Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Mata Kolam; Insiden di Malam Tahun Baru ( 3 )

23 Juni 2017   11:18 Diperbarui: 23 Juni 2017   11:21 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Malam pergantian tahun baru di belakang gedung Grand Indonesia sunyi senyap seperti malam-malam biasanya. Deretan pintu-pintu rumah di sepanjang gang hampir tertutup semua, kecuali warung-warung kecil yang masih buka menunggu pembeli. Masjid dan mushalla yang terjepit diantara deretan rumah-rumah tersebut bisu ditinggalkan jemaah. Memandang ke dalam masjid melalui kaca kusen yang kusam memunculkan sebuah pikiran dalam kepalaku tentang pemakaman yang dikeramatkan warga.  Sinar keemasan yang dipancarkan lamu-lampu pijar di sepanjang gang melahirkan kecemasan tersendiri bak menyenandungkan sebuah lagu kemuraman, menyentuh jiwaku yang selalu merasa kesepian.

            Tanpa suara derap langkah dan ribut-ribut suara manusia, segerombolan tikus sebesar kelinci tampak bergerak lebih leluasa; keluar sarang, berjalan dipinggiran got, kemudian merayap-rayap naik ke atas dinding mencari makan. Ketika kami berjalan di dekat mereka, tikus-tikus itu berlarian, kalang kabut mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dibalik atap-atap rumah tersembul julangan gedung-gedung pencakar langit, lampu di dalamnya berkedip-kedip penuh keceriaan, memancing warga mendekat untuk mencari keramaian dan kemeriahan. Melihat tingginya gedung-gedung tersebut makin menyadarkanku bahwa di kota ini aku bukanlah siapa-siapa.

            Seorang gadis berambut panjang tampak gembira menutup pintu pagar, lalu ia duduk di atas sepeda motor di belakang punggung lelaki berjaket kulit. Lelaki itu menyodorkan helm sambil tersenyum mesra dan gadis itu menerimanya dengan penuh kebahagiaan. Begitu si lelaki siap melajukan sepeda motornya, gadis itu segera memeluk erat-erat pinggangnya. Cara gadis itu memeluknya lebih cenderung dikarenakan takut kehilangan daripada takut terjatuh. Kami menepi mempersilahkan sepeda motor itu melaju di depan kami. Sebagai lelaki yang dicap jomblo seumur hidup, kebersamaan sepasang kekasih itu membuatku terjerat rasa iri; betapa beruntungnya, di usia yang tampaknya lebih muda dariku, lelaki itu sudah mampu menggandeng seorang perempuan.

            Sepeda motor itu berbelok di tikungan depan gang hingga akhirnya menghilang sama sekali dalam pandangan kami. Seumur-umur aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih, bermanja-manja, mengumbar perasaan cinta, dan saling mengucapkan kata sayang. Merasa benci karena selalu saja didahului, aku mulai memikirkan kapan aku dapat merasakan kemesraan semacam itu dengan seorang perempuan. Membayangkan semua itu menjadi kenyataan sangatlah menyenangkan seolah-olah hidup ini terasa ringan dan mudah. Dengan segenap hati, aku ingin sekali memupuskan rasa kesepian ini.

            Bukannya tanpa usaha aku menginginkan seorang perempuan. Aku yang dikenal pemalu dan dianggap telah dikutuk terus hidup sendiri tiba-tiba berani menyatakan perasaan pada seorang perempuan. Aku tak tahu apa penyebab yang bikin aku bertindak seberani ini. Aku sempat mengira adanya kekuatan gaib yang mendorongku. Kemudian setelah aku memikirkannya lebih jauh, aku menembak perempuan tersebut barangkali dikarenakan merasa tertuntut untuk memutus mata rantai sebagai lelaki yang dijuluki jomblo seumur hidup atau mungkin didasari atas faktor kebutuhan seperti seorang alim yang tiba-tiba berani mencuri karena kelaparan.

            "Aku tidak bisa," tolak Lestari mentah-mentah. "Aku perempuan Batak. Sementara kamu lelaki Sunda."

            "Apa urusannya dengan perbedaan etnis?" ucapku tak habis pikir.

            "Aku sempat tinggal di Bandung," ucapnya mengemukakan alasan. "Perempuan di sana belum dua puluh tahun saja banyak yang sudah menjadi janda. Aku tidak mau menjadi janda muda. Aku masih ingin sekolah lagi."

            Rasanya janggal seorang anak sekolahan, yang tentunya memiliki pergaulan luas dan berada jauh dari tanah leluhur, mempertahan stereotipe-stereotipe tertentu dan menjadikan hal demikian sebagai alasan. Tampaknya Lestari adalah perempuan yang belum mampu keluar dari kungkungan adat orangtuanya. Aku kecewa dengan alasan yang dikemukakan perempuan itu. Menurutku ia telah mengingkari Pancasila urutan ketiga. "Kamu tidak nasionalis," gumamku padanya.

