Hampir saja aku membongkar isi seluruh lemari kalau saja aku tak menemukan pakaian yang tepat. Seperti tikus yang tengah menggali tanah untuk dijadikan sarangnya, aku mengubek-ngubek isi lemari. Menemukan pakaian yang cukup rapi dan kemungkinan pas di badannya ternyata cukup sulit. Padahal induk semangku suka menawarkan apabila aku butuh setrika, aku tinggal ngomong saja padanya. Karena aku terlalu malas dan tak pernah peduli soal penampilan, aku memilih langsung melipatnya dan memasukkan ke dalam lemari begitu aku angkat dari jemuran. Karena pakaianku kusut-kusut semua, aku memilih selembar kaos yang baru aku angkat dari jemuran kemarin, yang bau detergennya masih samar-samar tercium.
Sementara aku menyiapkan pakaian untuknya, tak peduli aku pun kuyup dan kedinginan, perempuan itu tengah membersihkan dan mengering badannya di kamar mandi bawah. Handukku yang agak basah aku pinjamkan padanya. Sampai saat ini pun aku masih tak percaya aku membawa seorang perempuan kemari. Aku merasa seperti seorang perjaka yang melarikan anak gadis dari orangtuanya karena hubungan yang tak direstui. Karuan jantungku berdebar-debar, merasa takut perkara ini bakal diketahui dan dilaporkan pada pihak berwajib. Beruntung, malam ini induk semangku tak ada di rumah karena merayakan tahun baru di Bogor bersama anak-cucunya. Aku juga berharap Iwin dapat bercengkerama dengan penyanyi bernama Andini itu lebih lama sehingga ia lupa waktu untuk pulang.
Seperti meragukan sesuatu hal kemudian berupaya mempertimbangkannya, aku menaruh kaos pilihanku itu di bawah pintu kamar mandi. Sebelum perempuan itu selesai membersihkan badannya, aku kembali bergegas naik, dan berganti pakaian. Untukku sendiri, aku tak perlu repot-repot mencari pakaian yang pantas seperti aku mencarikan untuk perempuan itu.
Tak lama kemudian perempuan itu naik ke atas. Merasa agak bingung dikarenakan belum mengenal tempat dimana ia berada sekarang, ia menyerahkan handuk itu padaku. Dengan kikuk aku menerima handuk itu kembali dan menaruhnya di atas tali jemuran. Sepanjang umurku, diantara pengalaman-pengalaman hidup yang mempertaruhkan nyali besar, baru kali ini aku ditempatkan dalam situasi menegangkan yang nyali sendiripun surut menghadapinya. Hanya berdua dengan seorang perempuan cantik dalam satu ruangan membuatku takjub sekaligus mengerikan. Kejantananku sebagai laki-laki dipertaruhkan malam tahun baru ini.
"Aku pikir kau perlu minuman hangat-hangat," kataku gugup seperti malu-malu hendak mengatakan bahwa perempuan itu cantik. "Aku akan buatkan teh untukmu."
Setelah aku persilahkan, perempuan itu duduk di atas sofa. Sementara aku mengambil teh celup dan gula, kemudian menumpahkan air panas dari dispenser ke dalam gelas. Sambil melarutkan teh dan gula dalam gelas, diam-diam aku memperhatikan perempuan itu melalui sudut bola mataku. Meski rambutnya telah digosok berkali-kali dengan handuk, itu tak cukup membuat rambutnya kering dan rapi; malahan tampak seperti sekumpulan cacing yang ditumpukkan dalam satu wadah. Alih-alih rambutnya yang tak bersisir, aku pikir baju pilihankulah yang membuat gadis itu tampak lebih berantakan; tampak kucel dan longgar membuat tubuh kurusnya tenggelam seperti anak kucing yang dijejalkan ke dalam karung goni. Tapi setidaknya kaos itu tak membuat kulitnya merah-merah ataupun gatal-gatal.
