan namanya atau entah bagaimana.
"Namamu seperti nama perempuan," kataku akhirnya. "Kau kuat seperti lumba-lumba jantan. Aku tak percaya kau ternyata seorang perenang handal."
Namira malah tergelak melihat kecanggunganku. Aku tak tahu apakah ia menganggapku lucu atau sebaliknya. Tapi aku berharap ia menganggapku tampan.
Sebelum aku terhipnotis oleh senyumnya atau mungkin aku merasa bahwa ia perempuan yang sedang butuh hiburan, aku kembali melanjutkan. "Aku pikir siapapun juga pasti berpikir berulang kali merayakan tahun baru dengan basah-basahan."
"Menolong orang tidaklah perlu berpikir," timpal Namira. Wajahnya yang beberapa menit lalu tampak murung kembali berseri-seri.
"Kalau begitu aku ingin kau mengajariku berenang. Mungkin saja aku bisa menjadi penjaga pantai seperti dalam serial Hollywood Baywatch."
Namira kembali tertawa. Kentara sekali tawanya itu menyiratkan beban batin yang sekian lama ia pendam yang pada akhirnya di sinilah ia menemukan kebahagiaan seperti seseorang yang menahan kentut sekian menit yang pada akhirnya ia dapat keluarkan di waktu dan tempat yang tepat. Suasana yang tadinya sempat aku kira bakal penuh kecanggungan dan ketegangan akhirnya dapat begitu cair. Aku merasa gembira melihat perempuan ini tertawa. Dan, seolah-olah ada alasan tertentu, aku merasa berguna berada di hadapannya.
"Boleh aku minum tehnya?"
Aku mengangguk mempersilahkan. Ketika perempuan itu menyeruput tehnya, aku mulai mempertanyakan bahwa tak mungkin gadis semanis Namira datang seorang diri ke pesta tahun baru di pusat kota. Biasanya gadis seperti Namira datang bersama pacar atau teman-teman sebayanya. Atau setidak-tidaknya bersama keluarga. Aku tak tahu adakah di luar sana yang tengah mengkhawatirkannya? Namun dari raut mukanya, Namira sama sekali tak memperlihatkan sebagai anak hilang.
Kembali ia meletakan gelas itu di atas meja. Dalam keheningan itu Namira seperti ragu-ragu untuk menatap mataku kembali. Seolah-olah telah berhasil mempertimbangkan sesuatu, akhirnya Namira bilang, "Bolehkah malam ini aku menginap?"