            Meski memasang muka cemberut, Lestari tampak tak peduli terhadap pernyataanku itu. Sebuah tradisi yang telah berakar sejak lahir dan dipercaya sejak nenek moyang memang takkan mudah tergoyahkan. Sambil menahan malu, aku berlalu dari hadapan Lestari. Alih-alih merasa kecewa, sebenarnya aku merasa bersyukur Lestari telah menolakku. Setidak-setidaknya, mengenai persoalan janda, Lestari berpikir aku akan mengajaknya dalam hubungan yang serius, padahal sama sekali tak terbersit dalam pikiranku untuk menikahinya selain cukup memacarinya saja; sekadar memutus kutukan jomblo seumur hidup. Namun pada satu sisi, aku merasa ini adalah caraku untuk menghibur diri sendiri.

            Iwin tertawa mendengar aku telah menembak Lestari. Tawanya lebih keras saat ia tahu seketika itu juga aku ditolaknya. Ia sama sekali tak merasa kasihan bahkan menganggapku bodoh. "Selain makannya rakus dan ususnya terbuat dari karet, Lestari itu Kristen."

            "Denganku," ucapku dengan gaya bak seorang yang tengah berusaha membela diri, "bisa saja ia menjadi muallaf."

            Iwin kembali tertawa mengejekku, yang sekaligus tawanya itu mengingatkanku bahwa keimananku adalah sesuatu yang meragukan. "Dia itu makan babi," bisiknya hati-hati seolah-olah itu adalah kata-kata yang dapat menyinggung Lestari apabila ia mendengarnya. "Terutama Batak, ia juga pasti makan anjing, setidaknya pernah makan anjing. Coba bayangkan kamu mencium dia setelah makan babi ataupun anjing."

            Barangkali Iwin bermaksud membuatku begidik jijik, tapi tak tahu kenapa aku tak merasakan pengaruh apapun kecuali aku merasa bergairah. Meski begitu, setidaknya saat ini aku tak perlu menghibur diri sendiri lagi karena ditolak Lestari.

            Iwin menepuk bahuku dan rasa sakitnya menjalar hingga ke otakku. Aku menggeregap. Secara refleks mataku berkedip sekali dan lepas dari lamunan.

            "Kenapa?" ejeknya. "Naksir sama gadis itu?"

            Tak hanya aku seorang, Iwin juga memanjangkan lehernya memperhatikan sepeda motor itu hilang di tikungan gang. "Mengapa?" wajahku merengut. "Kau ikut tertarik juga?"

            "Beginilah nasib jomblo sejati," singgungnya sambil tertawa jahil. "Cuma bisa mengagumi dari jauh."

            "Jomblo atau tidak itu pilihan," tukasku.

            "Hanya saja pilihan paling terbuka itu menjomblo, bukan?"

            "Kalau sama-sama jomblo tak perlu saling ledek."

            "Kalau mau aku bisa saja punya pacar," kata Iwin. "Masalahnya aku ini cepat bosan. Watak playaboy inilah yang membuatku memutuskan sendiri dulu; aku takut menyakiti hati perempuan dan disangka bajingan."

Dalam hal bicara aku akui Iwin berasal dari jenis lelaki pandai mengoceh, sehingga ia tak segan-segan mengolok-olokku. Ocehan-ocehannya itu kerapkali mengganggu telingaku seolah-olah ia ingin melampiaskan dendamnya, tak putus-putus ia bicara, memperdengarkan suaranya padaku yang gagal masuk dapur rekaman. Seakan ingin menutupi kekurangannya, dengan cara membual itulah, ia menghibur dirinya sendiri.

Aku menatapnya jijik. Tampang senorak itu lebih pantas sering diserang patah hati dan kuat-kuat memendam perasaan batin. "Yang namanya lelaki sejati, khusus urusan perempuan, akan selalu memanfaatkan kesempatan pertamanya. Kalau tidak kelelakianmu patut dicurigai."

Aku sangat puas melihat Iwin tiba-tiba memasang muka merengut, jelas memperlihatkan padaku bahwa ia telah kalah. Sebelum Iwin kembali berhasil membalasnya, aku segera berlalu dari hadapannya. Cepat Iwin mengekor di belakangku, kemudian kami masuk ke sebuah warung dan membeli sebungkus rokok.