Seduhan teh itu aku sajikan di hadapannya. Uap teh yang meliuk-liuk di udara menghantarkan aroma sedap ke dalam hidung kami. Kembali aku memikirkan tentang kesempatan dan berbagai kemungkinan yang dapat aku lakukan bersama seorang gadis dalam satu ruangan terkunci. Melihat perempuan ini tampak rapuh, mudah saja aku memanfaatkan kesempatan baik ini. Dengan sedikit bujukan mungkin aku bisa menggodanya, mencicipi bagaimana rasanya seorang lelaki menyentuh perempuan ataupun sebaliknya, memuaskan libido kelelakianku yang selama ini belum benar-benar terpuaskan. Namun, sebelum bisikan-bisikan jahat itu berhasil menguasaiku, aku enyahkan pikiran cabul tersebut. Sebagai lelaki yang telah berhutang nyawa, seharusnya aku mampu menghargai perempuan ini.
"Terima kasih," suara perempuan itu terdengar dalam dan berat.
"Tidak," tukasku. "Seharusnya aku yang mengucapkan itu. "Tanpa kamu, aku pasti senasib dengan Fir'aun----mati tenggelam."
Di luar, meskipun hujan tak sederas menit-menit pertama turun, langit masih terus menumpahkan air. Percikannya menciptakan irama melankolis di telinga seperti sebuah lagu yang menceritakan tentang kesunyian, menghapus sisa-sisa kemeriahan tahun baru menjadi keheningan yang mencekam. Di saat-saat sendiri aku selalu menantikan hujan. Tak peduli sedahsyat apapun petir yang menyertainya menggelegar, aku selalu merindukan hujan, mengingatkan masa kanak-kanakku yang selalu berlarian di bawah derasnya. Seandainya hujan turun lebih awal malam ini mungkin aku takkan keluar menghadiri pesta kembang api itu. Aku akan betah berlama-lama mengetik di depan komputer karena hujan selalu bisa mengembalikan banyak kenangan.
Meski jengkel hujan turun terlambat, setidaknya hujan telah membantu menyelamatkanku dari rasa malu dan aku tak perlu menutup mukaku. Tak hanya kami berdua yang berlarian, kerumunan orang seketika terpencar-pencar mencari tempat berteduh. Malahan hujan membuat kami lebih bergerak leluasa. Sambil mengenggam pergelangan tangan penolongku, aku berlari menuju kamar kos. Tiba di depan pintu rumah barulah aku sadar bahwa aku telah membawa seorang perempuan, dan dengan perasaan bersalah aku segera melepaskan gengamanku dari pergelangan tangannya.
"Namaku Namira," ucap perempuan itu. Melalui matanya terlihat jelas perempuan itu berusaha meyakinkan diri bahwa memperkenalkan diri padaku adalah sesuatu hal yang tepat. Kemudian seolah-olah meralatnya, ia bilang, "Aku tak bermaksud...."
Sebelum perempuan itu merasa sungkan, aku langsung memotong pembicaraannya. Tentu saja sebagai perjaka lapuk, aku menerima baik perkenalan tersebut. Sebagaimana rezeki yang tak boleh ditolak, aku takkan menyia-nyiakan kehadiran perempuan ini. Bagiku, malam tahun baru kali ini benar-benar seistimewa ketika aku dan teman-temanku secara sembunyi-sembunyi untuk pertama kalinya merayakan malam pergantian tahun karena takut kepergok guru mengaji kami. Persoalannya, seperti halnya lelaki yang berniat menebar pesona, aku tak tahu apakah aku harus memuji keindahan namanya atau entah bagaimana.
"Namamu seperti nama perempuan," kataku akhirnya. "Kau kuat seperti lumba-lumba jantan. Aku tak percaya kau ternyata seorang perenang handal."
Namira malah tergelak melihat kecanggunganku. Aku tak tahu apakah ia menganggapku lucu atau sebaliknya. Tapi aku berharap ia menganggapku tampan.
Sebelum aku terhipnotis oleh senyumnya atau mungkin aku merasa bahwa ia perempuan yang sedang butuh hiburan, aku kembali melanjutkan. "Aku pikir siapapun juga pasti berpikir berulang kali merayakan tahun baru dengan basah-basahan."
"Menolong orang tidaklah perlu berpikir," timpal Namira. Wajahnya yang beberapa menit lalu tampak murung kembali berseri-seri.
"Kalau begitu aku ingin kau mengajariku berenang. Mungkin saja aku bisa menjadi penjaga pantai seperti dalam serial Hollywood Baywatch."
Namira kembali tertawa. Kentara sekali tawanya itu menyiratkan beban batin yang sekian lama ia pendam yang pada akhirnya di sinilah ia menemukan kebahagiaan seperti seseorang yang menahan kentut sekian menit yang pada akhirnya ia dapat keluarkan di waktu dan tempat yang tepat. Suasana yang tadinya sempat aku kira bakal penuh kecanggungan dan ketegangan akhirnya dapat begitu cair. Aku merasa gembira melihat perempuan ini tertawa. Dan, seolah-olah ada alasan tertentu, aku merasa berguna berada di hadapannya.
"Boleh aku minum tehnya?"
Aku mengangguk mempersilahkan. Ketika perempuan itu menyeruput tehnya, aku mulai mempertanyakan bahwa tak mungkin gadis semanis Namira datang seorang diri ke pesta tahun baru di pusat kota. Biasanya gadis seperti Namira datang bersama pacar atau teman-teman sebayanya. Atau setidak-tidaknya bersama keluarga. Aku tak tahu adakah di luar sana yang tengah mengkhawatirkannya? Namun dari raut mukanya, Namira sama sekali tak memperlihatkan sebagai anak hilang.
Kembali ia meletakan gelas itu di atas meja. Dalam keheningan itu Namira seperti ragu-ragu untuk menatap mataku kembali. Seolah-olah telah berhasil mempertimbangkan sesuatu, akhirnya Namira bilang, "Bolehkah malam ini aku menginap?"
Merasa telingaku telah salah dengar, perlu beberapa menit bagiku memastikan apa sebenarnya yang dikatakan Namira barusan. Sebagai perjaka lapuk yang kesepian inilah adalah kesempatan baik yang tak boleh dilewatkan. Namun sebagai manusia terpelajar, aku harus mampu mengutamakan arti moralitas.
"Kamu tidak keberatan, kan?" mintanya lagi. Beberapa jenak lamanya aku terdiam. Ketika melihat sepasang bola matanya yang sendu, yang tampak memohon padaku, menimbulkan rasa kasihan dalam batinku; perempuan itu tampaknya membutuhkan sebuah perlindungan.
Dengan menggunakan alasan-alasan yang terdengar moralis, bahwa tak baik seorang perempuan menginap di kamar seorang lelaki dan itu dapat menimbulkan anggapan-anggapan miring, seharusnya aku menolak. Membayangkan induk semangku mengetahui malam ini aku membawa seorang perempuan masuk kamar saja membuatku merinding. Tak hanya akan dimarahi habis-habisan, aku pasti akan dihardiknya dan diusir dari sini. Sementara aku tak mau meninggalkan kamar kos senyaman ini. Tapi alih-alih bergairah melihat kecantikan dan kemulusan kulitnya, hujan di luar sana telah memberikanku alasan kuat untuk mengizinkan perempuan itu menginap di sini.
"Sebagai lelaki yang telah ditolong hidupnya," ucapku berbasa-basi, "tentu saja tak ada yang lebih menggembirakan selain membalas pertolonganmu kembali."
 "Terima kasih," ucap Namira malu-malu. "Maaf, aku merepotkan."
"Tak perlu sungkan. Aku harap kamarku tidak membuatmu alergi."
Seraya aku mengantarkannya masuk ke dalam kamar. Tak tahu kenapa ketika aku menutup pintu kamar kembali dengan pelan-pelan, aku merasa lega seolah-olah aku telah berhasil menyembunyikan sesuatu di tempat yang aman.
Merasa penasaran, melalui lubang kunci, aku mengintip ke dalam kamar. Setelah cukup puas duduk di hadapannya dan mengobrol bersama, mungkin saja kali ini aku melihat Namira menanggalkan pakaiannya satu per satu di dalam kamar. Sejenak aku berpikir Namira mengobrak-abrik isi kamarku, tapi mengingat aku tak memiliki barang yang cukup berarti tak seharusnya aku mengkhawatirkan Namira bakal mencuri. Sekian lama diabaikan nasib, dengan kehadiran Namira malam ini, aku merasa takdir mulai memihak kepadaku. Aku merasa bagaikan seorang pemburu; berhasil menangkap hewan buruan, menguncinya rapat-rapat dalam kandang, lalu tinggal sesuka hatiku bagaimana memperlakukan hewan buruan tersebut. Memikirkan semua itu, mendadak aku ereksi, dan tak tahan untuk menerkamnya.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk-nepuk bahuku. Karena kaget, refleks aku memutar badan. Setelah berpisah menonton panggung hiburan, akhirnya Iwin kembali hadir di hadapanku. Dengan jantung berdebar-debar, tegap-tegap aku berdiri menjaga pintu, mengawasi ke arah mana Iwin bergerak, yang justru menumbuhkan kecurigaan padanya.
"Kenapa?" tanyanya menatap curiga.
"Tidak apa-apa," jawabku gugup, sulit menguasai diri sendiri.
Iwin memicingkan matanya. Merasa penasaran dan menyadari ada sesuatu yang disembunyikan, ia mendorong-dorongku, memaksaku menyingkir, dan berupaya menjangkau gagang pintu. Karena ia lebih kuat, ia berhasil menyingkirkanku dari depan pintu. Ia membungkuk dan menempatkan padanya di depan lubang kunci sebagaimana aku mengintip tadi. Merasa terpukul, ia menatapku.
"Bajingan!" umpatnya padaku.
Sambil mendesis, aku menempelkan telunjuk di atas bibirku. Dengan suara yang lebih terkontrol, Iwin bilang, "Pintar sekarang. Mentang-mentang tak ada Ibu kos kamu bawa perempuan kemari."
 "Jangan pikir macam-macam," bisikku menyanggah. "Ini hanya kebetulan."
"Kebetulan ini malam tahun baru dan kebetulan juga Ibu kos pergi ke Bogor."
 "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucapku mencoba menenangkan. "Ini seperti bidadari yang dikirimkan oleh bintang jatuh."
Pastilah perumpaanku itu terdengar lucu di telinga Iwin dan aku merasa bodoh mendengar tawanya. Sisa dini hari itu aku habiskan dengan menceritakan kembali insiden bodoh itu. Tanpa ada rasa prihatinnya sama sekali, ia tergelak-gelak lucu, bahkan hingga perutnya terasa melilit. Dikarenakan hujan deras dan ia harus bergegas mencari tempat berteduh, ia tak sempat mengetahui siapa orang yang tercebur kolam ini dan kini ia baru sadar lelaki itu adalah aku.
"Sungguh aku merasa rugi tidak melihatmu tenggelam." Kemudian sambil mencondongkan tubuhnya padaku, ia menggodaku dengan tatapan jahil. "Terus sudah berbuat apa saja dengan perempuan itu?"
"Kau tahu aku ini lelaki baik-baik," aku merasa tersinggung.
"Aku percaya," ia masih saja cengengesan seperti orang yang telah mempersiapkan jebakan berikutnya. "Lelaki impoten mana mungkin berani jantan pada seorang perempuan."
" Sialan!" aku dorong ia hingga jatuh tersungkur ke belakang.
Sementara di luar hujan telah menjadi gerimis yang menenangkan. Air yang jatuh ke tanah laksana helaian-helaian benang layang-layang yang digoyang angin. Suara gemericik yang sendu membangkitkan daya imajinasi dalam kepalaku. Seandainya di kamar tak ada Namira, aku pasti segera menyalakan komputer.
"Apa kabar dengan Andini?" ujarku sambil duduk di sebelah Iwin.
"Menjengkelkan," jawabnya spontan. "Baru terkenal sedikit saja, entah lupa betulan ataupun pura-pura-pura lupa, ia menganggapku seperti seorang penggemar saja."
 "Jadi, tak ada temu kangen?"
"Aku sangat menyesal saat kita audisi bareng, ketika ia tak punya uang dan kehausan, aku membelikannya sebotol minuman."
 Mungkin karena udara makin dingin atau kejengkelannya terhadap Andini, Iwin mengeluarkan sekaleng bir dari balik kantong jaketnya. Sebelum ia pulang, ia membeli bir itu dari swalayan terdekat yang menjualnya. Kemudian ia meneguknya seolah-olah ingin segera menandaskannya dalam sekali tenggak.
 "Kamu minum bir?"
  "Setidaknya aku tidak makan babi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H