Keluar gang, suasana metropolitan kota Jakarta terasa langsung menyapa kami. Gang tempat kami keluar ini laksana lubang tikus yang menghubungkan sekaligus batas dua sisi kota yang berlainan; kemegahan dan kesederhanaan. Berjalan dari tempat temaram menuju kegemerlapan pesta tahun baru, kami seperti disulap masuk ke dalam dunia sihir.

Cuaca ibukota malam ini cukup bersahabat----sesuatu hal yang sebenarnya tak pernah aku harapkan. Meski tak berbintang, didukung nyala lampu-lampu kota, langit cukup terang dan menjanjikan sebuah episode yang baik. Kabarnya Jalan Sudirman-Thamrin ditutup sejak sore tadi untuk lalu lintas kendaraan, kecuali angkutan-angkutan tertentu. Kemudian, di sepanjang jalan yang menjadi pusat perekonomian ibukota ini dibangun beberapa panggung hiburan.

Mungkin malam ini aku akan cukup menyesal apabila benar-benar mengurung diri dalam kamar; malam ini sungguh cocok buat keluar dan bersenang-senang. Aneka ragam manusia seperti ditarik langsung dari pintu rumahnya masing-masing, berlomba-lomba melangkah, dan berbaur antara satu dengan yang lainnya. Wajah mereka menyimpan suka cita, mata berseri-seri, seolah-olah tak ada hal apapun yang patut dikhawatirkan. Ketika melihat sepasang kekasih tanpa malu-malu bergandengan tangan dan berangkulan, kutukan terasa begitu menonjol dalam diriku bahwa aku kini berjalan beriringan dengan Iwin seperti pasangan homoseksual.

Persimpangan jalan Bundaran HI yang semula selalu dipenuhi kendaraan kini dipenuhi ratusan kepala manusia. Melihat gerobak-gerobak penjual minuman dan makanan ringan, aku merasa apa yang menjadi prinsipku selama ini adalah sebuah kesalahan besar, bahwa tak seharusnya aku melihat hidup sebagai ilmu, sebaliknya sebagai bagian dari masyarakat modern aku harus percaya bahwa peluanglah yang memberikan banyak harapan untuk hidup.

Aku tak mengira pergantian tahun masehi yang bertahun-tahun lalu dilarang perayaannya di kampungku, kini di kota dirayakan besar-besaran, lebih meriah daripada perayaan tahun baru Islam ataupun malam takbiran menjelang Lebaran. Padahal, semasa aku kanak-kanak selalu diberitakan di televisi mengenai keluhan para pedagang topi dan terompet karena penjualan barang dagangannya tak memadai, yang membuktikan bahwa tahun-tahun lalu perayaan tahun baru di kota sekalipun pastilah tidak semeriah ini. Para orangtua maupun tokoh agama di kampung menganggap perayaan tahun baru adalah hari besar bagi umat Kristen, dan bagi masyarakat yang ikut-ikutan merayakannya akan disebut kafir. Kini, di tengah-tengah kota Jakarta ini, suara terompet terdengar menderu-deru hampir di setiap penjuru seolah-olah memanggl-manggil malaikat Israfil untuk segera ikut meniupkan terompetnya.

Salah satu panggung hiburan itu dibangun tepat di depan gedung Plaza Indonesia dan Grand Hyatt. Sebenarnya aku tak berminat sama sekali menonton aksi panggung para artis menyanyi. Saking banyaknya penolakan yang aku alami, aku tak tahu lagi hiburan macam apa yang bisa membantuku melepas penat ini. Sekeren apapun penampilan mereka nanti, aku sudah dapat merasakan musik-musik mereka hanya menimbulkan kebisingan di telinga. Dari sekian banyak orang yang aku perhatikan, kelihatannya hanya aku seorang yang tak berbahagia.

Dengan pandangan mata tetap fokus ke depan dan telunjuk menunjuk-nunjuk ke arah panggung, Iwin menepuk-nepuk bahuku. Garis wajahnya menampakkan ketidak-percayaan luar biasa begitu melihat siapa penyanyi yang naik panggung itu. "Yus, itu Andini," teriaknya girang. "Aku pernah ngantri bareng saat ikut audisi menyanyi."

Tanpa memperdulikan aku, Iwin menerobos lautan manusia yang berdiri rapat di depan panggung hiburan. Demi mendapatkan tempat terdepan, ia senggol kanan kiri, acuh tak acuh terhadap orang yang disenggolnya apakah terjatuh atau tidak. Alih-alih ingin menonton pertunjukan itu lebih jelas, aku pikir, Iwin sebenarnya ingin menyapa penyanyi bernama Andini itu kemudian sejenak mengajaknya bernostalgia mengingat hari audisi itu diselenggarakan. Aku memilih tempat agak jauh dari kerumunan orang-orang, mencari-cari tempat longgar, dekat kolam air mancur yang berada tepat di tengah-tengah persimpangan jalan. Tak lama kemudian seorang pemandu acara muncul dari balik panggung dan memandu para penonton untuk menghitung mundur menuju pukul dua belas malam tepat.

Seketika ratusan kembang api melesat cepat ke angkasa seperti lesatan roket yang kemudian meledak menghamburkan ribuan percikan bunga api. Suara letusan menggelegar di telinga mengingatkanku pada berita-berita di televisi yang menayangkan kondisi perang di Timur Tengah. Di bawah langit yang mendadak ramai itu, sekumpulan manusia bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Meski kemurungan tengah menjangkitiku, kemeriahan pesta kembang api itu membuatku takjub seperti anak kecil yang diajak bermain dalam dunia fantasi. Leherku sama sekali tak merasa pegal walaupun kepalaku terus tengadah ke atas langit. Diam-diam aku menaruh harapan dan percaya hal demikian mampu membawaku pada keberuntungan seolah-olah percikan bunga api itu adalah berkah yang diturunkan Tuhan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Saking terpesonanya melihat langit, aku tak sadar sepasang kakiku menjejak pinggiran kolam yang licin. Ketika aku melangkah sekali lagi tiba-tiba tubuhku langsung goyah hilang keseimbangan seolah-olah tangan-tangan gaib terus menggelitikku. Sebisa mungkin aku bergerak-gerak mempertahankan posisi dan keseimbangan. Merasa sulit untuk terus mengendalikannya akhirnya aku tergelincir dan tubuhku jatuh ke dasar kolam air mancur tersebut. Seketika riak besar tercipta di permukaan kolam.

Meski tak mampu berenang, aku berusaha menggapai-gapai naik, menjulurkan tangan ke udara dengan gerakan-gerakan liar, berusaha mempertahankan kepala untuk tetap berada di atas permukaan air dan mendapatkan udara. Seperti orang tercekik, aku berteriak-teriak minta tolong. Sepasang kakiku bergerak-gerak dalam kepanikan, namun tekanan air malah terus menarik-narikku hingga masuk ke dasarnya. Dalam kepungan air itu aku dapat mencium aroma anyir, menyerbuku seperti kawanan semut yang mencium gula, memasuki lubang telinga dan hidung, bahkan terminum oleh mulutku.

Kemudian, dari kemeriahan letusan kembang api di atas langit perhatian tiap orang teralih padaku. Bukannya segera menolong, mereka malah ikut-ikutan panik dan bingung. Dalam pandangan mataku, aku laksana umat Nabi Nuh yang ditinggalkan bahtera dalam banjir besar, sementara mereka termasuk orang-orang yang terselamatkan dalam bahtera tersebut. Karena mereka telah repot-repot mengenakan pakaian terbaik mereka di malam pergantian tahun ini, tak mungkin mereka bersedia merusak penampilan mereka dengan menceburkan diri ke dasar kolam. Masing-masang mereka saling mengandalkan dan menunggu siapa yang berani menceburkan diri. Sekian detik aku masih terus berusaha menyelamatkan nyawaku, lalu merasa yakin mungkin beginilah nasib akhir hidupku; mati konyol.

Ketika dunia di sekelilingku mulai terasa begitu hening, kecuali suara dengingan yang terdengar di telinga, aku menyesal telah datang ke malam pergantian tahun ini. Seharusnya aku tetap teguh pada pendirian bahwa tahun baru, apapun alasannya, tak layak untuk dirayakan.

Ketika aku mulai berpikir tak ada harapan lagi, sekelebat bayangan muncul dari balik kerumunan orang-orang. Dengan lompatan yang cukup tangkas, tubuhnya melengkung di udara seperti atraksi seekor lumba-lumba melompati lingkaran besi berapi. Laksana menjelma kecebong rawa, ia berenang cepat ke arahku, menangkap badanku, dan membawanya ke tepi. Sambil terbatuk-batuk dan menahan mual, aku naik ke pinggiran kolam. Di bawah temaramnya cahaya lampu, nafas penolongku itu tampak tersengal-sengal. Ketika ia menoleh padaku, perlu waktu beberapa saat untuk meyakinkan diri bahwa yang menolongku adalah seorang perempuan. Seperti halnya diriku, ia juga kuyup dan kedinginan.

Kini dunia telah benar-benar menyaksikan kelemahanku sebagai lelaki. Ketika perempuan itu mengerahkan seluruh tenaganya dengan penuh keberanian, betapa kesalnya aku terhadap berat badanku. Sebelumnya aku tak pernah ditempatkan dalam kondisi sesulit dan sememalukan ini. Syukurnya, tiba-tiba doaku terkabul; hujan turun menderas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun